Eyeless 2

1507 Kata
“Aku tidak akan pulang sebelum Mamah dan Papah batalkan pertemuan hari Sabtu nanti. Aku belum ingin menikah, Mah.” Terlebih dengan pria yang tidak dia kenal. “Naura, kami tidak sembarangan memilih. Pria ini baik, dan—” “Keputusan aku sudah bulat, Mah. Aku tidak menyetujuinya!” tolak Naura tegas. Sebelum ibunya kembali bersikeras dibanding ia terlanjur menyakiti dengan kalimat impulsifnya, maka Naura memutuskan mengakhiri lalu mengatur ponselnya menjadi mode senyap. Ia menarik napas dalam-dalam, meredakan gejolak kesal. Naura sudah tidak pulang ke rumah semalam. Memilih tinggal di apartemen milik Nata. Satu hari tinggal di apartemen milik kakaknya buat Naura merasa jauh lebih tenang. Pikiran untuk memberontak dan memperjuangkan agar bisa tinggal sendiri kian kuat terutama setelah perdebatan dengan Mamah dan Papah. “Nata bisa bebas memilih jalan hidupnya, pendamping hidupnya. Sementara aku, mereka anggap aku akan menurut?!” gerutunya. Naura memutar kursi dan menatap keluar kaca. City light terlihat dari ruangannya. Naura menatap pemandangan malam itu sembari tiba-tiba mengingat momen terakhirnya bersama Leo. Kakak dari iparnya itu sangat kaku tetapi baik, Naura malah dengan gilanya memercayai sampai memohon diberi ijin menginap. Naura cukup lama berada di sana, kemudian ia merasa sudah waktunya pulang. Bukan ke rumah, menuju apartemen Nata. Dia mengecek ponsel, ada beberapa panggilan tidak terjawab dari ibunya dan serangan pesan. Naura mengabaikan. Ketika hendak memasukkan ponsel dalam tas, ponselnya berdering. Kening Naura berkerut melihat nomor tanpa nama, tidak dikenali menghubunginya. Bukan yang pertama, belakangan Naura selalu merasa terganggu, dia terus report nomor itu, lalu muncul dengan nomor lainnya. Naura berpikir pada satu nama, seseorang yang ia hindari. Naura tidak takut sama sekali, hanya merasa sangat terganggu. Lalu ia mengingat Leo lagi, kali ini Leo yang meminta Naura hati-hati setelah kejadian malam itu. Irwan memang terus mengganggu dirinya. Malam ini, Naura sudah kesal ditambah terusik dengan telepon tersebut yang terus menerus. Naura sudah dalam mobil, meninggalkan kantor. Mobil memasuki jalur bebas hambatan. Naura mengangkat telepon dari nomor tanpa nama tersebut. “Hallo—” “Aku di belakangmu.” Katanya dengan suara yang langsung Naura kenali, mata gadis itu menatap waspada melalui kaca spion. “Sial, apa maumu huh?!” umpat Naura. Benar saja, ia melihat sebuah mobil yang mengikutinya. “Dirimu.” Bisiknya dengan nada congkak yang menyebalkan. “Jangan ganggu aku, dasar psikopat!” umpatnya, Naura mematikan ponsel dan saat itulah matanya menatap depan bersamaan sebuah dentuman kuat. Bola mata Naura membulat, kakinya menekan rem sekuat tenaga. "NO!!!" BRAKKKK! Semua terjadi begitu cepat, mobilnya tak bisa menghindari kecelakaan beruntun di depannya. Mobil yang Naura kendarai, mobil hadiah ulang tahun setahun lalu itu berputar sampai menabrak pembatas jalan juga dan berhenti dengan asap yang mengepul. “Naura..” sebuah panggilan membuat ia tersadar akan kehadiran seseorang di dekatnya. Suara yang ia kenali. Deg! “Leo..” Naura menggerakkan kursi rodanya, berbalik. Leo berdiri mematung, menatap gadis di depannya dalam dress rumahan. Dari wajahnya yang pucat dan tirus, Leo melihat perubahan yang sangat kentara dari terakhir kali mereka bersama. Naura mengeratkan pegangan di sisi kursi roda, merasakan Leo mendekat. Naura mengangkat tangan bersamaan tangannya terangkat. “Jangan mendekat!” “Nau-“ “Siapa yang mengizinkan kamu memasuki kamarku?!” Ia mengatakannya dengan nada dingin. Terlihat tidak senang telah diusik. Seketika itu juga Leo menghentikan langkahnya. Tadi Ibu dari Naura mengatakan jika Naura tidak ingin bertemu dengan siapa pun, tetapi Leo berhasil membujuk untuk diberi ijin. Ia ingin menemui Naura, melihat kondisinya. Sesak begitu saja menghantamnya, seolah Leo bisa merasakan sakit yang di jalani Naura. Naura seketika berdiri, berjalan tertatih. Tangannya meraba-raba arah sampai dia hampir jatuh dan Leo berlari cepat, menangkap tubuhnya sebelum terjadi. Tangan Leo merengkuhnya, tangan Naura berada di dadanya. “Aku ingin menemuimu.” Ujar Leo jujur, begitu terasa berbicara di depannya. Naura berusaha mendorongnya. “Naura—” “Kamu datang untuk bisa melihat dukaku bukan? Aku tidak butuh kasihan siapa pun!” Leo juga merasakan perubahan sikap Naura. Tidak ada lagi senyum dan sikap hangat seperti dulu. Leo melepaskannya, mundur satu langkah. Tanpa disangka Naura terisak, “aku menyedihkan, aku buta!” lirihnya. Leo mengepalkan tangan, bertindak impulsif dengan kembali mendekat. Mencoba menenangkan Naura. “Naura jangan katakan itu!” Naura menggeleng kecil, Leo mendekapnya. “Kenyataannya aku memang buta!” ia terus saja kian terisak. Leo kehilangan kalimat untuk menenangkan dirinya selain mengeratkan dekapannya. “Aku takut gelap, dan aku kini terperangkap pada kegelapan ini selama-lamanya!” perlawanan Naura melemah, kemudian dia membalas pelukan Leo dengan erat. Menumpahkan tangisnya dengan begitu memilukan. “Aku cacat!” bisiknya. “Kamu tidak boleh mengatakan itu, please..” Bisik Leo. Berusaha menenangkan Naura, membiarkan Naura menjadikan dadanya sebagai tempat melampiaskan semua rasa kecewa terhadap takdir yang semesta pilihkan untuknya. “Aku cacat, Leo.. aku kehilangan penglihatanku!” lirihnya dengan suara yang begitu menyayat nurani siapa saja yang mendengarnya. *** Saujana kembali dengan perasaan terkejut, dia tadi mengantar Leo untuk menemui Naura. Awalnya merasa salah terutama saat Naura mengamuk tetapi, selanjutnya Saujana sampai kehilangan kata-kata melihat Leo bisa menenangkannya. Naura meluap seperti akhirnya menemukan tempat untuk melampiaskan perasaannya. Pada Nata atau pun dirinya saja Naura tidak bisa seperti itu. “Saujana. Di mana Leo?” tanya Nata. Menyadarkan Saujana jika ia sudah sampai di lantai bawah. Ia mendongak, menemukan putrinya duduk di pangkuan sang suami. Ada Ibu dan Ayah mertuanya. “Leo.. dia-“ “Naura bisa menerima kehadirannya?” tanya Mamah penuh harap-harap cemas. Saujana mengangguk, “awalnya Naura terkejut tetapi selanjutnya bisa menerima Leo.” Saujana hanya memberikan informasi secukupnya. Tidak detail. Sementara hatinya terus saja membentuk pertanyaan. Sejak kapan Leo dan Naura jadi dekat seperti itu? Apa Saujana melewati sesuatu? Terlebih saat Saujana memberitahu Leo, yang pertama kali Leo tanyakan adalah keadaan Naura. Nata merasakan ada yang janggal karena Saujana diam saja, duduk kembali di sisinya. “Hai.. Are you okay?” Nata dan Saujana bertemu tatap, Saujana menghela napas. “Aku hanya masih merasa sesak setiap kali melihat Naura.” Jujurnya. Nata pun begitu. “Naura bersikeras untuk tinggal di Villa.” Mamah memulai bicara, menyampaikan keinginan putrinya. Menarik atensi Nata dan Saujana. “Villa di Bogor?” tebak Nata. Mamah menghela napas, Papah menolak, “tidak, sayang! Naura akan tinggal dengan siapa? Terlebih dia harus cek rutin. Lebih baik tetap tinggal di sini.” “Mas, Naura tertekan berada di sini. Dia bilang, butuh tempat yang membuat hatinya tenang.” Beritahu Mamah pada Papah. Saujana dan Nata diam, merenungkan permintaan Naura. “Selama ini, kita selalu menuntut Naura memenuhi semua kemauan kita. Kali ini, biarkan dia memilih sesuatu yang menurutnya tepat untuk dirinya.” Walau Mamah merasa terlambat, harusnya melakukan sejak dulu hingga Naura tak harus alami musibah besar yang menyeretnya dalam kegelapan. Semua telah terjadi, Mamah tidak ingin mengulang kesalahan sama dengan mengekang Naura. Papah diam, tandanya masih berat untuk memberi ijin. Mamah mendekat, meraih tangan suaminya sambil menangis. “Kita bisa menempatkan pekerja yang menjaganya, aku akan menemaninya sampai Naura bisa mengurus dirinya sendiri di sana. Setiap cek, satu bulan sekali kita bisa menjemputnya. Naura setuju dengan syarat yang aku anjuran.” Papah kemudian menatap Nata, “bagaimana menurutmu, Nata?” Nata menarik napas dalam-dalam, kemudian mengeratkan pelukan pada putrinya. “Aku setuju pada apa pun yang bisa membuat Naura merasa lebih baik. Setiap libur, kita bisa datang mengunjunginya.” Sebagai seorang Kakak, Nata pun tidak bisa melihat kondisi Naura ditambah bila ia merasa selalu tertekan. Papah diam, belum memberi keputusan bertepatan Leo akhirnya kembali. Semua langsung menatapnya, tetapi tatapan Leo hanya jatuh pada mata Saujana. Saujana bisa melihat mata Leo berkaca-kaca namun, menahannya. “Duduk Leo.” Ujar Nata, Leo mengangguk. Duduk menatap semua orang. “Naura-“ “Dia bilang mau sendiri, istirahat.” Jawab Leo. Nata menatap Leo, “aku sungguh berterima kasih atas keputusanmu ini, Leo.” Leo mengangguk kecil. “Kita bisa lanjutkan pembicaraan tadi di ruang kerja?” ajak Nata. Leo mengangguk lagi, “tentu.” Leo dan Nata berdiri, Saujana menerima putrinya. Membiarkan dua pria itu menyelesaikan urusannya. Dia tetap di sana, memandang sepasang orang tua yang tampak kalut. “Aku sudah tidak khawatirkan perusahaan kita, Nata bisa fokus setelah ini. Leo akan menjalankan studio foto Nata. Lebih dari itu, yang buatku khawatir adalah Naura. Aku perlu mempertimbangkan keinginannya untuk tinggal di Villa.” Ujar Papah dan berdiri. Tanda perlu waktu untuk memikirkan semuanya. Mamah dan Saujana yang terakhir di sana, bersama putrinya di pangkuan yang mulai mengantuk. “Saujana bisa temani Naura tinggal di Villa, Mah.” Saujana mengajukan diri. Mertuanya menggelengkan kepala, “kamu harus fokus pada Farrah. Nata juga butuh kamu.” Walau ia percaya Saujana bisa mengurus Naura. “Mamah yang akan temani Naura. Dia bilang jika selamanya tidak bisa merepotkan, ia akan belajar mengurus diri sendiri dengan kondisinya dan coba menerima keadaannya.” “Naura dan kita semua pasti bisa melewati semua ini, Mah.” “Ya, doa Mamah pun begitu. Terutama untuk kebahagiaan Naura meski dengan keadaannya yang tidak lagi bisa melihat.” Ujar Mamah dengan suara kental akan tak berdaya. Seorang Ibu bisa melakukan apa pun untuk anak-anaknya, tetapi meski begitu tidak ada yang bisa mengubah ketetapan semesta.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN