"Widih ... Semerbak banget harumnya Bang," duduk bersila di atas kasur lantai. Indah menggoda Adhi yang baru saja mendudukkan diri di sampingnya. Memeluk toples berisi keripik singkong balado, gadis itu menarik turunkan alis dengan cengiran lebar. Yang hanya ditanggapi dengkusan oleh Abangnya.
"Bunda mana?" Tak mengindahkan bibir adiknya yang mencebik kesal karena toples berisi keripik berpindah ke dalam pelukannya, Adhi ikut menyaksikan acara tv yang sedari tadi tengah disaksikan Indah. Sebuah ajang pencarian bakat yang mencari penyanyi-penyanyi baru.
"Tadi bilangnya ke rumah Bu Henny." Merebut kembali toples miliknya yang dijajah sang Abang, Indah menjawab sembari mendekap toples lebih erat.
Adhi hanya menaikan satu alis melihat tingkah adiknya yang begitu posesif hanya karena toples berisi keripik. "Bunda ngapain ke rumah Bu Henny?"
"Antar kue, Bu Henny pesan buat arisan katanya."
Menganggukkan kepala, Adhi melarikan pandangan pada penunjuk waktu yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Masih ada waktu sepuluh menit lagi sebelum bertemu dengan Ratih. Mereka memang sudah janjian untuk menghabiskan waktu bersama di malam minggu ini. Hal yang sebenarnya membuat Adhi cukup canggung. Karena merasa seperti remaja yang baru saja menjalin hubungan.
Adhi biasanya enggan keluar jika bukan karena hal yang sangat penting. Terlebih, ada banyak pekerjaan yang harus dikerjakannya di rumah. Memperbaiki barang-barang elektronik milik para tetangga yang dipercayakan kepadanya. Tapi mendengar olokan Randi yang mengatainya bersikap bak kanebo kering pada kekasihnya sendiri. Membuat Adhi diam-diam merenungkan sikapnya selama ini pada Ratih. Dan ya, ia akui jika selama ini terlalu bersikap tak acuh. Tanpa sadar, hanya Ratih yang berusaha mengerti dirinya. Wanita itu bahkan jarang menuntut banyak hal padanya. Mungkin bisa dikatakan nyaris tak pernah meminta yang memberatkan. Ratih berusaha paham, karena yang paling diutamakan Adhi adalah Bunda dan Indah.
"Mau kencan kok bengong, Bang? Isi dompet tipis ya? Bingung mau ajak Mbak Ratih ke mana? Makan baso aja semangkuk berdua. Biar romantis sekaligus irit."
Suara Indah menyentak Adhi dari lamunan. Mengacak-acak rambut adiknya yang mengarang protes. Adhi terkekeh, sebelum kemudian beranjak dari duduknya. "Nanti bilangin sama Bunda. Abang pergi sama Ratih." Pesannya yang diangguki Indah dengan bibir yang masih mengerucut kesal. Karena rambutnya dibuat berantakan.
"Jangan lupa oleh-olehnya. Martabak coklat pisang keju, ya Bang."
"Udah makan kripik hampir satu toples besar, masa masih belum kenyang sih, Dek?"
"Ih, Abang, keripik mana bisa bikin kenyang? Ini itu cuma buat olahraga rahang." Ucapnya yang membuat Adhi menggelengkan kepala. "Pokoknya jangan lupa bawa martabak. Kalau nggak, aku kunci dari dalam biar Abang tidur di luar." Ancamnya yang tentu saja hanya bualan. Mana tega dia, bersikap sekurang ajar itu pada abangnya tercinta? Lagipula, Bunda pasti murka kalau sampai benar-benar merealisasikan ancamannya yang sekadar gertak sambal.
"Iya bawel," jawab Adhi sebelum kemudian mengucap salam dan berjalan keluar rumah.
Mengendarai motor matic peninggalan sang ayah. Adhi berkendara menuju rumah kekasihnya. Tanpa sadar, jika dari arah belakang. Ada mobil yang mengikutinya diam-diam dengan jarak yang tak membuat curiga.
Sesampainya di rumah milik Ratih yang sedikit lebih besar dari rumahnya. Adhi turun dari atas motor. Melepaskan helm dan menggantungkannya di salah satu kaca spion. Mengetuk pintu, ia mengucap salam. Setelah menunggu beberapa saat, daun pintu di depannya yang sebelumnya tertutup rapat. Perlahan terbuka, memperlihatkan seorang wanita paruh baya yang menatapnya masam.
Tersenyum canggung, Adhi menyalami sosok yang merupakan ibu dari Ratih.
"Ratihnya ada, Bu?"
Alih-alih menjawab, wanita paruh baya dengan beberapa roll rambut yang bergelantungan di atas kepalanya itu hanya menggumam tak jelas sebagai jawaban. Sebelum kemudian berlalu masuk ke dalam tanpa mengatakan apa pun. Meninggalkan Adhi seorang diri yang hanya bisa mengela napas.
Meski pintu rumah dibiarkan terbuka setengahnya. Adhi tak berani melangkah masuk. Karena merasa tak dipersilakan untuk masuk ke dalam. Jadi akhirnya, ia putuskan untuk mendudukkan diri di sebuah kursi rotan yang ada di luar.
Setelah menunggu beberapa lama, Adhi tersentak saat ponsel miliknya memekik nyaring. Meraih ponsel dari dalam saku kemeja. Ia mendapati nama Ratih yang tertera di layar.
"Ya, halo?"
"Mas masih di rumah? Aku udah siap." Ucap Ratih dari seberang sambungan.
Adhi meringis. Ratih tak tau jika dirinya sudah menunggu sedari tadi di luar rumah wanita itu. Jadi sepertinya, Ibu Ratih tak memberitahukan kedatangannya. Adhi bukannya tak tau. Sedari dulu, ibu Ratih tak begitu menyambut kehadirannya. Berbeda dengan ayah Ratih yang tak mempermasalahkan jika Adhi menjalin hubungan dengan putrinya.
Berdeham, Adhi berusaha untuk terdengar tenang. "Mas baru saja sampai. Ini, sekarang udah di depan rumah kamu." Ucapnya yang terpaksa berbohong. Jika tidak, Ratih pasti akan bertengkar dengan ibunya. Dan Adhi tak menginginkan hal itu terjadi. Lebih baik dirinya berpura-pura baru sampai di rumah kekasihnya ini.
Terdengar suara Ratih yang terburu-buru di seberang sambungan, "ya ampun. Mas udah sampai? Aku keluar sekarang. Tunggu sebentar." Ucapnya sebelum kemudian menutup telepon tanpa menunggu balasan dari Adhi.
Mengantungi kembali ponsel miliknya ke saku kemeja. Adhi berdiri dari duduknya. Lalu menutup pintu rumah Ratih yang masih dalam keadaan setengah terbuka. Akan terlihat aneh jika pintu di depannya sudah terbuka sementara Adhi mengaku baru saja tiba.
Dulu, ibu Ratih pernah mengatakan ketidak setujuannya, jika putri semata wayangnya menjalin hubungan dengan Adhi, yang dianggap tak akan bisa memberikan kesejahteraan untuk hidup Ratih jika mereka benar-benar bersama sampai ke jenjang pernikahan. Terlebih, setelah kepergian sang ayah. Adhi menjadi tulang punggung keluarga dan fokus pada Bunda juga Indah. Hal itu dikatakan ibu Ratih saat datang ke rumahnya yang kala itu tengah berduka karena sang ayah baru saja meninggal.
Ya, Adhi bersusah payah menelan rasa sakit yang mengoyak perasaannya. Ia dan keluarganya baru saja kehilangan sosok penting dalam hidup. Tapi tak sekadar mengucap bela sungkawa yang terdengar sekadar formalitas. Ibu Ratih mengatakan hal yang membuatnya nyaris tak bisa mengendalikan diri. Beruntung, Adhi masih menjaga kewarasannya dan tak bersikap buruk, hingga kemudian melakukan hal-hal yang akan ia sesali setelahnya.
Sejak peristiwa itu, Adhi sedikit menjauh dari Ratih. Ada rasa bimbang untuk melanjutkan hubungannya dengan wanita yang telah menjadi kekasihnya sedari SMA. Hingga saat ini, tak ada yang pernah tau apa yang pernah ibu Ratih katakan padanya. Sikapnya yang sedikit menjauh dari Ratih pun, wanita itu artikan sebagai Adhi yang ingin menenangkan diri karena rasa kehilangannya setelah kepergian sang ayah. Ratih tak tau, jika sebenarnya, Adhi tengah mempertimbangkan untuk menyudahi hubungan mereka. Mengingat, tak ada restu yang ia dapatkan dari ibu wanita itu.
Tapi Ratih yang selalu ada di sisinya, dan tak pernah lelah untuk mengerti dirinya. Membuat Adhi akhirnya urung. Untuk membicarakan persoalan ibu Ratih yang tak menyetujui hubungan mereka. Adhi simpan semuanya sendiri. Saat ini, ia akan bekerja lebih keras. Tak hanya untuk menafkahi keluarga. Tapi juga menabung untuk masa depannya dengan Ratih nanti. Membuktikan kepada ibu Ratih, jika ia bisa mencukupi putrinya. Meski bukan dengan tumpukan harta yang berlimpah, karena jelas Adhi tak memiliki sebanyak itu.
Suara pintu terbuka membuyarkan lamunan Adhi. Pria itu berusaha memperlihatkan senyumnya, saat melihat wajah kekasihnya yang hari ini dibubuhi makeup yang cukup berbeda. Dengan penampilan saat hari biasa.
"Maaf ya, Mas. Pasti nunggu lama." Meringis tak enak hati, Ratih menutup pintu dan segera berdiri di samping kekasihnya.
"Nggak kok, kan tadi udah bilang. Baru aja sampai."
Menganggukkan kepala, Ratih merekahkan senyuman bahagia. Meski telah menjalin hubungan cukup lama. Mereka jarang sekali bisa menghabiskan waktu berdua. Melingkarkan tangan pada lengan kanan Adhi, Ratih mendongakkan kepala untuk melihat wajah kekasihnya karena perbedaan tinggi diantara mereka. Ia hanya sebatas bahu, padahal sudah mengenakan wedges. Tapi masih saja sulit mensejajarkan tinggi badannya dengan Adhi.
"Ayo kita berangkat sekarang." Ajak Ratih dengan penuh semangat.
"Mas mau pamitan sama ayah dan ibu dulu." Ucap Adhi yang membuat Ratih tersenyum gelisah.
"Ayah lagi keluar sama om, ibu ... Sepertinya sudah tidur. Jadi nggak perlu Mas. Lebih baik, kita langsung berangkat sekarang." Ucap Ratih yang mencoba untuk tak gugup.
Adhi hanya diam dan tersenyum kecil. Soal ayah Ratih yang tengah keluar, Adhi percaya. Tapi info mengenai ibu Ratih yang sudah tidur. Ia sedikit ragu. Karena jelas, wanita paruh baya tadi sempat membukakan pintu untuknya. Tapi kenapa Ratih harus berbohong padanya? Mungkin tak mau melihatnya diperlukan dingin yang bisa memancing perdebatan Ratih dengan ibunya seperti yang beberapa kali terjadi. Meski tak banyak bicara dengan Adhi, ibu Ratih kadang menyindir soal kemampuannya untuk bisa membuat Ratih sejahtera, jika benar-benar akan menjadi suaminya.
Tak ingin memperumit keadaan. Adhi hanya menganggukkan kepala. Memasang helm dan memberikan helm satu lagi untuk dikenakan Ratih. Sebelum kemudian, beranjak pergi dengan Ratih yang kini sudah berada di atas motornya. Melingkarkan tangan dan menyandarkan kepala pada punggungnya dengan nyaman saat motor matic miliknya melaju dengan kecepatan sedang dijalanan.
Sementara itu, dengan jarak yang tak begitu jauh dari posisi motor yang dikendarai Adhi. Mobil yang menguntitnya sedari pria itu keluar dari g**g sempit rumahnya. Mobil tersebut sudah menunggu di seberang jalan. Termasuk, saat Adhi menjemput Ratih ke rumah wanita itu. Mobil tersebut, tetap menunggunya. Dan kini kembali mengikutinya.