Lamia Ainsley usianya sekarang dua puluh tujuh tahun.
Matanya sedang menatap jauh ke luar jendela pada halaman yang terhampar luas mengelilingi istana kediaman hot daddy kaya raya milik Annabeth Federe. Rumah itu sedang mengadakan pesta kebun mewah untuk pernikahan kedua pasangan nyentrik abad ini. Salah satu mempelai adalah sahabat Lamia; Si Pelàcur Anna.
Itu adalah julukan wanita playgirl itu di masa lampau. Berkat bakat alaminya menarik para lelaki, sekarang Anna akhirnya dapat menikahi miliarder kaya.
Semakin bertambah usia Anna semakin cantik. Meskipun Anna muda setahun darinya, tapi dandanannya terlihat seperti wanita dewasa empat puluh tahunan. Anna memang cantik dalam bentuk apa pun. Hanya saja Lamia takut wanita itu akan dibuli, walaupun Lamia berusaha menasihatinya, Anna akan berdalih dengan mengatakan, "Ini dandanan selebriti papan atas, Mia, jangan kampungan" pada dirinya. Lalu Anna akan balik menceramahinya dengan banyak hal.
"Mia!"
Tiba-tiba, suara melengking datang dari kejauhan. Suara hak tingginya mengundang banyak orang untuk melihat. Mustahil. Pandangan mereka teralih bukan karena suara hak tinggi, melainkan karena yang sedang berlari adalah ratu pesta ini.
"Pesta yang hebat, Mia. Kau keren." Ratu itu menghambur dan memeluknya erat-erat. Lalu memutar tubuhnya. "Lihat pakaianku! Bagaimana? Apa aku cantik? Cantik sekali, bukan? Ini fantastik, ini pernikahan impianku!"
Gaun Anna warnanya silver. Seluruh payetnya hampir semua berbahan emas perak, bagian rumbai gaun itu menjuntai menyapu lantai, rok depannya terbuka hingga mempertontonkan pahanya yang mulus. Oh—jangan lupakan sepatunya yang tak kalah mewah. Dari atas sampai bawah Anna seperti puteri di negeri dongeng; penuh glitter cantik.
Pandangan Lamia melembut. "Kau cantik sekali, Anna."
Tidak adil. Saat bergerak, dua dadà Anna bergoyang seperti balon gym. Sejak dulu, ketika Anna berjalan, setiap lelaki pasti menatap ke arah sana dengan liur menetes.
Seorang lelaki menyusul mendekat tak lama kemudian. Tangannya melingkar di pinggang Anna dengan protektif. Pandangan jernih yang diberikan mata biru lelaki itu pada Anna adalah cinta.
Anna berbinar. "Sebelumnya kau hanya melihat dia di foto. Ini yang asli, Babe. Sahabatku, Lamia Ainsley."
Lelaki itu menjulurkan tangannya. "Hai, Mrs. Ainsley, namaku Klaus J. Altair. Senang bertemu denganmu."
Kata Anna, J adalah singkatan dari Johannes.
"Senang bertemu denganmu juga, Mr. Altair."
Lamia membalas jabat tangan Klaus dengan senyum kaku. Demi Tuhan! Dia berjabat tangan dengan salah satu pria kaya raya. Awalnya Lamia kira pria kaya akan memiliki tangan yang halus dan terawat, tapi Klaus rupanya tidak masuk jajaran itu; warna kulitnya eksotik, uratnya menonjol di punggung tangannya, telapaknya agak berkapal.
Yeah, pendapat semuanya tentang hal itu sangat ngawur. Tidak semua lelaki kaya punya kulit tangan halus, karena mungkin saja pria itu kaya berkat usahanya yang sangat keras.
"Ini yang kau ingin kenalkan pada sepupuku?" tanya Klaus.
Dahi Lamia mengerut. "Anna? Maksudmu?"
Wajah Anna tampak seperti maling tertangkap basah. "Sepupunya adalah pilot dan dia sedang mencari pendamping."
"Tidak lagi, Anna."
"Tidak, tidak, tidak, aku bukan bermaksud buruk. Kau harus dengar penjelasanku." Anna memegang bahunya, meremasnya. "Richie adalah pria yang baik, dia gentle. Bukan pria berengsek seperti yang kukenalkan padamu selama ini. Richie berbeda."
Lamia menatapnya. "Aku mengerti maksudmu, tapi tidak sekarang. Ini pestamu. Kenapa kita harus membahas masalah ini?"
Sepertinya kalimat itu seolah-olah menyadarkan satu pria di antara mereka.
"Ups, maafkan aku, Mrs. Ainsley. Aku tidak bermaksud membawa topik itu."
Oh, tidak! Lamia lupa. "Tidak, bukan begitu Mr. Altair, aku hanya ... tidak suka membahas ini."
Klaus tersenyum maklum.
"Panggil aku Klaus," balas pria itu, "Mr. Altair terdengar seperti ayahku, dia sudah meninggal dua tahun lalu."
"Oke, Klaus," bibir Lamia agak kaku memanggil nama seorang miliarder. "Kau juga bisa memanggilku Lamia saja."
"Kau berkelit!" tuding Anna.
Lamia memutar bola mata.
"Babe, apa perlu kutinggal kalian berdua?" tawar Klaus ramah, sosoknya yang tinggi dan kekar sangat nampak perbedaan umurnya dengan Anna.
Lelaki itu memang sudah hampir kepala empat dan duda. Tidak ada anak di pernikahannya yang sebelumnya. Kata Anna, lelaki itu bercerai karena keluarga istrinya selalu menuntut untuk punya keturunan. Lelaki itu sepertinya memang ditakdirkan untuk Anna karena wanita itu juga tidak ingin hamil.
Anna menatap suaminya. "Kau duluan, aku akan menyusul sebentar lagi."
Keduanya berciuman di bibir saat pamitan. Kemudian dengan wajah sumringah, Anna menarik Lamia ke meja dishes. Wanita itu mengambil beberapa makanan manis di piringnya.
Makanan itu terjejal penuh di mulut Anna. "Huh, aku tersiksa dengan dietku. Aku sekarang bisa makan banyak."
"Manner, Anna!" tegur Lamia memperingatkan. "Demi Tuhan, kau sekarang nyonya besar seorang miliarder!"
Piring di tangan Anna ditarik menjauh oleh tangan Lamia.
"Oh, tidak! Jangan kueku!"
"Dengar, Anna, berat badanmu bisa naik lagi. Kau bisa gemuk seperti babi." Setelah mengatakan itu, Lamia berdecak. "Tidak, bukan itu maksudku. Kau ratu pesta ini, semua perhatian tertuju padamu! Aku tak peduli kau akan mempermalukan dirimu sendiri, tapi apa kau tega membuat Klaus malu di depan koleganya?"
"Klaus tidak peduli dengan pandangan orang. Dia orang yang cuek."
Mata Anna masih mengikuti kue di tangan Lamia. Dia melipat bibir menahan lapar. Gaun ketat ini begitu menyiksa perutnya, dan sahabatnya bahkan ingin menyiksanya juga.
"Bukankah biasanya kau menjunjung tinggi image di depan umum?" tanya Lamia.
"Klaus cuek, maka aku akan cuek. Kau lihat 'kan bagaimana sikapnya? Dia baik. Benar-benar baik."
"Ok," kata Lamia singkat.
Dia tidak akan peduli lagi. Kue di tangannya kembali disambut Anna dengan girang. Tidak adil—lagi, sejak dulu Anna selalu beruntung dalam percintaan hidupnya, Lamia ingin merasakan keberuntungan itu.
"Ngomong-ngomong, di mana Miki?" Anna mengulum garpu kue, sebelum menatapnya. "Kau tidak mengajaknya?"
"Miki akan rewel kalau terlalu lama di tempat ramai."
"Bukankah dia terlalu pemalu? Anak seusianya sangat suka bermain."
"Tidak," Lamia mengambil cawan berisi wine yang ditumpuk tinggi. "Akan lebih baik kalau dia seperti itu, aku tidak ingin dia jadi lelaki berengsek saat besar nanti."
"Ayolah, Mia, kau terlalu kaku. Miki masih sangat kecil."
Mikhael Ainsley adalah anak yang dikandung Lamia lima tahun lalu, usianya sudah empat tahun. Mereka biasa memanggilnya Miki. Anak yang malang. Anak itu lahir saat kondisi Lamia yang terpuruk kala itu; diusir dari rumah, ayah bayinya kabur, dan Mikhail harus lahir prematur karena Lamia stres. Wanita itu hampir jadi gembel gila kalau saja Anna tidak memungutnya.
Sampai sekarang dia merasa berutang pada sahabatnya itu. Utang besar.
Tetapi berkat Anna juga, kini Lamia telah menjalani kehidupannya yang mapan. Segi ekonomi Lamia dan sang anak tidaklah buruk. Dia sekarang seorang pemilik usaha besar wedding organizer yang lumayan menjanjikan. Bahkan planner dalam pesta taman Anna hari ini adalah dirinya.
Lamia jadi berpikir, kalau katanya anak akan membawa rezeki untuk keluarga—Lamia sangat setuju pendapat itu.
Tiba-tiba Anna berkata, "Miki memang mirip Rex, seperti kembar, tapi anakmu tidak akan menjadi dia."
"Jangan sebut namanya, Anna."
Anna mengabaikannya. "Kau takkan percaya ini, Klaus ternyata mengenal Rex!"
"Anna—"
"Mereka bukan teman dekat, jadi kau jangan khawatir." Lagi-lagi Anna tak memedulikan peringatannya, sejak dulu sifatnya memang seperti itu. "Tapi Klaus punya nomornya, kau mau?"
Lamia mengangkat kepala. Matanya yang cokelat menunjukkan sorot terkejut, tapi dengan cepat meredup lagi.
Sudah lama dia membuang kartu nama Rex, tapi dia sudah menghafalnya di luar kepala karena dulu sering menghubunginya. Belakangan Lamia tahu nomor itu sudah tidak aktif. "Tidak perlu," katanya.
Namun, Anna lagi-lagi tak mendengarnya. "Ok, nanti kukirim lewat pesan."
"Keras kepala."
Anna terkekeh, tahu kalau sahabatnya masih berharap pada si bajingàn itu. "Jadi, apa kau masih ingin menemuinya?"
"Tidak."
"Mau sampai kapan kau berbohong padaku? Kau sudah terlalu lama terjebak di lingkaran setàn, Mia. Sudah takdirmu kalau kau mencintainya."
"Aku tidak jatuh cinta padanya," ralat Lamia.
"Tapi Rex harus tahu darah dagingnya sendiri." Anna menatap Lamia meyakinkan.
"Enak saja. Miki itu anakku."
"Miki juga anak Rex, kau tidak s*x dengan hantu!"
Lamia menghela napas. Merasa marah mengingat Mikhail punya mata yang sama dengan Rex Winston, ayah biologisnya yang bajingàn. Semua yang ada pada anak itu tak ada yang mirip dengan Lamia.
"Aku benci membahas ini," keluh Lamia.
"Kita sudah membahas Rex selama lima tahun." Anna memutar bola mata.
Lamia tidak menjawab, meminum wine dengan cuek. Jujur saja setiap mendengar nama Rex, lehernya terasa tercekik.
"Kau masih pergi ke Bar Malochre?"
"Tidak."
Dua tahun belakangan, Lamia sibuk dengan bisnisnya. Memikirkan untuk tamasya saja tidak sempat.
Bar Malochre sendiri adalah kelab malam yang pemiliknya adalah Rex. Semenjak dia hamil, dia selalu datang ke tempat itu untuk meneror para karyawan Rex, tapi bahkan mereka tidak pernah mau memberitahu keberadaan owner mereka. Benar-benar buruk.
"Dengarkan aku, Mia, kalau dengan Rex tidak berhasil lagi. Aku siap mengenalkanmu pada Richie."
Alis Lamia naik. "Richie? Siapa?"
Anna berdecak. "Sepupu Klaus. Dia pilot! Kau bisa keliling dunia dengan pesawat bersamanya, bukankah itu hebat?"
"Aku? Naik pesawat keliling dunia secara ilegal?"
"Richie punya perawat pribadi."
"Sial! Aku lupa dia sepupu Klaus."
Anna tertawa. "Kau akan lebih kaget melihat semua keluarga Klaus, tidak ada yang tidak kaya raya di keluarganya."
"Tentu saja! Kekayaan mereka jika digabungkan mungkin bisa memberi dua pulau?"
"Lebih!"
Mereka tertawa bersama membayangkan membeli pulau sendiri dan tinggal di sana dengan kemewahan tiada batas. Yeah, mengkhayal tidak berdosa, jadi Lamia akan berkhayal sampai dia gila.
Tiba-tiba Anna melambaikan tangan pada seseorang di kejauhan. "Aku sudah terlalu lama. Klaus pasti menungguku. Tak masalah kalau kutinggal?"
"Bergegaslah."
Anna menariknya ke pelukan dan mencium pipinya. "Selamat menikmati pesta. Aku suka pesta rancanganmu."
"Cepat pergi, Bodoh!"
Sepeninggal Anna, Lamia mengelilingi meja panjang yang berisi beragam makanan. Dia mencomot satu dessert, lalu membawa sajian itu mengelilingi istana yang akan menjadi milik Annabeth.
Tempat ini benar-benar seperti istana kerajaan Inggris dan hampir beberapa perabot dilapisi warna gold. Lamia bertanya-tanya apa semua itu emas asli?
Anna sangat beruntung!
Kalau biasanya orang akan butuh gedung untuk resepsi pernikahan, tapi Anna bilang, gedung akan membatasi ruang geraknya. Lagipula aula di rumah Klaus lebarnya hampir seperti lapangan bola. Sejak Lamia melihatnya sendiri dengan matanya, dia tahu bahwa merencanakan pesta di tempat ini butuh banyak waktu; bahkan karyawannya menghabiskan waktu dua hari dua malam hanya untuk aula saja.
God.
Lamia menahan diri untuk tidak iri hati.
Dulu sekali saat sekolah, Lamia pernah punya mimpi untuk menikah di usia dua puluh lima. Tapi setelah semua yang terjadi pada hidupnya, Lamia bahkan tidak berpikir bahwa dia akan menikah. Kehidupannya telah hancur lebur ketika dia hamil. Siapa yang ingin dengan janda beranak satu?
Sialan! Lamia bahkan bukan janda.
Mau tak mau, Lamia menahan dirinya untuk keegoisannya sendiri karena alasan itu. Sekarang ini, baginya, kebahagiaan Mikhail lebih penting.
Lamia kembali mengelilingi aula mansion mewah itu. Melihat ke atas, langit-langitnya begitu tinggi dan ada ruangan lantai dua. Seluruh tembok hampir dihiasi kaca sehingga tidak perlu lampu pada siang hari. Tetap saja, lampu mewah kristal sudah tergantung di atas; terlihat kokoh dan mengolok kemiskinan seorang Lamia.
Aw, malang sekali.
"Bisakah kau minggir? Kau menghalangi jalan banyak orang."
Suara dingin datang dari belakangnya. Mula-mula Lamia terkejut dengan kalimatnya dan merasa bersalah. Ia menyingkir untuk memberi jalan. Itu adalah seorang pria—mungkin tampan. Dari kakinya sudah terbalut sepatu kulit hitam yang disemir mengilat, celana dan jas kelas selebriti, di kantung jasnya bahkan terdapat boutonniere mawar merah muda yang senada dengan milik Klaus. Bedanya milik Klaus seperti buket bunga mini.
Dan ketika Lamia akhirnya melihat wajah pria itu—napasnya tercekat.
Rex Winston.
Sekuat tenaga Lamia berusaha untuk tidak goyah. Kepalanya mendadak kosong dan dia hampir saja limbung. Dia bergerak dengan sembarang arah, dari samping seseorang menabraknya dan dia hampir jatuh. Saat itu pinggangnya diraih sebuah tangan kekar yang protektif dan dia ditarik berdiri.
"Kau baik-baik saja?"
Lamia pun akhirnya sadar situasi yang dihadapinya. Dia langsung menarik diri. "Yeah, aku baik."
Rex menatap Lamia dengan pandangan datar. "Bisakah kau minggir?"
"Tentu saja."
Mungkin, sesaat tadi Lamia merasa linglung, tapi kemudian kemarahannya mulai muncul.
Sudah terlambat saat dia melihat Rex berjalan jauh dengan dadanya yang busung dan kepala yang lurus. Pria itu tampak sangat arogan—namun juga tampan. Sial, kenapa pria tampan harus selalu sombong?
Semua lelaki kaya pada dasarnya memang busuk seperti Rex. Apalagi setelah mereka mengambil sesuatu yang berharga darimu, lalu mereka akan pura-pura tak kenal seperti si berengsek itu. Bajingàn sialan! Lamia bersumpah dalam hatinya, kalau Rex masih berpura-pura tidak mengenalnya, dia akan bikin perhitungan dengan pria itu. Lamia akan mengikuti permainannya.
"Aku bersumpah atas nama Miki," gerutu Lamia.
Saat di rumah, ia langsung ambruk di kasur dan membiarkan selimut menjuntai karena ulahnya.
Karena terlalu kesal, dia bahkan pulang tanpa berpamitan dengan Anna. Di malam harinya, Anna benar-benar punya waktu luang ketika dia mengirimi Lamia sederet angka asing, dan menulis bahwa itu adalah nomor Rex Winston.
Sudut bibir Lamia tersungging. Bagus sekali.
Dengan kembalinya Rex, Lamia akan memberikan neraka pada lelaki itu. Agar dia tahu bagaimana rasanya menderita.
tbc.