Orang Tua Rhea Khawatir

1086 Kata
Mario lantas tertawa mendengar ucapan Indi barusan. “Indi, udah deh. Elo tuh, yaa. Bisanya ngeledek gue mulu. Ya namanya sayang pasti begitu lah.” Rhea berucap dengan lemas. “Sayang sama siapa? Anaknya apa bapaknya?” “Mario!” jawabnya dengan tegas. “Bagus. Jawaban yang sangat bagus!” Indi memberikan jempolnya kepada sahabatnya itu. “Elo tenang aja, Indi. Kalau semua kartu identitas gue selesai diambil dan orang tua gue udah membuang gue, menganggap gue udah bukan bagian dari keluarga mereka, gue akan langsung lamar Rhea di depan elo. Biar elo tahu, kalau gue bukan sekadar cinta sama dia. Tapi juga, ingin memiliki dia seutuhnya!” Mario—dengan tegas memberi tahu kepada Indi tentang perasaan dan juga rencana dia ke depannya. Ia pun merasa tidak enak hati kepada Rhea yang begitu tulus dan baik mau menerima dan menampungnya tinggal bersamanya. Dalam bahasa kasarnya, hanya membawa badan saja dan tinggal di rumah megah milik Rhea yang sudah tiga tahun lamanya ini tinggal terpisah dengan orang tuanya. Memilih untuk menjaga dan merawat Kaisan seorang diri tanpa bantuan kedua orang tuanya. “Semoga aja segera dipermudah. Banyakin doa, jangan banyak bobok bareng aja, lo!” sengal Indi kemudian. “Indi. Sumpah mati, gue bukan Damian yang minta jatah terus tiap hari ke elo,” ucap Mario dengan polosnya. “Oh, yaa? Nggak gentle amat, lo!” ucapnya meledek. “Tiap hari, dong. Kasihan Kaisan, pengen punya adek.” Indi lalu tertawa sembari menepuk bahu Rhea. “Keturunan bangsawan Eropa kan, yaa?” timpal Rhea kemudian. “Naah! Cocok. Emang, ini anak sama kayak gue. Cuma mulutnya lebih terjaga dari gue.” Indi kembali tertawa. Sementara Rhea geleng-geleng kepala melihat kelakuan sahabatnya itu. “Udah mau punya anak tiga, kelakuan masih kayak bocah. Indira, Indira.” “Dan yang lebih aneh itu si Damian. Mau-maunya sama kaleng rombeng kayak Indi,” celetuk Mario ikut dalam perbincangan itu. Indi lantas menyunggingkan bibirnya. “Mulut gue boleh kayak kaleng rombeng. Tapi, goyangan gue bisa ngalahin tukang nari di tempat karaoke. Dan gue yakin, Rhea pasti nggak bakalan bisa kayak gue. Iya nggak, Rhe? Eh, Mario ding. Kan, yang lebih tahu, Mario.” Mario dan Rhea lantas saling menoleh. Saling diam lalu perempuan itu mengusapi rambut anaknya yang terlelap tidur di sampingnya. “Pinternya Kaisan. Calon menantu gue, nih! Jangan sama anaknya Mario deh. Sama Kaisan aja.” “Pede banget, lo! Nggak akan gue kasih!” ucap Mario menolak keras. “Yeee. Meskipun elo bapaknya, tapi nggak perlu minta izin elo. Kalau mereka sama-sama suka, ngapain harus dicegah? Introspeksi diri, Mario. Nggak enak kan, nggak direstu sama orang yang dicinta?” Indi lalu menyunggingkan bibirnya. Mario mengusapi belakang kepalanya lalu menatap Rhea yang hanya menerbitkan senyumnya. “Terus, terus. Gimana kabarnya si culun satu itu? Masih bertahan juga tuh, orang. Kayaknya udah mulai cinta ya, sama bininya. Udah move on dari elo, kayaknya.” Indi ingin tahu kabar Brandon sekarang. Rhea mengendikan bahunya. “Entahlah. Kalau memang mereka masih bersama sampai sekarang, itu artinya mereka udah bahagia. Biarin aja. Gue juga udah menemukan bahagia gue dengan anak gue.” “Dan juga Mario. Nggak dianggap, si Mario yang udah jadi temen bobok elo?” sengal Indi kemudian. “Yaa itu, maksud gue.” Mario terkekeh pelan melihat dua sahabat yang selalu berdebat itu. “Ditambah Gladis sama Manda, jadi lebih seru kayaknya. Anak gue nggak akan tidur nyenyak kayak gitu tuh.” Indi dan Rhea lalu menoleh kompak kepada Mario. “Diem, lo!” sengal Indi kemudian. “Gimana bisnisnya, Mario? Udah sampai tahap mana?” tanya Indi kemudian. “Masih lima puluh persen, Ndi. Gue nggak bisa pakai nama gue karena status gue masih bodong, di sini. Tetap harus pakai nama Rhea yang nantinya akan gue kasih ke Kaisan dan adik-adiknya kelak.” Mario lalu mengulas senyumnya. “Bapak yang bijaksana. Salut gue, sama perjuangan elo. Mau berjuang dari nol padahal Rhea udah punya usaha sendiri.” “Itu kan, punya Rhea, bukan puny ague. Sebagai laki-laki yang akan memimpin dan sebagai kepala rumah tangga, harus bisa bekerja keras demi menghidupi anak dan istrinya. Sama seperti Damian. Selama ini, dia kerja berangkat pagi pulang malam, emangnya buat siapa? Bukan buat j****y, kan?” “Sialan, lo! Gue udah terharu, denger elo ngomong dengan perasaan yang mendalam. Di akhir cerita malah pengen gue timpuk, pakai sandal bakiak.” Indi lalu memutar bola matanya. Mario terkekeh pelan. “Hidup itu, jangan terlalu serius, Indira. Kalau terlalu serius, yang ada nanti hidup elo monoton. Bawa santai aja. Yang penting buat makan besok pagi masih ada,” ucapnya dengan santai. “Iya nggak, Sayang?” Rhea mengangguk sembari mengulas senyumnya. “Ya udah, kita balik dulu, yaa. Sekali lagi, congrats buat kehamilan anak kedua dan ketiganya. Pokoknya, gue akan doain bayinya sehat-sehat.” “Aamiin. Thank you. Jangan lupa mampir terus kalau habis dari sekolahnya Kaisan. Nggak usah dipindahin. Biarin aja. Harusnya elo buktikan kalau elo bisa bahagia setelah ditinggal pergi sama tuh anak bangke.” Indi memberi semangat kepada Rhea agar jangan memindahkan Kaisan ke sekolah lainnya. Sebab hanya akan membuat Brandon semakin yakin kalau Kaisan adalah anak kandungnya, darah dagingnya. Buah hatinya kala menjalin hubungan dengan Rhea dulu. Perempuan itu kemudian menganggukkan kepalanya. Menuruti masukan dari Indi yang melarangnya memindahkan Kaisan dari sekolah itu. Keduanya kini sudah sampai di rumah. Ia terkejut kala melihat orang tuanya ada di sana. “Mama, Papa. Kenapa nggak bilang, kalau mau datang kemari?” tanya Rhea kemudian menghampiri kedua orang tuanya itu. “Aku bawa Kaisan ke kamar dulu, yaa,” ucap Mario lalu membawa Kaisan ke kamarnya karena masih tertidur dengan sangat pulasnya. “Habis dari mana, Nak?” tanya Aryo—sang papa kepada Rhea. “Jemput Kaisan, Pa.Terus ke rumah Indi dulu sebentar. Papa sama Mama, mau apa ke sini?” tanya Rhea sekali lagi. Cintya lalu menghela napasnya dengan panjang dan menatap anaknya dengan tatapan memelasnya. “Nak. Kamu masih yakin, akan tetap menunggu Mario sampai status dia jelas?” tanyanya dengan sangat hati-hati. Rhea lalu menelan saliva dengan pelan. “Memangnya kenapa, Ma? Selama ini, aku dan Mario baik-baik aja. Mama nggak usah takut. Kita akan baik-baik aja kok, Ma.” Cintya lalu menoleh pada suaminya. “Pa?” ucapnya sembari menggenggam tangan suaminya itu. “Memangnya kenapa, Ma, Pa?” tanya Rhea sekali lagi. Aryo menghela napasnya pelan. “Sayang. Anak pertama dari keturunan itu sangatlah sulit untuk dikeluarkan begitu saja. Papa hanya khawatir, suatu hari nanti orang tua Mario datang kemari dan mengambilnya dari kamu, Sayang.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN