“Untuk tarif endorsement di feed media sosial ada di angka segitu. Apa kamu setuju?” tanya Aleida sebelum menyesap jus stroberinya.
“Saya bukan artis dan bukan influencer yang terkenal. Tarif yang kamu tawarkan untuk meng-endorse saya sudah cukup besar, Ale,” tutur Azkia menanggapi penawaran tarif endorse yang ditawarkan Aleida. Berbeda ketika dia masih menjadi istri Elvano, saat ini Azkia tidak akan pilih-pilih produk dan jasa perusahaan yang akan ditawarkan kepadanya. Tabungannya kian menipis setelah melunasi cicilan rumah dan dia yakin Elvano akan terus berusaha membuatnya menderita secara finasial dan emosional.
“Kamu itu selalu merendah, Kia,” tepis Aleida. “Saya tahu follower kamu di Y*utube dan media sosial lainnya itu banyak. Lebih dari dua juta follower. Kamu salah satu endorser yang banyak dicari.”
Azkia tersenyum menanggapi pujian Aleida. “Saya tidak seterkenal itu, Ale.”
Siang itu mereka bertemu di sebuah kafe untuk membicarakan masalah endorsement terkait produk skincare dari perusahaan yang baru didirikan Aleida. Wanita itu senang Azkia akhirnya menerima penawaran kerja sama darinya. Meskipun tidak terlalu berharap banyak produk kecantikan yang dibuat timnya akan laris manis di pasaran, tetapi Aleida pikir dia sudah berusaha maksimal untuk mempromosikan produk tersebut.
“Baiklah. Saya akan mengirim agreement-nya via email,” lanjut Aleida.
“Terima kasih.”
Meskipun tubuhnya berada di sana, duduk berhadapan dengan Aleida, tapi pikiran Azkia tidak bisa fokus terhadap diskusi mereka. Ingatan akan Elvano dan Zoya yang seolah-olah sedang mengolok-oloknya dalam wawancara di salah satu media masih terpatri dalam ingatan, begitupun dengan pernyataan Elvano mengenai pengusiran penyewa gedung Legenda, gedung yang baru saja dibelinya. Pria itu sungguh keterlaluan.
“Kok, didiemin aja sih minumannya?”
Pertanyaan dari suara bariton yang menyapa telinga Azkia menyentak kesadarannya. Azkia mengerjap lalu melihat ke arah Fattan yang sudah berdiri di samping kursi Aleida. Entah kapan pria itu datang, yang jelas Azkia baru menyadari keberadaan pria itu setelah suaranya mengetuk telinga Azkia. Azkia kemudian tersenyum kaku merespons pertanyaan Fattan.
“Duduk, Tan.” Aleidan mempersilakan Fattan duduk.
Fattan menarik kursi lalu duduk. Bentuk meja yang bulat membuat posisi Fattan berada di tengah-tengah di antara Azkia dan Aleida.
“Mau minum apa?” tanya Aleida pada Fattan.
“Tidak usah.” Fattan melirik arlojinya lalu memandang ke arah Aleida. “Saya ada meeting setengah jam lagi.”
“Sorry, ya, saya mendadak minta kamu ke sini. Saya pikir sebagai mitra kamu juga harus tahu bahwa Kia sudah setuju dengan penawaran endorsement produk skincare itu.” Aleida menjelaskan.
“Saya sih terserah kamu saja, Le. Kamu kan bosnya di sini, pastinya lebih mengerti soal siapa yang akan kamu tawari endorse,” tutur Fattan.
Aleida mengerucutkan bibir sambil menatap penuh canda pada Fattan. “Bos apa? Bos kampret?”
“Kamu kan yang mengelola, berarti kamu bosnya dong,” sambar Fattan.
Aleida spontan menepuk tangan Fattan yang Fattan letakkan di atas meja.
“Yah, beraninya KDRT,” keluh Fattan dengan nada bercanda dan sambil menyunggingkan senyuman.
“Kalau KDRT tuh begini.” Aleida mengulang memukul tangan Fattan dengan lebih keras.
Fattan menarik tangan yang dipukul Aleida ke depan d4d4 dan menggosok-gosok tangannya pelan. “Aduh, Le. Ampun. Udah, ah. Sakit tau,” tutur Fattan.
Melihat keakraban Aleida dan Fattan serta kebersamaan mereka sejak beberapa hari yang lalu, Azkia menyimpulkan kalau Fattan dan Aleida adalah sepasang kekasih. Perasaan iri sempat terbersit di benaknya. Azkia belum pernah berpacaran sampai dia harus menikah dengan Elvano secara mendadak. Laki-laki yang benar-benar dekat dengannya hanyalah ayah dan adiknya. Elvano sebagai suami pun tidak pernah benar-benar dekat secara emosional dengannya. Pria itu cuma memanfaatkan tubuhnya sebagai pemuas hasrat. Namun, Azkia segera menghempas perasaan irinya pada Aleida dan Fattan. Setiap orang punya cerita dan jalan hidup masing-masing. Suatu saat dia pasti akan mendapatkan pendamping yang jauh lebih baik dari Elvano, harapnya dalam hati.
“Kalian pasangan yang serasi.” Azkia melebarkan mata menyadari ucapannya yang tercetus begitu saja.
Fattan dan Aleida kompak menatap Azkia dan membuat Azkia merasa sedikit menegang. Sedetik kemudian tawa Aleida dan Fattan pecah. Azkia semakin dibuat bingung oleh reaksi mereka.
“Kita memang pasangan,” ucap Fattan sambil menahan tawa.”Pasangan berantem,” imbuhnya.
“Kita itu sudah temenan dari orok. Lagi pula, si Fattan ini ceweknya banyak. Saya tidak bisa bersaing dengan cewek-ceweknya,” canda Aleida.
“Le, jangan begitu dong,” protes Fattan, “kalau di depan cewek cantik, kamu jangan menjatuhkan saya.” Fattan kemudian tertawa kecil sambil melirik Azkia yang hanya tersenyum kaku menyaksikan candaannya dengan Ale.
Pertemuan itu berakhir sekitar sepuluh menit kemudian. Fattan sempat menawarkan tumpangan pada Azkia, tapi Azkia menolak karena dia membawa kendaraan sendiri. Di tengah perjalanan pulang Azkia menerima pesan dari Tita. Kakak sepupunya itu mengabarkan bahwa dia dan suaminya tidak bisa mengunjunginya di rumah karena suatu alasan penting. Suaminya minta Azkia untuk datang ke firma hukumnya besok lantaran ada beberapa berkas untuk ditandatangani.
***
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih satu jam, Azkia akhirnya tiba di kantor Daud di gedung Legenda. Miris, Azkia melihat plang pengumuman tepat di depan lobi yang bertuliskan, ‘Waktu pengosongan sampai tanggal 22 Juni’. Waktu yang diberikan Elvano sangat mepet, kurang dari satu minggu setelah pengumuman yang dilontarkan pria itu ke media. Gila.
Pandangan Azkia pun menangkap kesibukan beberapa orang yang sedang mengeluarkan barang-barang dari kantor mereka. Mengingat gedung berlantai lima itu disewa oleh beberapa perusahaan yang tidak memiliki gedung sendiri, tak ayal perintah pengosongan penghuni membuat sibuk para penyewanya.
“Ini berkas-berkasnya.” Daud meletakkan berkas perceraian Azkia di atas meja ketika sepupu iparnya itu sudah duduk di dalam ruang kerjanya. “Yang kita hadapi sekarang, bukan orang sembarangan. Dia punya dukungan materil yang cukup kuat. Kamu tahu zaman sekarang apa pun bisa dibeli,” lanjutnya sambil memasukkan map-map dari dalam kabinet ke kotak kardus besar.
“Iya, Mas.” Azkia menjawab sembari duduk di depan meja kerja Daud.
“Mas pikir laki-laki itu akan berubah ketika dinikahkan dengan kamu, nyatanya dia malah membuat kamu menderita. Sekarang, kelakuannya semakin menjadi-jadi. Yang dirugikan bukan hanya firma hukum ini, tapi juga penyewa lain yang tidak ada hubungannya dengan kekalahan dia dua tahun lalu. Kadang Mas heran sama si Vano itu. Dia yang salah sudah memperk0s4 dan menyekap kamu, kok malah dia yang mendendam pada kita semua. Otaknya sudah geser tuh orang.”
Azkia terdiam ketika kenangan pahit dua tahun lalu kembali membayangi. Elvano berhasil merenggut dan menghancurkan semua mimpinya. Namun, pria itu tidak bisa berhenti menyakitinya. Aneh.
“Sudahlah. Jangan bersedih.” Daud kembali duduk dan mencoba menenangkan Azkia. “Kamu harus kuat, Kia. Kamu harus bisa menunjukkan pada calon mantanmu itu bahwa tidak semuanya bisa dibeli dengan uang.”
“Kia hanya ingin semuanya cepat selesai dan Kia tidak mau lagi berhubungan dengan Vano.”
Dering notifikasi dari ponsel Daud menginterupsi obrolan mereka. Daud kemudian membaca pesan singkat dari asistennya. Sebagai managing partner, Daud harus mewakili partner yang lainnya untuk mengatur dan mempersiapkan kepindahan kantor itu ke gedung yang baru.
“Kia, sebentar, ya. Mas ada tamu. Pemilik gedung yang akan menjadi kantor baru untuk firma hukum ini datang berkunjung. Mas nggak enak kalau tidak menemuinya. Soalnya dia baik banget,” tutur Daud.
“Iya, Mas. Silakan.”
Daud meninggalkan Azkia di ruang kerjanya sementara dia menemui pemilik gedung yang akan menjadi kantor barunya. Setelah hampir setengah jam menunggu, ketidaksabaran Azkia akhirnya memaksa wanita itu untuk keluar dari ruangan Daud. Bingung dan tidak tahu harus ke mana mencari Daud, Azkia bertanya kepada salah satu staf di sana yang sedang membereskan barang-barang di atas meja kerjanya.
“Permisi, Bu. Pak Daud di mana, ya?”
“Pak Daud sedang ada di ruang meeting, Bu. Di ujung lorong ini,” jawab si staf sambil menunjuk ke depan.
“Baik. Terima kasih, Bu.”
Azkia segera mengayuh langkah menuju ujung lorong. Setelah melewati beberapa ruangan akhirnya dia sampai di depan sebuah pintu bertuliskan ‘Meeting Room’. Dia bernapas lega karena sudah menemukan ruangan tersebut. Namun, kekhawatiran akan mengganggu pertemuan saudara sepupu dengan tamunya mendadak jadi pertimbangan Azkia untuk mengetuk pintu. Beruntung, ada kaca pengintip berukuran 10X30 sentimeter di tengah pintu. Azkia memberanikan diri mengintip dari door viewer itu. Jantungnya mendadak berdenyut dua kali lebih kencang ketika pandangannya menemukan sosok Fattan di dalam ruang meeting.