PART. 9 BERTEMU MANTAN

1303 Kata
Ziya memandang hujan yang turun, dan membasahi kaca jendela apartemen. Ditatap jam di dinding. Sudah jam sembilan malam, tapi Abizar belum pulang dari kantor. Hari ini, hari pertama Abizar ke kantor setelah menikah. Sebenarnya, tadi Abizar sudah menelepon, meminta Ziya agar makan malam duluan. Ziya mematuhi permintaan Abizar, ia makan tanpa menunggu suaminya, tapi hanya bisa makan sedikit. Ziya merebahkan tubuh ke atas sofa, yang sudah berubah fungsi jadi tempat tidur di ruang kerja Abizar. Ziya sengaja membawa bantal, dan guling dari kamar. Ditatap layar ponsel. Tadi baru saja Ismail menelpon. Ismail meminta agar mereka bisa bertemu. 'Masalah dengan Ismail harus segera aku selesaikan. Mumpung dia berkunjung ke Indonesia untuk urusan pekerjaan,' batin Ziya. Bertahun-tahun Ziya berusaha, untuk mengikis cinta masa kecilnya pada Abizar. Sampai tiga tahun lalu, saat Ziya bertemu dengan Ismail. Kelembutan, perhatian, dan kasih sayang yang ditujukan Ismail pada Ziya, membuat Ziya sedikit demi sedikit mulai melupakan cintanya pada Abizar. Tapi, sayangnya orang tua Ziya tidak merestui hubungan mereka. Papah Ziya, Fathan Effendi, tidak mau memiliki menantu seorang artis. Ismail Faisal, salah satu aktor yang tengah naik daun di Turki. Drama yang dibintangi selalu laris. Ziya tak ingin membantah keinginan orang tuanya. Ziya sudah memutuskan hubungan dengan Ismail secara sepihak, setelah papahnya memutuskan, untuk membawa Ziya kembali ke Indonesia, setelah sepuluh tahun mereka tinggal di sana. Ziya sendiri tidak tahu, apakah dirinya benar mencintai Ismail, atau tidak. Tapi, bagaimanapun diantara mereka, pernah terjalin kedekatan. Dipejamkan mata, Ziya berusaha untuk tidur. Berusaha diusir gelisah yang melanda perasaannya. * Abizar baru tiba dari kantor. Banyak berkas yang harus diperiksa, karena sudah libur beberapa hari karena menikah. Dibuka pintu kamar tidur, tapi Ziya tidak ada di dalam kamar tidur. Bahkan bantal, dan guling juga tidak ada. Abizar beranjak ke ruang kerja. Ia buka pintu ruang kerja. Tatapan Abizar langsung ke atas sofa, Ziya tengah tidur dengan nyenyak di sana. Abizar melangkah masuk, ia tersenyum saat menatap wajah polos Ziya. Ponsel Ziya bergetar, mengalihkan fokus Abizar dari wajah Ziya. Abizar membaca notif yang masuk. Pesan dari Ismail. Abizar menatap Ziya lagi. 'Apakah ini terakhir kali aku melihatmu, Ziya? Apakah besok kamu akan kembali padanya? Apakah pernikahan kita akan berakhir secepat ini?' batin Abizar Abizar menghela nafas. Apapun yang terjadi, ia harus mempersiapkan diri. Akhirnya Abizar memutuskan untuk mandi. Selesai mandi, Abizar memakai celana pendek, dan kaos oblong. Abizar merebahkan tubuh di sebelah Ziya. Di luar hujan sangat deras, dingin terasa menusuk ke dalam kulitnya. Tiba-tiba Ziya bergerak, Ziya seperti mengigau. Ziya mengambil tangan Abizar, dan menjadikan bahu Abizar sebagai bantal. Ziya menelusupkan wajah ke lekukan leher Abizar. Tangan diletakan di atas d**a Abizar. Mata Ziya tidak terbuka. "Dingin ...." Ziya bicara, tapi matanya tetap terpejam, seakan ia sedang bermimpi. Abizar memiringkan tubuh, ia peluk tubuh Ziya. Abizar merasakan tubuh Ziya gemetar. Abizar meraih selimut dengan ujung kaki, lalu ditutup tubuh mereka berdua dengan selimut. Nafas teratur Ziya terasa hangat di lehernya. Abizar memejamkan mata, berusaha mengusir segala pikiran, dan mencoba untuk tidur. * Abizar terbangun, saat merasakan Ziya bergerak dalam pelukannya. Abizar membuka mata, lalu mengecup dahi Ziya. Ziya membuka mata karena kecupan Abizar. "Abang sudah makan ?" tanya Ziya, tanpa berusaha menjauh dari Abizar. "Sudah, kamu?" Kepala Ziya mengangguk sebagai jawaban. Ziya ingin bangun dari berbaring. "Mau ke mana?" tanya Abizar, ia enggan melepas pelukan. "Ke kamar mandi," jawab Ziya. Barulah Abizar melepaskan pelukan di tubuh Ziya. Ziya kembali dari kamar mandi. Abizar baru memperhatikan, baju tidur yang dipakai Ziya sangat terbuka. Baju tidur tanpa lengan, celananya terlalu pendek, memperlihatkan paha Ziya yang putih mulus. Saat Ziya mendekat, Abizar memutar tubuh, ia pura-pura tidur. Ziya berbaring di sebelah Abizar yang memunggunginya. Ziya mendengar suara nafas Abizar yang teratur. Ziya pun berusaha untuk tidur * Pagi harinya. "Abang, hari ini aku mau ke rumah oma, boleh ya?" tanya Ziya saat mereka sedang sarapan. "Iya boleh, nanti kamu ikut aku ke kantor dulu, biar supir kantor yang mengantar kamu ke rumah oma," jawab Abizar. "Terima kasih, Abang." Abizar yakin, hari ini Ziya akan menemui Ismail, kekasihnya. 'Aku tahu dia istriku, tapi pernikahan ini bukan kemauan Ziya. Aku tak pantas mencegah Ziya bertemu dengan orang yang dia cinta,' gumam hati Abizar. Setelah mengantar Abizar ke kantor, Ziya di antar supir Abizar ke rumah Arnita. Arnita sangat senang menyambut kedatangan Ziya. "Aduh pengantin baru kok sendirian?" tanya Arnita menggoda. "Abang Ezar sedang banyak pekerjaan, Oma. Jadi Ziya diantar supir. Mamah, dan papah mana, Oma?" tanya Ziya, karena tidak melihat kedua orang tuanya. "Mamah papahmu belum pulang dari Surabaya. Kamu lupa, mereka mengantar nenek, dan kakekmu pulang ke sana." "Aku lupa, padahal mamah ada telepon kemarin." "Pengantin baru sih, sudah lain yang diingat." "Ih, Oma!" Ziya merajuk manja pada omanya. "Bagaimana menikah? Enak tidak?" "Masih baru ya enak-enak saja, Oma." "Semoga cepat isi, biar Oma bisa merasakan punya cicit dari kamu." "Aamiin." Ziya jadi merasa bersalah, karena memberi harapan palsu pada omanya. Ziya dan Arnita duduk di ruang tengah. Mereka menikmati tayangan gosip di televisi. Tiba-tiba Arnita menunjuk ke layar kaca. "Itu bukannya Ismail faisal, Zi? Dia temen kamu di Turki. Eeh ada Melissa juga!" "Iya, Oma. Drama yang dibintangi Ismail tayang di Indonesia. Dia diundang stasiun televisi yang menayangkan dramanya itu," jawab Ziya. "Papah kamu benar, saat melarang kamu dekat dengan dia, Zi. Kehidupan mereka tak lagi bisa dibedakan, mana yang asli, mana yang hanya sekadar akting. Zaman sekarang, banyak artis terlibat cinta settingan, agar tetap bisa eksis, dan jadi bahan perbincangan." "Tidak semua begitu, Oma." "Kalau kita bukan kalangan mereka, takutnya susah menyesuaikan diri. Jadi lebih baik dihindari." "Iya, Oma." Ziya dan Arnita terus terlibat obrolan tentang dunia hiburan tanah air. Suara ponsel mengagetkan Ziya. Ziya menatap layar ponselnya, ada pesan dari Ismail. "Oma, Ziya ada janji makan siang sama teman. Ziya pergi dulu ya." Ziya mencium tangan omanya, lalu bangun dari duduk. "Naik apa?" tanya Arnita yang ikut berdiri juga. "Taksi online saja, Oma. Assalamuallaikum." "Waalaikum salam, hati-hati, Zi." "Iya, Oma." * Ziya tahu yang dilakukannya salah, menemui seorang lelaki tanpa seijin suaminya, tapi ini terpaksa ia lakukan. Ziya, dan Ismail, sudah duduk berhadapan, dengan makan siang terhidang di atas meja. Ismail sudah memesan makanan sebelum Ziya tiba. Ismail merasa tidak perlu bertanya, Ziya ingin makan apa, karena sudah sangat hapal menu apa yang Ziya suka. Ziya sudah menceritakan tentang pernikahannya. Ismail tak bisa menutupi rasa terkejut juga kecewa. "Jadi, kamu benar-benar sudah menikah dengan pilihan orang tuamu?" Suara Ismail terdengar bergetar, karena menyimpan amarah. Ziya menganggukkan kepala. "Diantara kita sudah tidak ada apa-apa lagi. Aku mohon, jangan hubungi aku lagi," pinta Ziya dengan mata berkaca-kaca. "Aku akan pergi, jika aku sudah memastikan, lelaki itu memang terbaik untukmu. Aku akan ada di negara ini untuk beberapa bulan ke depan. Cukup waktu bagiku, untuk terus mengamati kamu. Kamu tahu, aku sangat mencintaimu, Zi. Aku tak ingin kamu tersakiti, karena menikah dengan lelaki yang tidak kamu cintai." Suara Ismail memang terdengar pelan, tapi bahasa Turki yang mereka pergunakan, membuat orang-orang memperhatikan mereka. Untungnya, tidak ada yang menyadari, kalau Ismail seorang aktor terkenal dari Turki. Ziya menundukkan wajah. Ia merasa berada di persimpangan. Dilema yang Ziya rasa. Ziya bingung dengan perasaannya sendiri. Ia mungkin masih mencintai Ismail, tapi sekarang dirinya istri Abizar, pria yang ia cinta dari masa kecilnya. Cinta yang begitu sulit dilupakan. Ziya merasa, kebimbangan ini sungguh menekan perasaan. Seandainya Ismail tidak datang, mungkin hatinya tak sebimbang ini. Tapi dia ada di sini, di depannya, memandang Ziya dengan penuh cinta. 'Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan. Hidup dengan orang yang mencintaiku setulus hati, tapi akan melukai keluargaku, ataukah dengan orang yang tak pernah mencintaiku, tapi membuat keluargaku bahagia.' Ziya sadar, pertanyaan ini sudah terlambat untuk ditanyakan. Karena pada kenyataan, sekarang ia sudah menikah dengan orang yang tak pernah mencintainya, sebagai seorang wanita. Bagi Abizar, dirinya hanyalah seorang adik yang disayangi. 'Tapi ciuman kemarin, apa maksudnya? Itu bukan ciuman seorang Abang pada adiknya.' *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN