Raven terdiam, Bunga sedang menangis dihadapannya sekarang. Tapi dia tidak berencana untuk menghampirinya atau memeluknya. Dia merasa bahwa Nana lebih tepat untuk dia prioritaskan sekarang, bagaimanapun sudah bertemu dua keluarga dan sudah menetapkan tanggal pernikahan jadi semua itu harus dia pertanggungjawabkan. Hati Raven masih bergetar mendengar pengakuan cinta Bunga tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa dengan itu. Karena dia tidak mungkin membatalkan semua rencananya dengan Nana. Dia sudah mantap untuk menikahi gadis manis itu sekalipun belum lama mengenalnya. Tidak ada alasan khusus, Raven hanya merasa dia gadis yang tepat itu saja. Masalah cinta dia yakin akan hadir seiring berjalannya waktu.
Raven bukannya tak senang mendapat pengakuan cinta dari Bunga. Tapi dia merasa bunga seperti mempermainkannya. Kenapa dia harus mengakuinya sekarang padahal dia tahu kalau Raven menyukainya, Raven yakin Bunga tahu tapi pura-pura tidak tahu dan terus saja berhubungan dengan laki-laki lain. Raven tidak berpikir untuk menjadikan pernikahannya dengan Nana sebagai alat balas dendam pada Bunga, tidak pernah sedikitpun. Dia hanya merasa bahwa Bunga memang perlu di beritahu bahwa seseorang akan pergi jika terus-terusan tidak di hargai.
Tidak lama kemudian Fitri masuk membawakan teh hangat. Tadi Raven sempat menghubunginya menggunakan pesan teks. Saat itu juga Raven berdiri, membuat Bunga segera menoleh. "Fit tolong temani Bunga sampai dia lebih baik nanti sekalian tolong panggilkan taxy juga buat dia pulang." Ucap Raven pada Fitri yang membuat Bunga marah sekali. Karena Raven tidak mengatakan sepatah katapun terhadap pernyataan perasaanya barusan. Harga diri Bunga terluka, tapi Raven terus melanjutkan langkahnya meninggalkannya sekalipun dia berteriak memanggil.
Ketika Raven sampai Nana sudah siap dan tampak cantik. Tapi rumahnya sepi sekali. "Miko gak ada Na?" Tanya Raven. Gadis itu mengambil tasnya dan menghampiri Raven, membuat laki-laki itu mencium wangi Vanila lembut yang menguar dari tubuh gadis itu. Nyaman sekali di hidunya dan dia ingin berlama-lama menikmati harum itu.
"Lagi jemput ayah sama bunda mas, soalnya mobil mereka mogok di jalan." Jawab Nana dengan lebih berani. Sekarang dia sudah bisa menatap mata Raven tidak seperti sebelumnya yang selalu menunduk. Raven senang.
"Ohh ayah sama bunda udah selesai seminar di luar kotanya?" Tanyanya lagi, sambil menggandeng tangan Nana menuju mobilnya. Nana sedikit terlonjak dan Raven yakin ini pertama kalinya tangan gadis itu di sentuh lawan jenis. Wajahnya bahkan memerah. Raven gemas sekali.
"Udah selesai mas, harusnya dari tadi udah di rumah tapi mobilnya mati di tengah jalan." Jawab Nana lagi. Setelah mereka masuk tiba-tiba ponsel Raven berdering. Ada nama Anggi disana. Raven mendesah karena Fitri pasti sudah melaporkan pada ibunya yang Kepo itu jika Bunga datang ke kantor. Tapi mana berani Raven mengabaikan telpon dari ibu negara, bisa kena semprot berkepanjangan nantinya.
"Sebentar yah Na, mas angkat telpon dari mama dulu." Nana mengangguk. Raven segera menjauhkan ponselnya mendengar teriakan Anggi. Bisa-bisanya dia berteriak padahal Raven yakin ibunya sekarang sedang tugas di Rumah Sakit.
"Raven lagi sama Nana mah." Ucap laki-laki itu, lalu menyerahkan ponselnya ke arah Nana karena ibunya tidak percaya. Nana menatap Raven bingung. "Mama mau ngomong sama kamu."Nana akhirnya menerima ponsel Raven dan berbicara dengan Anggi. Tidak lama kemudian gadis itu menyerahkan kembali ponsel Raven dalam keadaan sambungan telpon sudah mati. Raven tampak sedikit kesal dimata Nana.
"Mas Raven lagi berantem sama mama Anggi?" Tanyanya polos, Raven tertawa.
"Nggak, mama gak percaya aja kalau aku sekarang aku udah sama kamu. Soalnya tadi Bunga datang ke kantor." Jawab raven jujur. Entah kenapa dia tidak mau merahasiakan apapun pada Nana.
"Ohh mba Bunga yang waktu itu yah." Tanya Nana lirih. Raven melajukan mobilnya sambil mengangguk. "Dia pacar mas Raven yah?" Tanya Nana hati-hati. Perasaan Nana tidak enak jika dia memang pacar dari calon suaminya itu. Nana menyadari bahwa Raven itu ganteng, kaya, dan baik sehingga tidak mungkin tidak memiliki kekasih. Dan beberapa hari ini entah kenapa Nana merasa bersalah karena mungkin saja dia telah menghalangi rencana Raven dengan gadis lain karena dipaksa menikahinya. Ayahnya memang tergolong memiliki pemikiran kolot yang jika menurutnya tidak pantas maka harus dipertanggungjawabkan.
"Bukan, kok kamu mikirnya gitu?" Tanya Raven balik.
"Nggak papa sih mas, soalnya kalian keliatan dekat. Nana nggak enak." Raven tersenyum.
"Kenapa nggak enak, kamu gak melakukan apapun yang salah kok. Jangan merasa bersalah, mas juga gak punya pacar kok sama kaya kamu jadi kamu nggak merebut mas dari siapapun. Nanti kita ngobrol yah, sekalian mas mau ceritain Bunga sama kamu." Ujar Raven menenangkan Nana. Gadis itu merasa lebih baik tapi juga penasaran dengan alasan Raven tidak menolak ketika di cecar untuk menikah.
"Nggak diceritain juga nggak papa kok mas. Maaf kalau Nana keliatannya Kepo." Gadis itu menggigit bibir bawahnya tidak enak dan itu justru terlihat sexy dimata Raven. Raven terkekeh.
"Nggak kok, emang Mas mau kasih tahu kamu aja. Gak mau ada rahasia karena kita akan menikah." Ucap laki-laki itu mengakhiri obrolan mereka di dalam mobil saat itu.
***
Nana merasakan panas di wajahnya merasakan tangan Raven menggenggam tangannya sambil berjalan menuju Resto yang Raven ceritakan. Seperti ada sengatan listrik yang menjalari tangannya dan membuatnya sedikit geli di perut. Wajahnya pasti memerah sekarang dan dia bahkan tidak berani menatapa orang-orang yang berpapasan dengannya karena takut mereka berpikiran yang tidak-tidak dengan kemsraan yang Raven tunjukan. Nana tidak tahu bahwa bergandengan tangan seperti itu, merupakan hal yang wajar untuk sepasang kekasih. Dia baru pernah merasakaannya.
"Mau langsung makan atau kamu mau kita kemana dulu?" Raven bertanya dan mengulum senyum melihat wajah Nana tampak malu-malu karena dia menggenggam jemari gadis itu dengan mesra. Menyenangkan sekali menikmati ekspresi gadis itu.
"Terserah mas aja, Nana nggak tahu juga."
"Kamu nggak pernah jalan sama temen kamu?' Tanya Raven penasaran.
"Nggak boleh sama ayah, biasanya Nana di bolehin kalau ke toko buku doang mas dan dikasih waktu. Jadi Nana mana sempet pergi kemana-mana." Jawab Nana jujur. Raven tersenyum.
"Kalau gitu nanti tugas Mas yang ajak kamu kemana-mana." Jawab Raven membuat Nana tersenyum. Lagi-lagi menghipnotis mata Raven, bahkan berhasil membuat laki-laki itu melupakan kejadian dengan Bunga di kantornya tadi. "Kalau gitu kita langsung makan aja yah Na, nanti habis itu kita jalan ke taman aja biar bisa ngobrol. Kalau udah nikah baru mas ajak kamu kemana-mana. Sekarang gak berani soalnya Miko galak." Ujar Raven membuat Nana tersenyum geli.
"Emang mas Raven diapain sama mas Miko waktu itu?" Tanyanya.
"Dipukul. Untung gak berbekas. Mas dikira mau mainin kamu. Kurang kerjaan banget mainin pernikahan." Jawab Raven membuat Nana sedikit tidak enak.
"Sakit gak? maafin kak Miko ya mas?" Ucapan Nana dengan nada khawatir itu membuat Raven tersenyum. Dia tidak langsung menjawab karena saat itu dia sampai di Resto dan menanyakan meja privasi yang dipesannya. Kemudian menggandeng Nana kesana. Tempat duduk mereka terlihat seperti pondok warnet menurut Nana. Ada penghalang di setiap sisinya sehingga tidak terlihat oleh pengunjung lain. Ruangannya juga mewah dengan desain kekoreaan yang membuat nyaman. Seumur hidup Nana baru pernah datang ke tempat seperti itu.
"Tadi kamu tanya kan sakit apa nggak?" Raven melanjutkan obrolan mereka tadi. Nana mengangguk, dan sedikit kaget karena Raven berdiri dan duduk di sebelahnya dekat sekali. Padahal tadi mereka sudah duduk berhadap-hadapan. Wajah Raven mendekat membuat Nana mundur dengan canggung tapi kemudian Raven menunjukkan pipinya dan tampak sedikit memar disana. Tidak terlihat memang jika dalam jarak jauh, sehingga laki-laki itu mendekat. Tapi bukan hanya karena alasan itu sebenarnya. Dia hanya ingin dekat saja dengan Nana menggunakan alibi bekas pukulannya yang tidak seberapa. Lagi-lagi bukan seperti Raven, karena bahkan kepada Bunga saja yang di sukainya dulu, dia tidak pernah berusaha mendekatinya secara fisik seperti yang sekarang dia lakukan pada Nana.
"Udah diobati kan mas?" Tanya Nana sambil menahan kegugupannya. Karena Raven tetap duduk disana tidak kembali ke tempatnya.
"Udah kok. Kakak kamu pasti jago berantem yah Na? pukulannya keras banget."
"Kak Miko jago beladiri mas. Sering menang lomba juga." Jawab Nana sambil menampilkan wajah tidak enak. Raven tersenyum, suasananya sangat mendukung keinginannya untuk menempelkan bibirnya dengan bibir tipis berwarna pink milik Nana. Tapi Raven khawatir Nana akan ketakutan padanya jika dia melakukannya sehingga laki-laki itu menahannya. Padahal dalam jarak seperti itu sambil mencium aroma Vanila yang memabukkan dari tubuh Nana, sesuatu di bawah perut Raven sedikit bereaksi. Raven sendiri mengutuk dalam hati, apakah dia berubah jadi laki-laki m***m sekarang? Gara-gara Nana?
***