Sepertinya

483 Kata
    Kehebohan terjadi lagi. Heboh yang positif di mata semua orang. Kecuali Nares. Hari ini tepat dua bulan semenjak meninggalnya Mirna dan Moreno. Kurang lebih dua bulan juga semenjak Atha dan Ara tinggal terpisah.     Ara di Tokyo begitu merindukan adiknya. Ia meminta pada keluarga Hana untuk diizinkan pulang ke Indonesia barang sebentar. Hana mengizinkannya, dengan syarat, Ara harus dikawal oleh dua bodyguard yang tak lain dan tak bukan adalah Ronald dan Roland.     Hari ini ketiganya sampai di kediaman Sandika. Kehebohan yang terjadi, adalah untuk menyambut mereka. Nares bukannya tidak suka dengan kedatangan saudaranya. Hanya saja ... Nares sampai lelah—terlalu muak—membahas hal ini berulang-ulang. Sebab kedatangan mereka adalah … Atha. Lagi-lagi Atha.     "Ayo masuk! Kami udah nungguin kalian dari tadi!" Wanda menyambut mereka layaknya menyambut rombongan presiden yang sedang blusukan.     Wanda segera mengarahkan mereka ke meja makan. Banyak sekali hidangan disiapkan untuk menyambut mereka. Nares benar-benar tidak berselera melakukan apa pun. Jika mungkin, ia akan menghilang ke kamar dan mengunci diri, supaya tak ada yang mengganggunya. Tapi pastilah orang-orang itu akan meneriakinya untuk kembali.     Membuat kepalanya semakin pusing. Membuat perutnya semakin serasa diaduk. Nares hanya diam, pasrah, menunggu sampai penyambutan yang menyiksa ini berakhir.     "Ayo ... makan yang banyak, ya. Nggak usah malu!"     Nggak malu kok, Tante. Mas Ronald biasa malu-maluin!" celetuk Roland.     Ia segera mendapat auto-jitak dari kakak semata wayangnya. Semua orang tertawa. Kecuali Nares.     "Lho ... nggak makan, Res?" Atha yang bertanya.     Nares sudah menduga Atha akan bertanya seperti ini. Nares segera mengambil centong nasi yang baru saja diletakkan oleh Roland di tempatnya.     "Makan kok!" sahut Nares seraya mengambil nasi.     "Yang banyak makannya!" Nada suara Atha terdengar beda. Lebih rendah, namun seperti mengancam.     Nares mengangguk. "Iya, Mamasku. Nih banyak." Nares memenuhi piringnya dengan nasi dan lauk pauk.     Jika ia menurut pada Atha seperti ini, tak ada anggota keluarga yang akan menghakiminya. Sebaliknya Atha akan resah karena tak ada yang membelanya.     "Udah," ucap Nares. Ia lalu berdiri, menghampiri Atha sembari membawa piring penuhnya. "Nih, Mas. Dedek so sweet, kan, ambilin Mas makanan. Makan yang banyak, ya. Biar sehat!" Nares menepuk bahu Atha cukup keras.     Nares bisa melihat urat-urat Atha yang menegang, menahan amarah. Sebaliknya, Nares justru tersenyum puas.     "Tha ... beruntung kamu tinggal di sini!" Ara terlihat sangat terkesan. "Oom Sandi, Tante Wanda, Hima, Nares ... semuanya perhatian sama kamu."     Atha terlihat makan emosi karena ucapan kakak kandungnya.     "Mereka akur kok, Ra. Kamu yang tenang, ya. Kadang berantem sedikit ya wajar." Wanda menjelaskan.     Nares merasa bangga pada dirinya sendiri karena kini telah berhasil menguasai ilmu Atha yang terus berusaha membuatnya terlihat buruk di mata semua orang. Nares tersenyum pada Atha. Atha menatapnya sangat tajam.     Saat semua orang menikmati suasana makan yang kekeluargaan dan harmonis, salah seorang di antara mereka justru sibuk mengamati hal lain.     Roland.     Cowok berpostur tinggi kurus mirip Atha dan Nares itu tengah sibuk memperhatikan interaksi keduanya. Mimik Roland sulit diartikan. Terlihat datar. Namun sepertinya ia tahu sesuatu. *** TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN