Hampir lima bulan bekerja di Edz Company membuat Zora lega walaupun sedikit. Dia tidak bisa membayangkan jika seumur hidup harus hanya bertiga dengan Iyya dan Iyyo.
Zora selalu menangis kalau memikirkan hal itu. Tentu saja sekuat apapun dia, dia juga hanya seorang wanita yang berumur 21 tahun. Diumurnya yang ke 20 dia sudah hamil dan harus terlunta-lunta untuk menghidupi dirinya dan bayi yang dikandungnya.
Di umur yang ke 21, dia sudah harus memikirkan hidup mereka dan masa depannya. Zora tidak sekuat itu. Dia butuh penopang untuk hidupnya. Tapi tidak ada, Zora hanya bisa bersugesti kepada dirinya sendiri supaya dia lebih kuat. Sehingga bisa dengan mudah menjalani hidup dengan kedua anaknya.
“Semua perlengkapan udah kamu bawa kan Ra?” tanya Arin.
Wanita yang lebih teguh pendirian dan lebih keras kepala daripada Zora itu nekat menjemput Zora untuk berangkat bersama. Dan dengan pintarnya Arin ke rumah Zora tanpa bilang terlebih dahulu, dan Arin datang agak pagi supaya Zora belum berangkat.
“Udah mbak. Ayo berangkat!”
Mereka berjalan kaki menuju kantor. Sedangkan motor yang tadi dipakai Arin yang biasanya untuk kerja ditinggal di rumah Zora. Selain menyehatkan, jalan kaki juga membuat irit. Padahal sebenarnya bukan kebiasaan Arin berjalan kaki.
“Duh, kan mbak sudah bilang Ra. Mending tinggal aja sama mbak. Banyak untungnya juga,” Arin mengungkit hal itu lagi.
“Nggak usah mbak. Entaran aja,” balas Zora singkat.
Dia selalu tidak enak jika hal itu dibahas terus. Dia tidak enak jika harus tinggal bersama. Tapi Zora juga tidak enak jika menolak terus. Semua serba salah menurutnya. Dia hanya tidak ingin membuat kesal orang. Apalagi orang menyayanginya.
“Ngeyel terus deh,” gerutu Arin sambil menggendong Iyyo. Bayi cowok itu memang lebih anteng dibanding kakaknya.
“Entar sore deh mbak aku nginep,” putus Zora.
Setelah itu Arin memekik senang karena akhirnya Zora lulus. Setidaknya ini menginap semalam dua malam. Nanti pasti akan mau tinggal bersamanya. Arin tersenyum memikirkan cara supaya Zora tinggal bersamanya.
Bukan bermaksud apa-apa apalagi terobsesi untuk bisa tinggal dengan Zora. Dia hanya ingin membantu Zora dengan apa yang dia punya. Dan ini cara termudah untuk membantu Zora. Dengan cara meringankan beban tempat tinggal dan membantu merawat kedua bayi itu.
***
Baru saja sampai di ruangan, sudah terdengar grasak-grusuk para karyawan membicarakan sesuatu. Zora merasa tidak nyaman dengan itu, walaupun bukan dia yang dibahasnya. Dia seakan merasakannya.
“Pada bicarain apa sih Ren?” tanya Zora kepada Reno, salah satu temannya.
“Lo nggak tahu Ra? Itu adiknya pak bos bakalan jadi general manager baru. Katanya cantik banget, tunangannya juga bakalan ikut. Betewe tunangannya itu sahabatnya pak bos sendiri,” terang Reno.
Zora mengangguk-angguk paham. Bukan hal baru jika tiba-tiba ada seorang anggota keluarga Edzard yang akan mengisisi posisi atas. Dan orang yang sebelumnya menempati posisi itu akan dipindah ke kantor cabang.
“Ra, ayo cepetan kumpul.”
Zora paham dengan maksud kumpul. Mereka akan menyambut general manager baru itu sekaligus menyambut adik dari pemilik perusahaan itu. Zora langsung segera mengikuti langkah karyawan lain. Dia menoleh ke arah anak-anaknya yang tertidur nyenyak.
Sesaat ragu menghampiri. Dia tidak was-was jika ditinggal kerja karena biasanya di ruangan ini tetap akan ada satu atau dua orang. Tapi sekarang tidak ada satupun membuat dia takut meninggalkan ruangan itu.
Tapi dengan terpaksa Zora meninggalkan Iyya dan Iyyo. Dia yakin jika acara penyambutan itu tidak akan lama. Zora segera menetralkan perasaannya yang sangat tidak terdefinisi itu.
“Ra, lihat deh. Pak bos sama sahabatnya ganteng banget,” bisik teman Zora, Yaya.
Yaya adalah cleaning service paling up to date. Setiap berita dia selalu tahu entah darimana dia tahu berata itu. Seolah Yaya adalah orang yang mempunyai banyak mata-mata.
Zora menegang melihat itu. Ini tidak baik, lebih baik dia tidak melihatkan dirinya. Zora menunduk dan terus-terus berdoa agar acara ini cepat selesai. Tapi nyatanya setengah jam sudah berjalan dan acara itu belum sampai ke intinya.
“Kenapa kok gelisah Ra?” tanya Arin sambil berbisik. Arin duduk didepan Zora bisa merasakan getaran dari pergerakan kaki yang Zora lakukan.
“Mbak ini masih lama nggak sih?” tanya Zora cemas.
“Kamu mau balik ke ruangan?” tanya Arin lagi. Zora mengangguk dengan cepat.
“Yaudah nggak apa-apa. Kamu duluan aja entar aku yang nanggung. Lagian juga udah banyak karyawan yang keluar.”
Mendengar itu membuat Zora lega. Dia ingin sesegera mungkin keluar dari kerumunan itu dan ke ruangannya. Tapi Zora tidak bisa terburu-buru. Dia harus melakukannya dengan pelan supaya tidak ada yang menyadari kepergiannya. Bukan karena apa, walaupun banyak karyawan yang tidak mengenalnya. Tapi Zora pikir itu penting. Dia hanya tidak ingin menjasi bahan gosip baru.
Yang pasti isinya adalah cleaning service tidak tahu diri yang pergi saat inti penyambutan atasannya. Kan nggak masuk akal. Untunh banyak juga yang pergi, jadi dia tidak terlalu kelihatan.
Sampai di ruangan Zora lega. Iyya dan Iyyo masih saja nyenyak tidur. Sehingga Zora bisa mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Semalam Iyya rewel, sehingga Zora tidak bisa tidur dengan nyenyak. Sekarang dia akan memanfaatkannya untuk istirahat.
***
Rasa-rasanya baru beberapa menit yang lalu Zora tertidur. Dan dia sudah dibangunkan oleh Arin. Supervisor itu bilang jika dia sudah tertidur satu jam dan sekarang harus sudah mulai bekerja. Karena bu Ivona, sang general manager baru sudah mulai melaksanakan tugasnya.
Zora mendesah lelah. Dia kira hari ini akan agak santai karena acara penyambutan. Nyatanya tidak, acara penyambutan ini tidak seperti sebelum-sebelumnya. Yaitu, mereka akan libur saru hari. Bukan libur sih hanya ringan tugas karena atasan akan sibuk memyambut pegawai baru yang jabatannya tinggi.
“Ra, kamu dapat tugas bikinin kopi ke ruang CEO lagi,” ucap Arin sambil fokus dengan laptop dan intercom.
Zora segera bergegas ke pantri dekat ruangan CEO. Setelah selesai membuat kopi dan membawa setoples biskuit yang katanya khusus untuk pak Wyno. Zora segera mengantarkan kopi itu. Dengan perlahan setelah mendapat balasan supaya masuk, barulah Zora masuk dengan hati-hati. Jantungnya bertalu cepat, dia tidak bisa seperti ini.
“Terima kasih. Tapi bisa saya minta tolong lagi denganmu?” tanya CEOnya. Zora hanya berani mengangguk dan mengucapkan kata ya dengan sangat pelan.
“Tolomg buatkan jasmine tea buat teman saya dan juga bawakan beberapa toples makanan yang ada di pantri.”
Setelah mengucapkan pamit. Zora segera kembali lagi ke pantri untuk membuat jasmine tea. Sesampainya di pantri bukannya segera membuat pesanan itu. Zora malah melamun dan menangis. Jika tidak ingat tujuannya, maka bisa dipastikam dia lupa dengan tugas yang diberikan kepadanya.
Zora segera membawa segelas jasmine tea dan beberapa camilan kembali ke ruangan pak Wyno. Setelah kembali mengetuk dan mendapat balasan, Zora segera masuk dan meletakkan segelas jasmine tea di meja depan sofa. Setelah itu dia segera keluar sebelum memberikan senyum di wajah pucatnya kepada pak Wyno.
***