Bab 8

1212 Kata
Setelah selesai dengan pekerjaannya di perkebunan, Dewangga mengajak Lyra untuk pulang dengan mengendarai mobil. Dewangga bilang perjalanan lewat jalan utama akan memakan waktu yang lebih lama daripada berjalan kaki lewat hutan. Mungkin mereka butuh waktu sekitar tiga puluh menit untuk sampai ke rumah. "Kenapa tidak dibuat petunjuk jalan dari rumah menuju perkebunan?" "Membuat petunjuk jalan di hutan?" tanya Dewangga. "Iya. Untuk menghindari tersesat," jawab Lyra. Lebih tepatnya untuk menghindari Lyra tersesat di sana. Dewangga mendengsukan tawa pelan. Seolah ucapan Lyra terdengar konyol. "Apa kamu pernah berpikir kalau mungkin aku memang sengaja untuk tidak memberi petunjuk jalan agar orang yang berniat pergi ke rumah tersesat?" Lyra mengernyitkan dahi dengan bingung. "Kenapa?" "Karena bisa jadi orang-orang yang berniat pergi ke rumah akan melakukan hal buruk, Lyra. Seperti mencuri atau mencelakai orang-orang yang tinggal di rumah," jawab Dewangga enteng. "Karena sudah beberapa kali ada perampok yang masuk ke rumah, Lyra. Mereka mencoba merampok isi rumah." "Benarkah?" tanya Lyra terdengar agak takut. Dewangga bergumam menjawab pertanyaan Lyra. "Maka dari itu, sebaiknya kamu jangan ke mana-mana sendirian. Terlebih pergi ke hutan sendirian. Selain bisa tersesat, kamu juga bisa bertemu orang asing yang berniat jahat. Kita tidak pernah tahu apa yang bisa terjadi di hutan. Tempat paling aman buat kamu adalah di rumah. Jadi, usahakan untuk tetap tinggal di rumah." Lyra menganggukkan kepala, menyetujui ucapan Dewangga. Lyra pun sepertinya ogah untuk keluyuran sendirian ke hutan. Lyra kan tidak seberani itu. Lyra mengamati jalanan yang tampak lengang. Sejak tadi Lyra tidak melihat satu kendaraan pun lewat di jalan ini. Di kanan dan kiri terhampar pepohonan yang menjulang tinggi dengan daun-daun yang lebat. Setelah meninggalkan perkebunan, sepanjang mata memandang Lyra hanya melihat hutan belantara di sekitarnya. Tidak ada pemukiman, tidak ada tanda manusia lain menghuni daerah ini kecuali Dewangga beserta orang-orang yang bekerja untuknya. "Apa Mas nggak pernah kepikiran buat pindah ke tempat yang lebih ramai?" tanya Lyra menatap ngeri hutan di sampingnya. "Nggak pernah," jawab Dewangga enteng. "Aku kan sudah tinggal di sini lama. Keluargaku secara turun temurun meninggali rumah itu, Lyra. Selain itu, jika aku pergi siapa yang akan mengurus perkebunan dan tanah milikku?" "Iya juga, ya." Lyra mengangguk-anggukkan kepala mengerti. Dewangga menoleh ke arah Lyra dengan kernyitan dalam. "Kenapa? Kamu nggak betah tinggal di sini?" "Nggak kok," jawab Lyra berbohong. "Hanya saja, rumah Mas terlalu jauh dari mana-mana. Kesannya kayak terpencil, nggak ada tetangganya. Sepi." "Dengan begitu privasiku lebih terjaga. Aku menyukai tinggal di sana. Dan kamu pun akan tinggal di sana bersamaku, Lyra. Selamanya." Dewangga menyunggingkan senyum ke arah Lyra yang membuat Lyra balas tersenyum. Membayangkan arti kata selamanya hampir saja membuat Lyra terpaku karena kaget. Karena bagi Lyra, selamanya itu amat sangat lama. Dan tinggal di rumah itu dalam jangka waktu yang lama entah mengapa membuat Lyra merasa tidak nyaman. Karena seperti yang Lyra bilang tadi, rumah Dewangga terpencil. Jauh dari mana-mana. Akan tetapi, jika tinggal di sana berdua bersama dengan Dewangga, suaminya, kelihatannya tidak begitu buruk kan? Lyra akan menghabiskan waktu selamanya dengan pria yang penuh perhatian dan rupawan ini. Kedengarannya itu bukan sebuah masalah. Benar. Sekitar tiga puluh menit kemudian mereka sampai di rumah. Dewangga turun dari mobil terlebih dahulu, setelah itu Dewangga membukakan pintu untuk Lyra. Tangannya terulur ke arah Lyra yang langsung disambut oleh perempuan itu. Dewangga membantu Lyra turun dari mobil. Lalu, dengan tangan di genggamannya, Dewangga menuntun Lyra berjalan menaiki undakan ke arah teras rumah. Perlakuan sederhana Dewangga ini membuat Lyra tersenyum kecil. Dirinya tidak pernah diperlakukan sebaik ini oleh siapa pun. Dan entah bagaimana, Lyra merasa Dewangga benar-benar menyayanginya. “Apa kamu ingin beristirahat dulu atau makan siang dulu?” tanya Dewangga kepada Lyra. Lyra diam sejenak untuk berpikir. “Kayaknya aku mau beristirahat dulu, deh, Mas. Aku merasa mengantuk setelah perjalanan tadi.” Memang benar, rasa kantuk kembali menghinggapi Lyra. Hal ini pasti karena tadi Lyra membuka kaca jendela mobil di sampingnya, yang membuat angin menerpa wajahnya. Belaian angin itu membuat rasa kantuknya tiba-tiba muncul. Seulas senyum terukir di bibir Dewangga. “Baiklah. Ayo aku antar kamu ke kamar,” ucapnya. Kemudian Dewangga mengantar Lyra ke kamar yang berada di lantai tiga. Setelah sampai di depan kamar, Dewangga membukakan pintu kamar itu lalu mempersilakan Lyra masuk ke dalam. “Kamu istirahat dulu aja. Nanti kita makan siang bareng,” kata Dewangga kepada Lyra dengan tatapan lembut yang membuat darah Lyra berdesir. “Kalau Mas lapar, Mas boleh makan siang duluan,” balas Lyra. “Aku belum lapar kok. Aku mau nunggu kamu aja.” Lyra tersenyum kecil lalu menganggukkan kepala. “Baik kalau begitu.” “Ya udah kalau begitu aku tinggal dulu ke bawah. Misal kamu butuh apa-apa, tarik aja tali yang ada di dekat ranjang. Tali itu terhubung pada lonceng yang ada di ruangan pelayan. Nanti pelayan akan datang ke sini dan kamu tinggal bilang ke mereka apa yang kamu butuhkan,” kata Dewangga lagi sebelum pergi meninggalkan kamar itu. “Baik, Mas.” Setelah itu Dewangga pergi meninggalkan Lyra di kamar sendirian. Lyra langsung berderap menuju kasur lalu merebahkan diri di sana. Ketika Lyra hendak menutup mata untuk tidur siang, tiba-tiba saja dirinya ingat mengenai Kinarsih. Tadi pelayan itu sempat memanggil nama Lyra ketika Lyra berniat pulang sendiri melewati hutan. Pasti Kinarsih tadi merasa panik dan khawatir karena kepergian Lyra yang tiba-tiba. Apa Kinarsih sudah tahu kalau Lyra baik-baik saja? Mungkin sebaiknya Lyra turun ke bawah untuk menemui Kinarsih. Lyra ingin meminta maaf karena pergi begitu saja. Juga, Lyra ingin mengatakan kepada Kinarsih kalau Lyra baik-baik saja karena tadi Dewangga muncul di saat yang tepat. Lyra memutuskan untuk menunda waktu tidurnya. Perempuan itu bangkit dari kasur lalu pergi keluar dari kamar. Ia menuruni tangga menuju lantai satu. Meskipun saat ini siang hari, rumah ini masih sama sepinya seperti malam hari. Padahal Lyra tahu sendiri jika banyak orang yang tinggal di rumah ini—yang kebanyakan adalah pelayan. Ketika ia hendak berbelok ke arah dapur, Lyra mendengar bentakan marah dari seorang pria. Sontak saja Lyra membatu karena terkejut. Kini ia sudah merapatkan punggung ke tembok pemisah antara ruang makan dan dapur. Jantung Lyra berdegup hebat mendengar suara amukan dari arah dapur. “Siapa yang menyuruh Lyra untuk ikut kamu ke perkebunan? Kalau dia tersesat di hutan bagaimana? Apa kamu mau tanggungjawab!” bentak suara yang terdengar akrab di telinga Lyra. “Maaf Tuan,” kata suara perempuan dengan nada penuh penyesalan. Bahkan Lyra dapat mendengar suara isakan keluar dari mulut perempuan itu. “Saya tidak peduli dengan ucapan maaf kamu!” “Maaf Tuan, semua itu salah saya. Saya yang memberi izin kepada Nyonya untuk ikut Kinarsih ke perkebunan,” timpal suara yang Lyra tahu milik Dalimah. “Memangnya kamu siapa berani memberinya izin?” “Saya benar-benar minta maaf, Tuan.” “Dengar, ya! Lyra adalah orang yang sangat berharga buat saya. Kalau sesuatu yang buruk terjadi kepadanya, karena ulah ceroboh kalian, kalian hanya bisa berharap tidak pernah dilahirkan ke dunia!” bentak pria yang Lyra yakini adalah Dewangga, suaminya, penuh amarah. “Camkan itu.” Lyra menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Dirinya tidak pernah menyangka jika Dewangga bisa semurka itu hanya karena hal sepele seperti itu. Bahkan, Lyra tidak pernah menyangka jika Dewangga bisa marah kepada orang lain. Karena di depan Lyra, Dewangga selalu bersikap baik dan lembut. Namun, mendengarnya marah besar seperti itu sungguh mengagetkan. Sebenarnya, pria macam apa yang Lyra nikahi?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN