Olivia masih menangis dalam pelukan nenek Panji. Wanita paruh baya itu tidak menyangka jika ada seorang ayah yang tega memutuskan hubungan dengan darah dagingnya sendiri.
"Sudahlah, jangan menangis lagi. Oma yakin jika suatu saat papa kamu akan menyadari kesalahannya," ucap Florentina-nenek Panji sembari mengusap lembut kepala Olivia.
"Maaf karena saya telah merepotkan Ibu."
Olivia berusaha menghentikan tangisannya, tapi dia tak bisa melakukannya. Air matanya mengalir deras, padahal Olivia tidak ingin menampilkan sosok dirinya yang lemah di depan Panji.
"Panggil Oma karena kamu akan menikah dengan Panji," ucap Florentina dengan tegas.
"Kamu sama sekali tidak merepotkan, justru Oma senang sekali karena bisa mengenal gadis secantik ini. Pantas saja Panji mau cepat-cepat menikahi kamu." Tak ayal perkataan Florentina membuat Panji otomatis terbatuk, sementara semburat merah menghiasi kedua pipi Olivia.
"Oma jangan buka kartunya Panji dong, mereka berdua langsung malu-malu meong tuh," ucap Santoso-kakek Panji dengan tawa menggoda.
"Oma, Opa, aku lagi nyetir ini. Jadi bisa untuk nggak ganggu fokus aku," elak Panji yang berusaha menyembunyikan rasa malunya.
Saat itu jugalah Olivia merasa jika sesuatu mengalir dari bagian tubuhnya. Dia tersentak saat menyadari apa yang terjadi, ingin meminta Panji menghentikan mobil tidak berani Olivia lakukan karena pria itu sedang terlibat dalam pembicaraan serius dengan Andreas.
"Semoga aja nggak semakin deras ngocornya," ucap Olivia dalam hati yang terus berdoa di sepanjang perjalanan.
Untung saja Olivia memakai celana panjang berwarna coklat gelap, jadi noda berwarna merah itu tidak akan terlalu kentara.
"Maaf, saya berhenti di sana saja, Pak," ucap Olivia saat melihat minimarket biru yang berjarak 50 meter di depannya.
"Saya akan antar kamu pulang sampai ke kontrakan." Nada suara Panji yang tidak ingin dibantah itu membuat Olivia meringis.
Dia berdoa semoga tidak akan ada yang menyadarinya. Jika tidak, mau ditaruh di mana wajahnya? Di kulkas? Tapi bayangan Panji yang menatapnya penuh ejekan membuat Olivia akhirnya memberanikan diri untuk mengajukan permohonan kepada pria itu.
"Tapi ada yang harus saya beli di minimarket."
"Panji, kamu temani dan antar Olivia pulang. Biar Papa yang nyetir ke rumah, kasihan Opa dan Oma butuh istirahat," ucap Andreas yang menyadari keanehan yang terjadi pada Olivia.
"Tidak usah Pak, saya sudah biasa sendiri." Tolak Olivia yang tak ingin kehilangan muka di depan sang CEO.
Helaan napas panjang Panji hembuskan, pria itu segera menepikan mobilnya lalu mengajak Olivia turun. Raut wajah enggan yang wanita itu tampilkan membuat Panji mengernyit.
"Katanya mau ada yang dibeli, ayo cepat turun Olivia." Titah Panji yang membuat Olivia tidak dapat membantah.
Setelah berpamitan kepada ketiganya, Olivia segera turun dari mobil dan meninggalkan Panji begitu saja. Pria itu hanya dapat menggelengkan kepala melihat kelakuan calon istrinya itu.
Barulah saat Olivia turun, Florentina menyadari apa yang terjadi pada gadis itu. Wanita itu segera mengambil beberapa lembar tisu basah dari tasnya dan menaruhnya pada bekas Olivia duduk. Apa yang dilakukan oleh Florentina mengundang rasa penasaran Santoso namun sebelum sang suami berbicara, dia sudah meluncurkan sebuah kalimat agar Olivia tidak semakin merasa malu.
"Jangan bertanya dan mencoba cari tahu. Biarkan saja seperti ini."
***
Panji hanya terdiam saat Olivia memutari minimarket ini untuk keempat kalinya. Dalam hati dia juga penasaran akan benda yang dicari oleh Olivia, tapi Panji hanya mengamati wanita yang mulai terlihat tidak nyaman itu. Dia tahu jika Olivia tidak akan mengatakan yang sejujurnya.
Akhirnya Panji memutuskan untuk melangkah ke arah kulkas yang menjual berbagai minuman dingin, dia ingin minum sesuatu yang menyegarkan malam ini. Dua buah kaleng minuman kopi telah Panji ambil, saatnya pria itu menghampiri Olivia kembali.
Baru saja mulutnya akan membuka, Panji memicingkan mata saat melihat noda pada celana Olivia yang lumayan banyak. Akhirnya dia paham apa yang membuat Olivia gelisah sejak tadi.
"Ayo cepat kita pulang, kost kamu sudah dekat 'kan?" ucap Panji sembari melepas jaketnya dan memakaikannya pada Olivia.
"Setidaknya ini akan menutupi nodanya," sambung Panji dengan berbisik dan membuat semburat merah pada pipi Olivia kembali muncul.
Olivia sudah kehilangan wajahnya di depan Panji saat ini dan dia tak berani menatap pria itu.
***
"Sekali lagi terimakasih karena sudah mengantarkan saya pulang. Bapak bisa pulang sekarang," ucap Olivia saat keduanya sudah berada di depan rumah kos-kosan yang memiliki 20 pintu itu.
"Saya sudah capek-capek nganterin kamu pulang tapi kamu tak berbasa-basi menawarkan minum sama saya. Sungguh tak dapat dipercaya," sindir Panji.
"Saya mau mandi, Pak. Masa iya Bapak nungguin saya mandi, rasanya nggak etis. Apa kata orang kalau melihat saya membawa masuk seorang pria ke dalam kamar saya." Protes Olivia dengan berkacak pinggang.
"Memangnya kita mau ngapain? Kamu juga lagi nggak bisa saya tidurin 'kan?'' ucapan Panji yang frontal itu membuat Olivia terperanjat.
"Jadi Bapak mau niat macam-macam sama saya?'' pekik Olivia sambil memandang ngeri Panji.
"Kita sudah pernah berbagi saliva dan cairan tubuh, Olivia," timpal Panji yang segera memasuki rumah berlantai 4 itu. Karena Olivia membayar sedikit lebih mahal, maka dia mendapatkan kamar di lantai 1.
"Pak! Jangan keras-keras ngomongnya," gerutu Olivia sembari menepuk keras punggung Panji.
"Apa masalahnya? Bukannya kita akan segera menikah," ucap Panji dengan santai saat keduanya sudah memasuki kamar Olivia.
"Kalau semua orang tahu kelakuan CEO Mahendra Grup yang sebenarnya, saya bisa menjamin citra dingin dan maskulin Bapak bakal hilang," sahut Olivia dengan ketus.
Panji lantas menatap tajam Olivia dan mendekati gadis itu. Suasana hening tercipta diantara keduanya, awalnya Olivia mengira jika Panji marah besar pada dirinya. Baru saja gadis itu akan membuka suara untuk meminta maaf, Panji sudah melabuhkan bibirnya pada bibir Olivia dan menciptakan ciuman yang panas membara.
Awalnya Olivia terkejut dan berusaha untuk memberontak. Namun Panji menyentuh area sensitifnya, membuat Olivia akhirnya mendesah lalu menikmati cumbuan panas Panji pada tubuhnya.
Olivia tersentak saat menyadari jika ada sesuatu yang mengacung tegak diantara kedua pahanya.
"Pak ..." Panggil Olivia disela ciuman panas keduanya.
"Sial!'' umpat Panji yang lalu melepaskan tautan bibir keduanya.
"Kamu cepat mandi, karena setelah itu saya harus menuntaskannya sendiri." Olivia langsung berlari ke kamar mandi.
Jantung Olivia berdebar kencang, ternyata ini rasanya melakukan ciuman dalam keadaan sadar. Sungguh nikmat dan membuat candu. Shower Olivia atur dengan kecepatan tinggi untuk meredam rasa panas pada tubuhnya. Andai saja tidak ada Panji di dalam kamar kost-nya, Olivia pasti sudah berlama-lama membasuh tubuhnya.
10 menit kemudian, dengan tampilan yang sudah segar Olivia keluar hanya berbalut handuk. Dia lupa membawa pakaian ganti karena terbiasa di kamarnya sendiri.
"Apa kamu mau bertanggungjawab untuk menidurkannya?'' tanya Panji saat melihat kulit tubuh Olivia yang seputih s**u.
Sejujurnya dengan porsi tubuh Olivia yang agak berisi membuat Panji tidak khawatir jika wanita itu akan hancur saat dia menyentuhnya. Karena bayangan permainan panas malam itu ternyata terus terpatri dalam benaknya dan membuat Panji merasa candu akan Olivia.
"Cepat Bapak ke kamar mandi!'' jerit Olivia sembari memegang area dadanya dengan kedua tangannya.
Ini buruk! Panji ternyata lebih m***m daripada Yuda dan Olivia sudah dapat membayangkan kehidupan pernikahan apa yang akan mereka jalani berdua. Pernikahan tanpa cinta namun membara di ranjang.