Taruhan
Suara dentuman musik disko begitu memekakkan telinga. Seorang pemuda tampan terlihat begitu asyik menggerakkan kepalanya sesuai irama musik yang berputar. Gemerlapnya dunia malam di kota metropolitan seolah sudah menjadi bagian dari dirinya. Sesekali dia menyesap minuman keras yang dia pesan.
Seorang pemuda tampan menepuk punggungnya pelan, membuatnya berhenti menggerakkan kepalanya, dan menoleh ke arah pemuda yang menepuk punggungnya. Pemuda tampan itu tersenyum, ketika mengetahui siapa yang datang menghampirinya.
“Ada apa?” tanya sang pemuda.
“Ada tawaran menarik, Ngga!” ujar pemuda yang satunya sedikit berteriak, karena nyaringnya suara musik di club malam.
Pemuda yang di panggil dengan sebutan Ngga, tersenyum. Perkenalkan, namanya adalah Rangga Putra Ardiansyah, statusnya saat ini masih seorang mahasiswa di sebuah universitas ternama di kota Jakarta. Selain sebagai seorang mahasiswa, Rangga atau yang sering di sapa Angga adalah seorang pembalap mobil tingkat nasional. Wajah yang tampan, materi yang berlimpah, membuat Angga selalu di gandrungi banyak gadis.
“Apa yang harus gue lakuin, Rik?” Angga bertanya kepada temannya yang bernama Erik.
Erik menyunggingkan senyumnya, menarik tangan Angga, membuat Angga terpaksa berdiri dari tempat ia duduk. Hanya menurut, ketika Erik membawanya keluar dari club.
Erik melepas tangan Angga setelah ke duanya sampai di luar. Berjalan menuju tempat mobil mereka terparkir, Angga hanya mengikuti Erik dari belakang. Berhenti, setelah mereka sampai di depan mobil mereka.
“Tunggu! lo mau ngajakin gue kemana?” Angga mulai membuka suaranya.
“Malam ini kita bakal untung banyak, Men!” seru Erik.
Angga mengernyitkan alisnya, masih belum paham dengan maksud Erik. “Maksud, Lo?” tanya Angga.
“Panji nantangin Lo,” ucap Erik.
Angga menyunggingkan senyumnya. Rupanya cowok tengil yang satu ini, belum juga jera. “Dengan senang hati, dimana?” Kembali, Angga bertanya kepada Erik.
“Di tempat biasa, kali ini duitnya gede Ngga. Tiga puluh juta kalau lo berhasil ngalahin Panji.” Angga tersenyum mendengar penuturan Erik.
“Ayo kita cabut!” ajak Angga.
Tidak ingin menghabiskan waktunya, Angga dan Erik segera masuk ke dalam mobil sport milik mereka. Melajukan mobil mereka ke tempat yang sudah di tentukan. Itulah kehidupan Angga, tidak pernah jauh dari seputar dunia balap. Tidak peduli itu balap liar, karena dari sini, Angga akan memperoleh uang yang lumanyan besar untuk dia berfoya-foya bersama teman nongkrongnya.
Beberapa menit kemudian, Angga dan Erik sudah sampai di tempat yang Panji tentukan. Mereka berdua berhenti di samping mobil Panji. Hanya ada beberapa orang yang berada di sana, teman Panji dan beberapa teman Angga yang ternyata sudah berada di sana, untuk menyaksikan balap liar antara Panji dan Angga. Serta beberapa gadis cantik yang sengaja mereka bawa.
Panji menyunggingkan bibirnya ke atas, tersenyum sinis ke arah Angga yang baru saja datang. Menunjukkan jempolnya ke arah Angga, dan memutarnya ke bawah dengan senyum penuh ejekkan. Angga tetap bersikap tenang, tidak peduli dengan ejekkan Panji.
Erik menyingkir dari tempat itu, melajukan mobilnya ke tempat temannya memarkirkan mobil mereka. Pria tampan itu turun dari mobil sportnya, bergabung dengan teman yang lainnya untuk menyaksikan balap liar antara Angga dan Panji. Meskipun hanya sebatas balap liar, tapi balap ini sangat menarik, karena keduanya sama-sama seorang pembalap Nasional. Hanya saja, Angga selalu lebih unggul di bandingkan dengan Panji.
Seorang gadis cantik berdiri di antara mobil Angga dan Panji, memberi aba-aba untuk keduanya yang sepertinya sudah siap dengan posisi masing-masing.
“Tiga … dua …go!” teriak sang gadis, melambaikan sehelai kain merah yang ia bawa.
Angga terus melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, jarak dia dan Panji hanya berjarak beberapa inci. Keahlian ke duanya memang patut di acungi jempol. Tidak heran, jika ke duanya masuk sebagai kategori pembalap Nasional yang berprestasi.
Angga melirik mobil yang Panji kendarai lewat kaca spion samping, jarak mobil keduanya memang tidak terlalu jauh, Angga terus menginjak gas, mengatur gigi sesuai rute yang ia lalui. Satu kehebatan Angga, dia adalah penahluk tikungan. Setajam apapun tikungan yang ia lewati, Angga selalu bisa menyeimbangkan kecepatan mobilnya, tanpa harus ke luar dari jalur.
Satu putaran, Panji berhasil mendahului mobil Angga, tersenyum sinis ke arah Angga, mengacungkan telujuk tengahnya ke arah Angga. Pria tampan itu tetap saja tenang, tidak mudah terpancing dengan apa yang Panji lakukan. Angga menyunggingkan senyumnya, Panji boleh unggul saat berada di rute yang lurus. Tapi lihat saja saat sebuah tikungan mereka lewati.
Mereka hanya akan melakukan dua putaran. Jadi, jika di putaran ke dua Angga gagal mendahului Panji, maka sudah bisa di pastikan, Panji lah yang akan keluar sebagai juara malam ini. Tiba saatnya di jalan yang mempunyai tikungan tajam, di sinilah Angga akan lebih unggul. Tanpa Panji duga, mobil yang Angga kendarai sudah menyalip mobilnya, bahkan jarak ke duanya cukup jauh. Panji mendengus kesal.
Mobil Angga sampai duluan di garis finis, itu artinya Anggalah yang memenangkan balap liar itu. Panji
dan teman-temannya mendekati mobil Angga, melakukan tos ala mereka. Angga keluar dari dalam mobilnya. Di susul Panji yang datang menghampirinya dengan tatapan penuh amarah.
Angga tersenyum sinis ke arah Panji. “Napa lo! belum puas juga lo? mana duit yang lo janjikan.” Panji tersenyum sinis. Memberi isyarat kepada temannya, salah satu temannya maju. Menyerahkan sebuah paper bag kepada Panji.
“Ini duit yang gue janjikan,” ujar Panji. Menyerahkan sebuah paper bag kepada Angga.
Angga tersenyum, memberi isyarat kepada Erik untuk menerima uang itu. Erik maju, mengambil uang dari tangan Panji. Angga bermaksud meninggalkan tempat itu.
“Tunggu! lo belum sepenuhnya menang,” ujar Panji.
Angga terpaksa mengurungkan niatnya, menoleh ke arah Panji, sepertinya cowok tengil yang satu ini belum juga terima dengan kekalahannya.
Angga mendengus kesal. “Apa lagi mau lo. Gue ladeni sekarang juga,” tantang Angga.
Panji tersenyum sinis. “Bukan sekarang, Bro.”
“Maksud, lo?!” Angga penasaran dengan ucapan Panji.
“Gue dengar, lo penahluk seorang cewek.” Angga menatap Panji jengah, benar-benar kata-kata yang tidak bermutu.
“Lalu … apa mau lo!” tantang Angga.
“Simpel. Ada satu cewek yang gue taksir di kampus kita. Jika dalam waktu satu minggu, di antara kita bisa ngedapatin dia. Gue akui kekalahan gue. Jika gue yang menang, mobil lo akan menjadi milik gue. Tapi jika lo yang menang, mobil gue akan menjadi milik lo.” Semua tercengang mendengar penuturan Panji. Apakah Angga akan menyetujui taruhan gila itu.
Angga tersenyum, menggelengkan kepalanya. Jika ia tolak, bukan tipe Angga banget. Tapi jika ia terima, belum tentu gadis yang di sukai Panji, sesuai dengan seleranya.
Erik menyenggol lengan Angga, berharap Angga menerima tawaran itu. Suasana menjadi ricuh, mereka berteriak seolah meminta persetujuan Angga.
“Trima! trima! trima!” teriak mereka semua. Panji tersenyum senang, sepertinya Angga akan menerima tantangan darinya.
“Baiklah … gue terima. Siapa gadis itu, kapan kita akan mulai taruhan ini.” Panji tersenyum, Angga tidak akan pernah tau, rencana licik apa yang Panji susun.
“Gadis itu Hana, Rehana.” Angga tersenyum, ternyata selama ini, Panji menyukai Hana.
“Oke! Gue terima tantangan ini.” Panji tersenyum puas.
Semua yang di situ ikut tersenyum, mereka penasaran dengan taruhan ini. Seorang gadis cantik idola kampus, satu mobil sport dengan harga yang fantastik. Kira –kira siapakah yang akan keluar sebagai pemenangnya.
Angga segera masuk ke dalam mobilnya, menoleh ke arah Erik yang masih berdiri di sebelah mobilnya. Erik membungkukkan badannya, berbicara dengan Angga yang sudah berada di dalam mobil sportnya.
“Ini uang lo,” ujar Erik.
Angga tersenyum. “Simpan saja buat besok malam, kita party Men.” Erik tersenyum senang. Seperti itulah mereka, menghabiskan uang hasil taruhan, untuk bersenang-senang.
“Lo mau kemana?” tanya Erik.
“Gue mo pulang, nyusun strategi besok buat dapetin Hana.” Erik tersenyum, mendengar jawaban Angga.
“Dasar play boy cap badak!” ejek Erik. Angga tersenyum.
“Terserah! Yang penting gue menang taruhan itu. Gue cabut dulu ya …” Erik meninju lengan Angga. Berdiri tegak, berjalan menuju mobilnya terparkir, tidak peduli dengan Panji yang menatapnya sinis.
Angga segera meninggalkan tempat itu, Erik dan teman yang lainnya menyusul. Panji tersenyum licik, mengambil sebuah benda pipih di saku celananya. Tangannya sibuk mengutak-atik benda pipih itu. Sepertinya ia tengah menghubungi seseorang.
(Cepat ikuti Angga, habisi dia saat dia sendirian)
Tidak butuh jawaban dari seberang sana, Panji segera menutup panggilan teleponnya. Dia benar-benar muak dengan sosok Angga yang selalu unggul di atasnya. Salah satu temannya mendekati Panji, menepuk pelan pundak Panji. Pria tampan itu menoleh, tersenyum ke arah sahabatnya. Mereka semua tersenyum, karena mereka yakin, kali ini Angga akan habis.
,,,,,,
Angga terus melajukan mobilnya ke arah rumahnya, kebetulan arah rumah dia beda dengan teman-teman yang lainnya. Jalanan terlihat sangat sepi, karena memang ini sudah larut malam. Dia tidak menyadari, jika dua motor ninja mengikutinya sejak dari simpangan tadi.
Kedua motor itu memepet mobil yang Angga kendarai. Angga pun heran, apa sebenarnya maksud mereka mengikutinya. Salah satu pengendara motor itu memberi isyarat untuk Angga menepi. Angga yang merasa penasaran, menepikan mobilnya.
Kedua pengendara motor ninja ikut menepi, berhenti tepat di samping mobil Angga. Mereka berdua turun dari motornya, mengetuk keras kaca depan mobil Angga. Memaksa Angga untuk keluar dari dalam mobilnya.
Tanpa rasa takut sedikit pun Angga keluar dari dalam mobilnya. Tersenyum sinis kearah mereka, yang tidak melepas helm yang mereka kenakan. Angga menggerak gerakkan lehernya, sepertinya maksud kedua pengendara motor itu tidak baik.
“Apa mau lo!” bentak Angga.
“Jangan banyak bacot, lo!” seru salah satu pengendara motor itu. Keduanya mengeluarkan pisau lipat yang mereka simpan di dalam saku celananya. Sedikit pun Angga tidak takut.
“Ucapkan selamat tinggal pada dunia ini,” ucap salah satu dari mereka pongah.