BAB 8

1388 Kata
Raven tersenyum melihat Nana terlihat menikmati makananya sambil sesekali matanya melebar takjub menikmati rasa yang mungkin baru pernah di rasakannya. Gadis itu sempat kesulitan menggunakan sumpit dan Raven langsung menyarankan memakai sendok saja. Dan gadis itu merasa senang. Raven memang sengaja memesan tempat yang privat seperti ini, alasanya bukan hanya karena dia benci keramaian dan diperhatikan orang tapi juga untuk melindungi Nana. Dia takut menjadi beban untuk gadis itu jika makan di tempat asing yang belum pernah dia kunjungi dan diperhatiak banyak orang. "Suka rasanya?" Tanya laki-laki itu. Nana mengangguk. "Tapi makanan Indonesia tetep jadi favorit Nana mas." Jawab Nana membuat Raven terkekeh. "Mas juga lebih suka makanan Indonesia kok. Jadi nanti kalau kamu masakin mas masakan Indonesia pasti mas habisin." Ucap Raven tidak berniat menggoda tapi wajah Nana merona. "Mas Raven suka makanan apa?"Sebuah kemajuan Nana mau bertanya tentang Raven. Laki-laki itu tersenyum. "Apa aja yang kamu masak nanti mas suka." Kalau yang ini memang bermaksud menggoda. Dan sukses besar membuat wajah Nana merona sekali. "Kamu emang gemesin gini yah Na?" Tanya Raven sambil tersenyum. Menoleh ke arah Nana di sampingnya. Jaraknya dekat sekali, dan ketika Nana menoleh hampir saja hidung mereka bersentuhan. "Tuh kan gemes banget tahu gak." Raven terkekeh sambil mencubit mesra pipi milik Nana. Wajah gadis itu tiba-tiba memanas. "Mas Raven jangan gitu." Protesnya malu-malu. "Gitu gimana?" Tanya Raven geli. "Godain aku terus." Raven tertawa. Melihat calon istrinya itu tersenyum malu-malu. "Abisnya kamu gemes banget gini jadi mas suka godain." Ucap Raven yang tidak dijawab Nana. Tapi jantung gadis itu berdebar kencang. Sebuah debaran yang Nana sendiri belum mau mengartikannya sebagai cinta. Karena masih terlalu dini. Takut salah menerka dan tidak mau juga memberikan sebuah harapan pada dirinya sendiri. Sepuluh menit kemudian mereka selesai makan dan Raven mengajak Nana keluar. Masih dengan menggandeng mesra jari-jemari Nana. Dan rasanyapun masih semendebarkan sebelumnya untuk Nana. Dan untuk Raven juga sebenarnya, tapi laki-laki itu tidak menunjukannya dan tetap terlihat tenang. "Kita jadi ke taman mas?" Raven menoleh. "Jadi, tapi kalau kamu mau ke tempat lain ayok mas oke aja." Nana tersenyum. "Nggak deh mas ke taman aja. Udah lama juga Nana gak pergi ke taman." Raven mengernyit mendengar perkataan Nana. "Kamu sering ke taman? sama siapa?" Berondong laki-laki itu. Tidak sadar bahwa sekarang dia mulai posesif. "Nggak sering banget sih mas tapi beberapa kali ke sana. Sama kak Miko. Biasanya kalau Nana abis ujian, nanti kak Miko beliin Nana jajan." Pengakuan Nana membuat Raven lega. Dia pikir Nana pergi ke taman bersama laki-laki lain misalnya. Ternyata lagi-lagi bersama Miko. Raven mulai sadar bahwa sepertinya dunia Nana tidak jauh dari Miko dan keluarganya. Yang entah kenapa membuatnya ingin menjadi salah satu dunia Nana nantinya. "Kamu emang gak pernah main gitu yah? sama temen-temen mungkin. Kemana gitu?" "Pernah mas, tapi memang gak pernah jauh. Kalau kaya ke pasar malem gitu Nana pernah sama temen-temen tetangga aja sih." Jawab Nana jujur. Raven tersenyum, lalu tangannya yang satu lagi terangkat dan mengusap poni Nana dengan mesra. "Kamu polos banget sih, mas jadi gak sabar jadiin kamu istri." Ucap Raven membuat Nana memerah lagi. Wajahnya juga memanas. Nana pikir Raven akan terasa dingin dan kaku mengingat sikapnya memang seperti itu terhadap orang lain. Tapi Nana baru tahu bahwa Raven juga gemar sekali menggodanya dengan hal-hal yang membuat Nana malu-malu. Yang kalau boleh diartikan lebih sedikit mesra. Membuat jantung Nana berdetak tidak karuan. Mungkin seperti ini yang dirasakan teman-temannya ketika berduaan dengan pacarnya. Pantas saja mereka terlihat merona sambil tersenyum bahagia, karena sensasinya memang semenyenangkan itu. pikir Nana dalam hatinya. *** Begitu sampai di taman suasana tampak tidak terlalu ramai. Raven menarik Nana menuju bangku taman yang letaknya sedikit terhalang pohon sehingga tidak terlalu panas sekaligus tidak begitu terlihat oleh orang lain yang sedang berada di sana. Kemudian memulai ceritanya tentang Bunga. Raven memberitahukan segalanya, tentang perasaannya dan tentang kejadian di kantor tadi. Nana mendengarkannya dengan seksama, tidak menyela sedikitpun hingga Raven selesai. Tapi perasaannya campur aduk sekali, dan tiba-tiba saja ingin menangis tapi dia tahan. Entah karena alasan apa juga Nana tidak tahu. Dia hanya merasa seperti tidak suka mengetahui Raven memiliki perasaan pada wanita lain sementara mereka akan menikah. Ada perasaan bersalah juga karena walaupun mereka tidak memiliki hubungan tapi Nana tetap merasa menghalangi perasan Raven. "Kita belum terlanjur menikah, menurut Nana kalau mas memang menyukainya dan dia juga mengatakan menyukai mas juga kita masih bisa membatalkannya mas. Nana merasa tidak enak hati jika dilanjutkan sementara perasaan mas masih ada untuk mbak Bunga." Ucap Nana setelah Raven selesai. Raven tersenyum kemudian memaksa Nana menoleh ke arahnya. "Nggak sedalam itu perasaan mas padanya, buktinya aku lebih memilih jalan sama kamu kan sekarang padahal dia lagi nangis di kantorku habis bilang cinta. Aku belum bisa bilang kalau perasaanku padamu ini cinta, tapi aku merasa lebih berat ke arahmu dibanding ke Bunga. Mau kan mulai pelan-pelan sama mas?" Nana tidak ada reaksi dan tampak berpikir sehingga Raven melanjutkan. "Mas tahu mungkin perasaan kamu tidak enak setelah mendengar semua cerita mas, tapi mas tetap harus menceritakan ini karena kita akan menikah dan mas tidak mau menyimpan apapun darimu." "Jadi mbak Bunga tadi masih di kantor mas pas mas jemput Nana?" Raven mengangguk. "Mas Raven yakin sama Nana?" Raven mengangguk lagi. "Nana masih bodoh loh mas, Nana banyak yang gak tahunya dibanding yang tahu. Mas Raven orang penting, nanti apa kata orang-orang kalau mas punya istri kaya Nana." Tambah gadis itu lagi. "Yang rasain kan mas bukan orang lain. Makanya mas nanyanya sama kamu karena kamu juga akan ikut merasakan bukan orang lain. Mas tidak mau memaksamu sebenarnya Na, tapi mas juga tidak bisa melepaskanmu setelah pertemuan pertama kita kala itu." "Iya mas, Nana mau mulai pelan-pelan sama mas. Biarpun sebenarnya Nana merasa bersalah." Ucap gadis itu jujur. Raven mengernyit. "Merasa bersalah kenapa?" Tanya laki-laki itu. Menatap khawatir karena saat itu dia juga melihat mata Nana mulai berkaca-kaca. "Nana merasa bersalah karena mas harus menikah sama Nana sementara Nana yakin banyak hal yang mau mas lakukan seandainya saja pernikahan kita tidak terjadi kan? Maafin Nana dan ayah ya mas." Ucap gadis itu sambil meneteskan air mata. Raven tertegun karena Nana baik sekali sampai memikirkan ke arah sana. Padahal jika gadis lain di posisi Nana pasti akan bahagia-bahagia saja karena Raven juga terlihat tidak keberatan. Laki-laki itu tidak tahan, meraih pipi Nana menggunakan kedua tangannya. Mengusap air mata disana dan menarik wajah Nana mendekat hingga bibir mereka bertemu. Nana terbelalak keget dengan apa yang sedang dilakukan oleh Raven. Terlebih merasakan bibir laki-laki itu bergerak dan semakin mendorong kepalanya mendekat sehingga ciuman mereka semakin dalam. Nana tidak tahu harus bereaksi seperti apa, jantungnya seperti meledak-ledak dan ada gelayar perasaan aneh yang berkumpul di perutnya. Dia hanya memejamkan matanya saja dan tidak bereaksi apapun. Kemudian sedikit memekik ketika Raven menggigit bibir bawahnya kaget, dan semakin kaget merasakan lidah Raven masuk ke dalam mulutnya dan menggoda lidahnya di dalam sana. Menjelajah ke seluruh bagian mulutnya. Mengirimkan perasaan campur aduk hingga Nana terengah-engah. Laki-laki itu kemudian melepasnya ketika merasakan Nana mulai kehabisan pasokan udara. "Maaf Na, aku gak tahan. Bibir kamu manis banget." Ucap Raven sambil sedikit terengah kemudian mengulanginya lagi. Kali ini lebih lembut, Nana merasa lemas tiba-tiba dan meremas kemeja Raven kuat-kuat. Terlebih ketika laki-laki itu menggigit-gigit mesra bibirnya kemudian mengulumnya lagi dan mempermainkan lidahnya lagi-dan lagi membuat Nana semakin tidak berdara. "Mas Raven udah, Nana gak bisa napas." Ucap gadis itu terengah-engah. Raven tersenyum kemudian menarik Nana kedalam pelukannya. "Seharusnya mas yang merasa bersalah karena menghalangi rencana kuliahmu. Tapi mas malah tidak bisa menolak ketika ayah kamu meminta mas menikahimu. Dan sekarang malah semakin tidak bisa menolak setelah kenal kamu. Mas kayaknya mulai cinta sama kamu Na. Kalau kamu belum nggak papa kok, pelan-pelan aja nanti mas pasti bikin kamu cinta juga sama mas." Ucap Raven lembut sambil membelai rambut panjang Nana. Sementara Nana sendiri masih belum bisa menguasai debaran di jantungnya yang menggila akibat ciuman nakal dari mas Ravennya. "Pokoknya kamu milik mas, karena itu mas akan marah kalau kamu deket-deket cowok lain." Ucap Raven lagi. Wajah Nana makin panas, membayangkan nanti setelah menikah pasti akan terjadi hal-hal yang lebih jauh dari ciuman tadi. Mengingat lama-lama Raven mulai mendekat dan mulai m***m. Nana tidak tahan membayangkannya sehingga dia meremas punggung kemeja Raven dan mengeratkan pelukannya. Pikiran Nana sepertinya mulai kotor, dan itu gara-gara drama korea yang suka di tontonnya diam-diam serta tersangka paling utamanya adalah Raven. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN