Gue itu Langit. Gue cuma punya tiga warna. Hitam, kalau hujan. Putih kalau berawan. Dan biru kalau lagi cerah. Tapi gue enggak punya warna indah kaya lo. Jingga .... gue enggak punya warna itu. Dan lo, lo adalah warna yang gue cari.
***
Pagi sekali Anggia terbangun. Kali ini badannya sudah lumayan segar. Tidak seberat beberapa hari yang lalu. Ia menatap ke arah pintu yang masih saja tertutup. Menyebalkan, sampai kapan ia dipenjara di sini.
"Langit! Buka pintunya!"
Anggia mengetuk pintu sekuat tenaganya. Rasa benar-benar kesal pada laki-laki aneh itu.
"LANGIIIITTT! BUKAAA!"
Suara Anggia terdengar lebih keras. Membuat Langit yang memang tidur di kamar sebelah gadis itu mendengus jengah.
Ia dengan malas bangun dari atas ranjangnya. "Nih bocah pagi-pagi berisik banget sih."
Langit mengacak rambutnya kasar. Rasanya kepalanya pusing sekali. Ia terlalu telat semalam pulangnya.
"Apaan sih lo berisik banget?!" Langit membuka pintu. Dan menatap jengah si gadis berisik itu.
"Gue mau pulang."
Langit tak menggubrisnya. Ia malah masuk dan merebahkan dirinya di kasur gadis itu.
"Langiiiiitttt!"
Anggia menarik lengan laki-laki itu agar terbangun. Malah membuat laki-laki menyebalkan itu terkekeh.
"Mandi sana, turun sarapan."
"Gue mau pulang."
Sejenak Langit terdiam. Ia menatap Anggia dengan tatapan tajamnya. "Gue enggak akan ijinin lo pulang. Sebelum ada dari pihak kepolisian yang nyari lo! Paham?"
Anggia menggeleng. "Tapi ..."
"Kalau enggak ada dari pihak keluarga lo yang nyari lo, itu artinya mereka enggak peduli sama lo. Kenapa lo mesti pulang?"
"Langit, gue ..."
"Mandi! Gue tunggu di bawah!"
Langit beranjak dan meninggalkan Anggia yang masih termangu di tempatnya.
Benar? Kenapa enggak ada yang nyari gue? Papah ...
Mamah ...
Gadis itu meremas dadanya. Rasanya sakit sekali di sana.
Flassh back.
"Papah, Anggi masak mie goreng. Papah mau?"
Anggia kecil membawa mie goreng buatannya dengan kedua mata yang berbinar. Tapi sang Ayah hanya terdiam sama sekali tidak menatap padanya.
"Rasanya enak banget Papah, ini mie goreng rasa rendang. Rendangnya kerasa banget."
Lagi, sang Papah hanya terdiam saja. Seolah Anggia memang tidak ada di sana. Kemudian gadis itu berubah muram. Kedua matanya berkaca-kaca.
"Mie gorengnya enak lho papa."
Anggia tak mau kalah. Ia menyuapi sang Papah dengan kedua mata penuh harap. Tapi, hampir saja mie tersebut sampai ke mulut sang Ayah. Laki-laki itu malah menepisnya. Hingga mie itu berantakan di lantai.
"Papa..."
Anggia kecil buru-buru memunguti mie di atas lantai dengan kedua matanya yang berlinang basah.
"Mie nya enak."
Gumamnya, ia memakan sendiri mie tersebut dengan isakan sesak di kedua bibirnya.
Flassh back off.
Sampai saat ini sang Ayah tidak pernah berubah. Setelah Ibunya meninggalkan mereka berdua dengan lelaki yang lain. Anggia sama sekali tidak pernah menerima kasih sayang dari Ayahnya.
Apakah ia menyalahkan dirinya?
"Anggiaaaaaaa!"
Teriakan dari bawah. Membuat gadis itu melihat ke arah jendela. Ia melihat ketiga sahabatnya di sana. Gadis itu tersenyum. Ternyata hanya mereka yang masih peduli padanya.
"Kak Langiiiiitttt mana Anggiaaaà!" Itu suaranya Teja. Laki-laki itu memukul gerasi rumahnya Langit. Membuat Langit menatap jengah, laki-laki itu mendekat ke arah gerasi.
"Kalian tuh berisik banget! Pada sekolah sana!" Hardik Langit tegas. Membuat ketiga sahabat Anggia memutar kedua bola matanya jengah.
"Eh, Kak Langit, Mana Anggia. Kita mau jemput dia. Kita mau sekolah bareng." Raya bersuara.
"Gue bilang dia masih sakit. Kalian pada ngeyel ya, pergi sana! Hush, hush," seperti mengusir seekor kucing saja. Membuat ketiganya kesal. Dan Anggia, ia hanya tersenyum saja dari atas. Meskipun Langit pemaksa, tapi Anggia merasa. Kalau laki-laki itu berniat baik padanya.
***
Setelah mandi, Anggia turun ke lantai bawah. Gadis itu tertegun, ternyata rumahnya Langit ini sangat luas. Tapi ia cukup heran. Karena di sana sangat sepi. Hanya ada Langit, dan perempuan yang mengantarkan makanan ke kamarnya waktu itu.
"Ehem," dehaman dari belakang. Membuat Anggia menoleh. Langit turun dengan seragam sekolahnya.
"Gue mau sekolah, lo di rumah dulu." Laki-laki itu duduk di kursi makan. Kemudian mengambil sarapanya.
"Tapi gue juga mau sekolah." Anggia berjalan mendekat.
"Lo di rumah dulu. Luka lo masih parah." Langit mengunyak makanannya.
"Tapi...."
"Kenapa? Kangen sama tiga cecunguk itu?!"
"Mereka bukan cecunguk!" Rengek Anggia kesal, namun wajah cantik itu terlihat amat menggemaskan. Membuat Langit menahan kedua bibir menawannya agar tidak tersenyum.
"Lalu?" Langit meraih gelas s**u hangatnya. Kemudian menyesapnya sampai kandas.
"Pokoknya bukan cecunguk!"
"Gitu banget belainnya, suka ya sama mereka bertiga? Bisa banget ya, suka sama tiga cowok sekaligus!" Ujar Langit sinis.
"Dih, apaan? Kak Langit sembarangan aja. Mereka itu sahabat gue."
"Sahabat ko kaya pacaran. Menggelikan!"
"Kak Langit ngeselin benget ikkh!" Anggia menghentakan kakinya. Ia jelas Keki, Langit ini sepertinya suka sekali menggoda dirinya.
Tanpa gadis itu sadari. Langit terkekeh, kemudian menatap sekali lagi pada gadis cantik itu. Langit kali ini menatapnya dalam radius dekat. Tidak seperti dulu. Ia hanya bisa menatapnya diam-diam.
"A-ada apa?" Anggia gugup.
"Bisaenggaksihlogakusahcantikkaya gitu!" Ujar Langit, dengan menggumam. Membuat Anggia menautkan kedua alisnya. Tentu saja ia tidak mengerti dengan kalimat laki-laki tersebut.
"Kakak ngomong apa sih?" Anggia kembali bertanya. Langit tak menjawabnya, ia menyudahi sarapannya. Kemudian meraih tasnya.
"Lo gak mau sarapan?" Langit bertanya.
"Ma-mau...."
"Kenapa berdiri aja? Apa nunggu gue suapin?" Langit mencondongkan wajahnya.
"Apaan deh," Anggia mendorong wajah tampan itu. Membuat Langit tersenyum. Dan tak hayal senyuman itu mempengaruhi detakan jantungnya Anggia. Langit ini, ternyata.... ganteng!
"Bilang aja kalau mau gue suapin?" Langit malah menatapnya lekat.
"Ikhhh mit-amit." Anggia memutar kedua bola matanya jengah.
"Jangan mitamit. Nanti bisa mut-imut."
"Berangkat sana!" Anggia menunjuk ke arah pintu.
"Ngusir nih? Yakin gak mau di suapin. Ini spesial lo, anak-anak Mutiara pada mau tuh, gue suapin!"
"Dih, ogah. Sana berangkat ah," Anggia mendorong Langit ke arah pintu. Namun bukannya langit yang terhuyung. Tapi malah dirinya yang jatuh ke dadanya Langit. Tentu saja, karena laki-laki itu menariknya.
"Kak Langit! Apaan sih?!" Anggia mencoba melepaskan dirinya.
"Eh, ini tuh vitamin pagi. Guekan di sekolah nanti bakal banyak mikir. Nah, sebelum mikir, otak tuh mesti di kasih vitamin. Dan vitaminnya tuh lo!"
"Gaje banget. Lepasin!"
Langit melepaskan gadis itu. Namun tak membiarkannya jauh. Ia memegang kedua bahunya lembut. Menatap kedua matanya lekat.
"Anggia.... lo tahu gak?"
"A-apa?"
"Gue itu Langit. Gue cuma punya tiga warna. Hitam, kalau hujan. Putih kalau berawan. Dan biru kalau lagi cerah. Tapi gue enggak punya warna indah kaya lo. Jingga .... gue enggak punya warna itu. Dan lo, lo adalah warna yang gue cari."
Sejenak Anggia terlelap pada tatapan kedua matanya Langit. Dan Langit, ia begitu betah menatap kedua mata bening itu. Mata yang begitu indah, mata yang tak pernah Langit temukan dari mata gadis lain yang pernah ia lihat.
"Ma-maksudnya?" Anggia gugup pastinya. Langit ini kalau natap bisa membuat Anggia salah tingkah.
Langit, tersenyum. Ia mengusap pipi gadis itu begitu lembut. Kemudian mendekat, semakin dekat. Dan semakin dekat. Membuat Anggia gemetar jadinya. Napasnya terasa tercekat, ketika Langit berhenti tepat di depan bibirnya.
Lalu, "Gue sekolah dulu."
Anggia menarik napasnya. Langit ini.... menyebalkan!