Bukan Peduli Biasa

1461 Kata
“Terima kasih, Nata.” Ujar Leo saat menerima secangkir kopi yang sengaja Nata bawakan juga untuknya. Sudah hampir satu minggu dari waktu Naura diantar tinggal di Villa, masih dengan ibunya yang belum tega meninggalkannya dan berakhir masih menemani. Leo selalu dapat kabar terupdate dari Saujana, ditambah Saujana sudah tahu perasaannya pada Naura. Semakin hari katanya Naura mulai nyaman dengan pilihannya, emosional pun stabil. Leo turut lega mendengarnya. Nata duduk di sisinya. Menyelesaikan pekerjaan di luar studio, hari ini setelah memimpin meeting dengan manajemen studio, Leo menemui Nata di rumahnya sebelum pulang ke apartemen. Nata tiba-tiba menelepon, mengajaknya bertemu sekaligus ada pekerjaan yang perlu didiskusikan. “Bagaimana di studio?” “Aku telah meminta Niki untuk mengirim laporan bulan ini padamu.” “Aku belum sempat memeriksanya.” Ujar Nata sembari memijat pangkal hidungnya. Terlihat raut rumit di wajahnya. Pasti terlalu banyak beban yang di sandarkan pada pundaknya sekarang ini. “Kau baik-baik saja?” tanya Leo khawatir. Nata mengangguk pelan, tampak tidak yakin. Ia pun menarik napas dalam lalu menyesap kopinya. “Inginnya memang baik-baik saja.” Lanjut Nata sembari meletakan cangkir di atas alasnya. Leo masih dengan memegangi cangkir bagiannya. Mata gelap Leo memerhatikan penampilan Nata, dia jarang berpenampilan serapi ini saat memimpin studio foto. Seperti bukan dirinya, seperti cangkang yang dipaksakan untuk ia kenakan. Leo tetap diam, tahu ada yang masih ingin Nata sampaikan. Dulu mereka mana pernah duduk diskusi, atau saling mencurahkan isi hati dengan tenang seperti sekarang. Dulu selalu ada ketegangan dan persaingan ketat satu sama lain, semua karena mereka menyukai wanita yang sama sampai Nata yang memang paling layak untuk menjadi pasangan Saujana. “Ini sulit, aku sama sekali tidak tertarik pada bisnis keluargaku. Naura lebih menguasainya dibanding aku.” Ya, itu benar sampai malapetaka yang menimpa Naura pun datang dan mengubah segalanya sampai seratus delapan puluh derajat. Leo tidak berkomentar atau memberi kalimat penghiburan, merasa kurang pantas untuk situasinya. Meski begitu, diamnya tetap dengan mendukung Nata dan Saujana melewati masa sulitnya. Menjadi pendengar yang baik pun sudah merupakan dukungan. Leo memang mengatakan pada Saujana bila alasannya setuju membantu karena Naura, terlepas itu semua, alasannya pun ingin membantu dan mendukung Saujana dan Nata. “Bagaimana pun keadaanku, tidak ada pilihan lagi. Ya, walau sulit, kuyakin semakin lama aku akan mulai menerima dan terbiasa.” Ujarnya lagi. Leo tersenyum tipis, ia menghirup aroma kopinya lebih dulu sebelum segera menyesapnya perlahan. Lidahnya mencecap pahit bercampur sedikit manis dari gula dan creamy s**u di dalamnya. Tangannya bergerak meletakan cangkir, lalu ujung lidahnya bergerak kecil membasahi bibirnya. “Akhir pekan ini, aku dan Saujana akan menjenguk Naura. Ikutlah bersama kami!” tiba-tiba Nata mengajaknya. Leo tidak langsung memberikan jawaban setuju, meski hatinya langsung kesenangan mendapat cara untuk bisa menemui Naura kembali. “Leo? Jika memang ada jadwal, tidak bisa, tidak apa.” Kata Nata begitu tak mendapat respons. Dia paham, proyek foto dengan personal pribadi, dalam kepentingan seperti dokumentasi pasangan calon pengantin alias prewedding atau lainnya kebanyakan di dapat saat hari libur. Menyesuaikan dengan tanggal luang kliennya. “Sabtu ini ada proyek foto prewedding, outdoor. Lokasinya memang kebetulan masih daerah Bogor. Mungkin setelah selesai, aku bisa bergabung dengan kalian.” Nata mengangguk, “aku akan kirimkan lokasi Villa keluarga kami.” Kepala Leo juga mengangguk. Keduanya mulai diskusi, fokus pada studio dan rencana Kerja sama Nata yang setiap tahun memang mengadakan pameran. Selain jadi agenda wajib, pameran ini biasanya sebagai marketing mereka memperkenalkan namanya dan studio miliknya. “Sepertinya tahun ini agenda pameran kita di tunda dulu.” “Aku mempelajari temanya. Kalian sudah mendapatkannya, sponsor pun sudah bersedia dan tinggal sign a contract, bukan?” tanya Leo sembari mengerutkan kening begitu mendengar Nata memilih melewatinya untuk tahun ini. Setiap tahun memang Nata tidak pernah sulit mencari sponsor, sebenarnya tidak perlu sponsor pun agenda ini ada dananya sendiri. Nata mengangguk, “aku yang tidak bisa melakukannya-“ “Lalu apa gunanya aku di sini? Aku menggantikanmu mengurus studio. Seharunya, kamu tidak ragu untuk melibatkanku melanjutkan agenda tahunan ini.” ujarnya dalam tingkat tenang yang luar biasa. Nata menghela napas dalam-dalam, “kita tidak punya banyak waktu.” “Masih ada enam bulan. Tidak masalah pamerannya mundur dari bulan yang biasanya, terpenting kita mendapatkan hasil sesuai dengan tema yang diinginkan.” Memang berbeda mental orang yang punya jam terbang sekelas Leo, walau Nata lebih dulu menekuni bidang fotografer ini dan memiliki usaha, ini alasan Nata memilih Leo. Dia punya prinsip kuat, dia selalu berani melangkah ambil risiko untuk terus maju. Tekadnya memang sangat kuat. Sudut bibir Nata tertarik membentuk senyum, pertanda dia sangat bisa mengandalkan Leo. “Jika kamu begitu yakin, aku tidak seharusnya punya keraguan lagi, Leo. Kita bisa mulai memantapkan, menyusun dan menentukan orang-orang yang akan menangani agenda tahunan ini, membantumu. Begitu siap, berikan laporannya, aku tetap akan memberi masukan dan terlibat di dalamnya.” “Tentu saja!” angguk Leo. Mereka masih duduk di sana dan banyak diskusi sampai Saujana datang dan membawa putrinya yang berwajah sembab, menangis. “Farrah mencarimu.” “Tadi bukannya sudah tidur?” “Terbangun, terus menangis dan baru diam pas aku bilang kamu sudah pulang.” Kata Saujana, Nata menerima putrinya. Nata menatap istrinya, Saujana lebih berisi setelah melahirkan putri pertama mereka. “Aku akan mengambil makanan ringan untuk kalian. Harusnya ada pisang atau umbi goreng untuk teman mengopi!” Nata tersenyum, Leo pun. Tangan Leo terulur menyentuh puncak kepala keponakannya yang cantik. “Nata..” dia tiba-tiba mendapat kesempatan untuk menyampaikan apa yang ada di pikirannya selama ini. “Ya?” Nata menyahut meski matanya fokus memerhatikan putrinya yang duduk dalam pangkuan. “Apa kecelakaan yang menimpa Naura sempat diusut? Maksudku, kecelakaan yang besar, menimbulkan korban seperti ini, bukan sesuatu yang bisa dilepas dalam waktu singkat, bukan?” Nata barulah menoleh, tatapan matanya bertubrukan dengan Leo. Ia kemudian mengangguk, “sudah ada investigasi yang mengusut kecelakaan ini. Kami beberapa kali di panggil, terakhir dua hari lalu, pengembalian barang-barang milik Naura. Kalau mobilnya, Papah tidak mau memperbaiki walau di asuransi. Rusaknya sangat parah juga. Setiap menatap mobilnya, jangankan Papah, aku pun tidak sanggup.” Katanya sambil mendesah berat. Sedangkan putrinya sangat tenang bersama Nata. Leo paham, trauma ini milik bersama. Bukan hanya Naura, ya walau Naura sendiri yang terberat untuk melewatinya. “Lalu hasil investigasi? Atas dasar apa kecelakaan ini? kelalaian manusia atau apa?” “Kelalaian manusia, pengemudi yang ada di depan Naura saat itu mengaku mengantuk. Naura tidak konsentrasi. Polisi menemukan ponsel yang terlempar di dekat kaki Naura, menyetir sembari menelepon tanpa earphone atau sejenisnya, jelas pelanggaran aturan mengemudi.” Leo menyimak, mencerna dengan baik-baik. Sampai pertanyaan berikutnya tercetus, “siapa orang yang Naura hubungi saat terakhir itu?” Nata terdiam. “Ponselnya ditemukan rusak? Atau tidak?” “Tidak. Ponselnya hanya retak sedikit.” “Kamu tidak memeriksa, siapa yang Naura telepon di saat bersamaan dengan kejadian ini?” selidik Leo. Dia sampai terpikir sejauh itu, bahkan Nata tidak sampai terpikir untuk mencari tahu apalagi setelah investigasi yang dilakukan pihak berwajib. “Kenapa kamu bertanya ke sana?” Leo menegakkan punggungnya, dia memiliki alasan hingga pertanyaan itu terlontar dari bibirnya, “aku memang tidak mengenal Naura, adikmu, sebaik kamu mengenalnya. Tetapi, sejauh aku mengamati, dia bukan tipe yang tidak akan konsentrasi atau mudah melamun. Naura sepertinya tidak akan ceroboh sampai menyelakai diri sendiri apalagi orang lain. Tidak ada yang menduga memang akan mengalami kecelakaan, musibah, tetapi menurut sudut pandangku, aku pribadi tetap akan berkonsentrasi jika yang kubicarakan di telepon bukan sesuatu yang menyita pikiranku.” Leo menyampaikan sudut pandangnya. Nata kian tersita atas pertanyaan Leo dan dengan pemikirannya tersebut sampai ia mengingat sesuatu. “Kamu benar. Tetapi, mungkin Naura saat itu memang sedang tidak berkonsentrasi.” “Apa ada masalah sebelumnya?” Leo benar-benar tidak bisa menahan diri untuk tetap diam bila menyangkut kecelakaan yang membuat Naura kehilangan fungsi mata untuk melihat. “Ya. Orang tuaku mengatur perkenalan dengan salah satu anak kenalannya. Naura menolak dengan tegas. Mamahku bersikeras, Naura kesal dan memilih pergi dari rumah, dia bahkan malam sebelumnya tidak pulang. Menginap di apartemen lama milikku.” Meski begitu, Leo merasa bila ada sesuatu yang membuat Naura tidak berkonsentrasi dan menghindar dari situasi yang ada di depannya saat itu. Satu-satunya yang punya jawaban dari Leo, yaitu Naura sendiri. Sayangnya, menggali masalah ini, tidak akan baik dalam proses penerimaan jati diri baru yang Naura sedang jalani. “Terima kasih, Leo.” “Ya?” Leo kembali mengernyitkan kening atas ucapan terima kasih Nata. “Telah mengkhawatirkan adikku juga.” Bibirnya tertarik kaku, bagaimana tanggapan Nata bila ternyata kekhawatiran menurutnya berbeda arti dengan yang Leo rasakan hingga menaruh simpatik berselimut kasih sayang? Apa Nata akan setuju ia mendapatkan hati Naura? Hati kecil Leo juga bertanya-tanya, apa mungkin ini waktu yang tepat untukku bicara sejujurnya tentang rasa tertarikku pada Naura seperti yang telah aku bicarakan dengan jujur pada Saujana?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN