Clarissa menatap gedung kantor yang selama ini menjadi tempatnya bekerja. Dipeluknya kotak berisi barang-barang yang sudah dikemas. Begitu berat ia melangkah meninggalkan tempat kerjanya, tapi gadis itu harus memutuskan pilihan berat.
“Aku sudah kehilangan semuanya, harga diri, cinta dan pekerjaan. Tuhan, tolong bantu aku sekali saja. Jangan sampai aku kehilangan anakku juga,” gumamnya dengan air mata yang menetes. Segera Clarissa mengusap air matanya.
“Aku gak boleh lemah. Aku harus kuat,” gumam gadis itu lalu beranjak pergi. Entah mengapa ia begitu menyayangi anak yang ada di perutnya. Walau Jack menolak anak itu, tapi Clarissa sangat menyayanginya. Bagaimana pun juga anak itu hadir karena Clarissa mencintai Jack.
Mobil melaju pelan menerobos kemacetan ibu kota. Clarissa hanya melamun sepanjang perjalanan menuju rumah kedua orang tuanya. Sampai malam tiba Clarissa baru menyadari kalau ia sudah sampai di kampung halaman. Rumah dengan dua lantai di mana halamannya sangat luas dihiasi bunga dalam pot yang bermekaran warna-warni. Jika dilihat hanya rumah Clarissa yang tampak mewah dibanding rumah sekitarnya.
“Ma, Pa,” panggilnya sembari mengetuk pintu. Semua barang bawaaannya dikeluarkan dari mobil. Tidak banyak yang Clarissa bawa, hanya sebagian barang yang penting. Tidak lama kemudian pintu dibuka. Air mata Clarissa kembali luruh saat melihat ibunya.
“Mama,” gumamnya lalu memeluk sang ibu.
“Kamu pulang?” gumam ibunya tak percaya. Orang-orang memanggil wanita usia 50 tahunan itu dengan nama Ibu Hamida. Banyak yang mengenalnya sebagai wanita baik dan dermawan. Keluarga Clarissa sangat dihormati di lingkung tempat tinggalnya.
“Iya, aku pulang.”
Hamida melepas pelukannya pada sang anak lalu mengusap perut Clarissa. “Kamu sudah menggugurkannya?”
Clarissa menangis sembari mengangguk. Dia mulai takut kalau ibunya tahu ia berbohong. Hamida sangat senang mendengarnya. Tidak ada beban lagi yang akan menghambat kehidupan anaknya. Keluarga Hamida tetap akan dipandang baik oleh orang-orang.
“Jangan bersedih, kalau kamu mempertahankan bayi itu akan sulit baginya diterima dalam masyarakat,” ujar Hamida sembari mengusap punggung anaknya. Clarissa mengangguk pelan, hatinya terasa sakit saat membayangkan anaknya dikucilkan dari masyarakat.
“Aku mau menerima perjodohan itu,” kata Clarissa membuat ibunya senang sampai memeluk erat putrinya. Dengan segera Hamida menghubungi sang suami agar mereka segera mempertemukan Clarissa dengan calon suaminya. Setelah memberi kesediaannya menerima perjodohan itu, sikap ibunya berubah jauh lebih baik. Clarissa merasa senang sekaligus sedih telah berbohong pada orang tuanya.
Clarissa harus segera menikah sebelum perutnya membesar, itulah yang ia pikirkan. Clarissa mencoba mengesampingkan pikiran lainnya yang membuat ia ragu dengan rencana itu. Bahkan Clarissa ingin cepat-cepat dipertemukan dengan calon suaminya.
***
Jack tengah melamun saat makan malam. Kedua orang tuanya bahkan merasa heran dengan perubahan sikap Jack yang banyak diam sejak beberapa hari ini.
“Jack, kamu kenapa?” tanya mamanya. Jack tidak menjawab dan memilih untuk kembali makan.
“Kalau ada masalah di kantor tolong selesaikan di kantor,” tegur papanya tegas.
“Aku sudah selesai makan. Ma, Pa, aku ke kamar dulu, permisi.” Jack beranjak dari duduknya lalu naik ke lantai dua tempat kamarnya berada. Kembali ia melamun saat duduk di tempat tidur.
“Nak, maafkan papa. Tidak seharusnya kamu pergi,” gumam Jack. Ia menundukkan kepala sembari menahan rasa sakit di hatinya. Ia sudah terlambat untuk memperbaiki kesalahannya. Jack tidak akan melihat anaknya dan Clarissa lagi.
Ponsel Jack berdering, saat melihat nama penelepon Jack memutuskan untuk tidak menerimanya. Hanum selalu saja menghubunginya membuat ia lelah mendengar celotehan gadis itu. Kepalanya sudah dipusingkan dengan persiapan pernikahan dan kerjaan kantor, kini Hanum mengusiknya hanya untuk mendengar pendapat Jack tentang perhiasan yang baru dibeli.
Ponselnya terus berdering tanpa henti membuat Jack yang sedang kesal jadi marah. Tanpa banyak bicara ia menolak panggilan itu lalu menonaktifkan teleponnya. Setelah masalah telepon selesai kini ibunya yang datang marah-marah.
“Jack kamu menolak panggilan Hanum?” tanya mamanya membuat Jack memalingkan wajah.
“Kamu tahu gak sekarang Hanum di rumah sakit. Dia kecelakaan,” ujar wanita itu lagi masih berdiri di ambang pintu. Jack yang enggan mendengar kemarahan ibunya pun segera menoleh. Ia tidak tahu kapan ibunya akan berhenti mengomel kalau ia tetap cuek.
“Tapi dia masih hidup,’kan?”
“Kamu ini tidak punya simpati sedikit ya sama calon istri? Cepat temui Hanum di rumah sakit.”
Jack bergegas menuruti permintaan ibunya. Setelah menelepon Hanum dan mencaritahu di rumah sakit mana wanita itu dirawat Jack pun segera pergi. Sampai di rumah sakit Jack melihat Hanum dirawat di unit gawat darurat. Dilihat dari luka yang dialaminya tidak terlalu parah. Hanya luka lecet di tangan dan kaki.
“Justin kenapa kamu lama banget datangnya?” tanya Hanum. Namun, Jack tidak menghiraukan ucapan gadis itu.
“Apa wanita ini boleh pulang, Dok?” tanya Jack pada dokter yang menangani.
“Sudah, Pak, tinggal mengurus administrasinya saja. Luka ibu Hanum juga tidak parah jadi bisa dirawat di rumah.”
“Gak mau Dok. Boleh aku dirawat inap semalam? Takutnya terjadi sesuatu,” kata Hanum membuat Jack mengernyit,
“Kamu pikir cuma kamu yang sakit? Banyak pasien yang perlu kamar untuk rawat inap,” sahut Jack menatap Hanum sinis.
“Aku bisa bayar kamar VIP,” balasnya membuat Jack kesal. Setelah mengurus administrasi Jack bergegas pulang. Hanum yang merengek sejak tadi pun dia abaikan.
“Mau pulang sendiri atau aku antar?”
“Ya diantar dong, Sayang.” Hanum berlari kecil menghampiri Jack yang terlebih dahulu masuk mobil. Hanum melirik Jack yang hanya diam menatap lalu lintas.
“Kamu bisa gak sih jangan cuek sama aku? Sebentar lagi kita bakalan nikah.”
“Aku gak cinta sama kamu. Pernikahan ini aku lakukan karena terpaksa jadi jangan mengharapkan apa pun dari pernikahan ini.”
Jack kembali diam walau Hanum terus bicara. Gadis itu bahkan tidak peduli apakah Jack menanggapi pertanyaannya atau tidak. Ia terus bicara tanpa henti.
‘Kapan aku bisa bebas dari wanita ini?’ batin Jack.
**
Clarissa menatap pantulan dirinya di depan cermin. Kebaya coklat yang membalut tubuhnya membuat gadis itu tampak cantik ditambah rambut panjangnya dibiarkan terurai dengan satu jepit rambut warna emas. Malam ini ia akan bertemu calon suaminya. Clarissa harus bersiap dengan rencana yang telah ia susun.
“Lihat itu Jefri, dia calon suami kamu. Anaknya baik dan santun, dia seorang pengusaha,” bisik ibunya saat melihat pria bernama Jefri masuk ke rumah mereka. Entah mengapa Clarissa tidak sedikit pun tertarik pada sosok Jefri. Walau pria itu tampak berkarisma dan dewasa, tapi belum bisa mencuri hati Clarissa. Perasaan gadis itu campur aduk. Jefri terlihat seperti pria baik-baik membuat Clarissa sungkan padanya.
“Nak Jefri ini putri saya namanya Clarissa,” ujar Hamida. Clarissa dan Jefri saling berjabat tangan. Untuk pertama kalinya mereka bertatapan satu sama lain. Brata—Ayah Clarissa— menjabat tangan calon besannya sambil tertawa bahagia. Melihat kedua keluarga mereka tampak senang membuat Clarissa memikirkan ulang rencananya. Sampai Jefri meminta waktu bicara berdua dengan Clarissa.
“Aku gak suka basa-basi, langsung saja aku bilang ke kamu kalau aku sudah punya pacar dan aku sayang banget sama wanita ini. Jangan harap dengan perjodohan ini aku bakalan suka sama kamu,” kata Jefri panjang lebar.
“Kenapa kamu tidak menikahi wanita itu?” tanya Clarissa. Kini mereka berdua berdiri bersisian menghadap kolam renang. Kedua tangan Jefri masuk ke dalam saku celananya. Wajahnya tampak datar tanpa eskpersi berlebihan yang menyiratkan perasannya saat ini.
“Hubungan kami tidak direstui karena masa lalunya.” Jefri menatap Clarissa hingga kini mereka saling bertatapan untuk kedua kalinya. Clarissa bisa merasakan bagaimana tersiksanya Jefri menerima perjodohan ini. Clarissa berpikir ulang rencananya.
“Jangan menggunakan perasaan dalam pernikahan ini. Aku tidak bisa mencintaimu.” Clarissa tersenyum tipis, kini tatapannya lurus ke depan sementara Jefri masih menatapnya.
“Sebenarnya aku sedang hamil.”
“Apa?” tanya Jefri tampak kaget mendengar pernyataan Clarissa.
“Kamu bisa menggunakan alasan kehamilan ini untuk membatalkan perjodohan kita,” ujar Clarissa tanpa ragu.