Akan Melakukan Tes DNA

1041 Kata
Mario hanya menerbitkan cengiran kepada kekasihnya itu. Ia kemudian mencium pipi Kaisan yang masih sibuk mengisi perutnya. “Mario?” panggil Rhea dengan wajah memelasnya. “Just kidding, Sayang. Jangan dibawa perasaan. Aku nggak akan ke mana-mana. Naik pesawat pun sama Damian. Kalau terjun, yaa sama Damian juga. Pokoknya aman.” Mario mengusapi lengan Rhea agar berhenti mengkhawatirkan dirinya. Rhea lalu menghela napas kasar. “Awas, kalau nggak balik lagi ke sini!” Mario terkekeh pelan. “Pasti pulang. Ada ayang yang udah nungguin. Udah lama juga ….” Mario tidak mau meneruskan sebab hanya akan membuatnya tidak fokus dalam bekerja nanti. “Mau aku antar, ke sekolahnya?” Rhea menggeleng pelan. “Kaisan diantar Pak Yono sama Rita aja. Aku nggak mau ketemu sama dia lagi. Orang itu pasti ada di sana antar anaknya.” Mario lalu mengusapi lengan perempuan itu. “Ya sudah. Tapi, jangan keseringan diantar mereka, yaa. Peran seorang ibu jauh lebih penting dari pengasuhnya.” “Iya, Mario. Hanya hari ini aja. Ada kerjaan juga di kantor. Nanti pulangnya aku yang jemput.” “Iya, Sayang.” Tak lama setelahnya, Damian datang ke rumahnya untuk menjemput Mario. “Masih sarapan aja,” ucapnya lalu duduk di sofa ruang tengah. “Kepala gue pusing, mulut nggak enak buat makan apa pun, badan lemes. Mau naik, nggak kuat. Begini amat mau punya bayi lagi. Gue mulu yang kesiksa.” Mario lalu menghampiri Damian dan duduk di sampingnya. “Kan, yang buat elo. Ya mau nggak mau, elo yang kudu disiksa. Indi bagian lahirinnya aja. Harus sinkron, dong!” Damian menghela napas kasar. “Iyaa. Nanti juga elo ngerasain. Lihat aja.” Mario menyunggingkan senyum. “Semoga aja nggak. Gue nggak bisa kerja kalau mabuk. Elo enak, ada Diego yang handle semuanya. Dia nggak ikut?” “Nggak. Ada kerjaan lain yang harus dia urus.” Mario manggut-manggut dengan pelan lalu mengambil tas kerjanya. “Aku berangkat dulu, yaa. Kamu jaga diri di sini, jangan begadang, kasih makan Kaisan sesuai jadwalnya. Kamu juga, jangan lupa makan, minum vitamin dan istirahat yang cukup. Dua hari lagi aku pulang.” Ia lalu mengecup kening Rhea dan melambaikan tangannya. “Hati-hati,” ucapnya dengan lembut. Damian lantas menarik tangan Mario dan membawanya keluar dari rumah tersebut. Sehingga membuat Rhea mengerucutkan bibirnya atas ulah Damian yang bahkan tidak menyapanya. “Padahal masih pengen pelukan,” ucap Rhea dengan pelan. “Peluk Kaisan aja,” ucap anak kecil itu dengan riangnya. Rhea lantas terkekeh pelan. “Sini.” Ia lalu memeluk anaknya itu dan menciumi wajahnya karena gemas. “Nggak kerasa, udah tiga tahun aja usia kamu, Sayang. Tumbuh dengan baik ya, Nak. Jadi kebanggaan Mami setelah besar nanti.” Rhea berharap banyak kepada anaknya yang menjadi pelipur laranya karena ditinggal pergi oleh ayah kandung dari anak kecil itu. Dan kini, bahagianya semakin bertambah atas kehadiran Mario yang bahkan mau menerima semua kekurangan dan juga masa lalu perempuan itu. ** Waktu sudah menunjuk angka dua belas siang. “Hanya nyuruh aku jemput Kaisan doang, nih?” Rhea tampak cemburu karena Mario lebih perhatian kepada anaknya itu. “Kan, tadi udah tanya. Kamu udah makan siang belum. Aku baru sampai Surabaya. Lagi makan siang sama Damian. Tapi, sayang … ini orang makannya kayak bayi lagi mencret.” Rhea terkekeh pelan mendengarnya. “Nanti, mau makan siang sama Kaisan di resto langganan kita. Jangan diledek terus Damian-nya. Namanya juga lagi mabuk hamil.” “Iya, Sayang. Nanti aku telepon kalau Kaisan sudah pulang ke rumah.” Rhea lalu mengerucutkan bibirnya dan menghela napasnya dengan panjang. “Kok aku cemburu ya, kamu lebih perhatian ke anak aku daripada ke aku.” Mario terkekeh lagi. “Kan, bagian sama kamu mah tiap malam. Kalau Kaisan udah tidur.” “Dasar!” “Ya udah. Aku lanjut makan dulu, yaa. Jangan lupa minum vitamin.” “Iya, Mario.” “Daddy, dong.” “Nggak mau!” Mario tertawa di seberang sana. “Ya udah, Daddy mau makan siang lagi. Bye, Mami.” Rhea memutar bola matanya sembari mengulas senyum geli. Ia lalu menutup panggilan itu dan melajukan mobilnya menuju sekolah. Sementara di sekolah. Brandon lebih dulu tiba lalu menatap Kaisan yang tengah bercanda ria bersama teman-teman satu kelasnya. Menatap dengan mata sendunya dan sangat yakin bahwa anak kecil itu adalah anak kandungnya. ‘Kenapa mama kamu menyembunyikan ini dariku, Nak?’ ucapnya dalam hati. Tentu saja karena Rhea tahu, Brandon tidak akan pernah kembali lagi padanya. Ia tidak akan pernah bisa mendapatkan Brandon lagi sebab pernikahan yang sudah menghalangi mereka meski ada buah hati yang menjadi alasan untuk mereka bersama. Namun, hal itu tentunya tidak akan pernah Rhea lakukan. Ia sudah nyaman bersama Mario meski hatinya sering was-was, khawatir Mario diambil lagi oleh keluarganya. “Halo, Om.” Kaisan melambaikan tangannya kepada Brandon. “Kaisan minta maaf ya, Om.” Brandon lalu tersenyum lirih. Ia pun berjongkok, menyamakan tingginya dengan Kaisan. “Anak yang baik. Om sudah memaafkan. Berteman dengan baik ya, sama Gaftan. Om juga minta maaf, karena Gaftan udah ganggu kamu.” Kaisan mengulas senyumnya yang paling manis. “Telima kasih, Om,” ucapnya dengan aksen cadelnya. Brandon kembali mengulas senyumnya. Rasanya ia ingin sekali memeluk anak itu. Hanya saja, sepertinya akan membuat Rhea marah bila ia berani menyentuh anaknya itu. “Kaisan.” Rhea datang dan menghampiri anaknya sembari melebarkan tangannya dengan senyum terbit di bibir perempuan itu. “Mami …!” Kaisan berlari menghampiri sang mama. Bibir yang sedari tadi menampakkan senyum itu lalu hilang kala melihat Brandon yang berdiri menatapnya. “Aku sudah minta kamu untuk jangan mendekati anak aku lagi, Brandon. Telinga kamu masih berfungsi dengan normal, kan?” ucapnya dengan kata-kata yang cukup menyakitkan. Brandon menganggukkan kepalanya. “Kaisan hanya mau minta maaf. Kebetulan Gaftan juga belum keluar.” Rhea terdiam. Ia lalu menggendong Kaisan dan membawanya pergi dari sekolah itu. Tidak mau berlama-lama melihat Brandon yang hanya akan membuatnya kesal kalau melihat lelaki yang telah membuatnya hancur bahkan sempat meragukan ketulusan Mario lantaran menganggap semua laki-laki itu sama saja. Brandon lalu mengepalkan tangannya. Mengusap rambut Kaisan dan berhasil mencabut dua helai rambut anak kecil itu untuk mencari bukti dengan cara tes DNA. “Maaf, telah lancang melakukan ini, Rhea. Hanya ini, satu-satunya cara agar aku bisa mengetahui siapa Kaisan sebenarnya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN