PUKULAN TELAK

1709 Kata
Setelah menunggu hampir satu bulan sambil mempersiapkan segala sesuatunya, pagi ini David dan Patricia sudah berada di bandara untuk menjemput Amelia dan manager yang ditunjuk oleh Tasya. Hampir satu jam lebih mereka menunggu karena pesawat delay, akhirnya yang mereka tunggu pun tiba. "Itu Jasmine," kata Patricia sambil menunjuk ke arah sosok wanita cantik memakai dress berwarna biru muda selutut. Ia berjalan dengan sangat percaya diri dan langsung menghampiri Patricia. "Selamat datang, Jasmine," sambut Patricia. "Terima kasih, Patty. Hmm ... ini Karenina yang akan membantu segala keperluanku dan mengatur segala jadwalku. Panggil saja Nina," ujar Amelia kepada Patricia tanpa menoleh sedikitpun kepada David. Patricia hanya mengulum senyum melihat sikap Amelia pada David. "Jasmine, ini David. Dia adalah pemilik Pandawa Record dan Citra Buana televisi," kata Patricia. Amelia menoleh kepada David lalu melepaskan kacamatanya dan mengulurkan tangannya. Untuk beberapa saat David hanya diam terpaku sambil menatap wajah Amelia. Melihat David yang hanya berdiam diri Patricia langsung menyikut lengan lelaki itu. "Eh, maafkan aku," kata David lalu menyambut uluran tangan Amelia. "Dia terpesona pada kecantikanmu, Jasmine," celetuk Patricia membuat wajah David memerah karena malu. Tetapi, Amelia tidak merespon, ia hanya tersenyum kecil. "Apakah kita akan terus berada di bandara?" tanya Amelia. Sadar akan kesalahannya David segera menyuruh supir untuk membawa barang milik Amelia dan Nina. "Kita ke apartemen kalian dulu, setelah itu baru kit pergi makan,ya," ujar David. "Terserah saja," jawab Amelia singkat. Amelia tertegun, ia masuk ke dalam apartemen dengan perasaan campur aduk. Ia tau bahwa David memberikan apartemen miliknya dulu, ia sendiri yang meminta kepada patricia supaya David tidak mengubah apapun. Amelia ingin tetap bersama kenangan pahit itu, ia tidak ingin perubahan supaya ia dapat mengingat apa yang sudah David lakukan kepadanya. Ia berusaha keras untuk tidak menangis dan tetap menunjukkan sikap arogannya. "Aku suka apartemennya, persis seperti yang Patricia perlihatkan fotonya kepadaku," ujar Amelia. "Aku suka jika kau suka, Jasmine," kata David. Setelah meletakkan barang-barang mereka, David segera membawa mereka untuk makan, ia sudah memesan restoran untuk makan siang mereka. Secara tidak sengaja, saat mereka hendak memasuki lift, Karla ternyata ada di dalam lift itu. "Ini siapa,Dave?" tanya Karla dengan mata memicing. Perasaan Amelia bergetar seketika, ia ingin sekali memeluk kakaknya itu. Tapi, ia masih ingat bagaimana Karla sering memperlakukannya. Jadi, Amelia memutuskan untuk mendelik kepada Karla. "Dia istrimu, Pak David?" tanya Amelia tanpa menoleh kepada Karla. David tampak serba salah, dia bingung harus menjawab apa. "Saya adalah ibu dari anaknya Pak David, tapi saya bukan istrinya," jawab Karla dengan tegas. Patricia hampir saja tersedak mendengar jawaban Karla yang sangat berani. Amelia sendiri merasa dadanya sedikit sesak, ia iba dengan kondisi kakaknya itu. Meskipun Karla sering bersikap kasar padanya, tapi Amelia selalu ingat bagaimana pengorbanan Karla dulu kepadanya. "Baiklah kalau begitu tidak apa jika saya dekat dengan Pak David. Lagi pula saya dan Pak David hanya sebatas hubungan kerja," kata Amelia. "Mau lebih juga tidak masalah, saya tidak keberatan. Maaf, saya duluan, ada jadwal syuting," tukas Karla sambil berlalu. Patricia dan Amelia sekilas saling pandang dan melihat ke arah David yang tampak bingung dan salah tingkah. "Kita jadi makan, atau akan berdiri di sini turun naik lift?" tanya Amelia membuat David tersadar dan langsung melangkah. Pada akhirnya mereka makan siang bersama. Tampak Amelia begitu menjaga jarak dengan David. "Apa Patricia sudah mengatakan semua persyaratan yang aku berikan?" tanya Amelia pada David. "Sudah, Jasmine dan aku setuju. Aku sudah mempersiapkan beberapa single yang aku pikir akan cocok dengan karakter suaramu," kata David. "Hmm, besok bisa aku dengarkan?" tanya Amelia dengan antusias. Amelia memang sangat menginginkan untuk bisa memperdengarkan suaranya secara langsung. Bukan bersembunyi dan membiarkan orang lain yang mengakui suaranya. Sekalipun itu adalah kakaknya sendiri. David tersenyum senang, memang ini yang dia inginkan. Dia ingin secepatnya mempromosikan Amelia. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya, Jasmine?" tanya David. "Rasanya tidak, aku tinggal di Korea sejak SMA dan saat melihat kompetisi kemarin aku hanya tertarik ikut dan membawa nama Indonesia." "Kenapa?" "Karena, terkadang saat di negeri sendiri kita mendapat kesulitan untuk bisa maju kita perlu pergi dan membuktikan diri di negeri orang. Karena saat kita membawa nama negara kita di negara lain, barulah kita dihargai. Ya, seperti saat ini. Jika aku mengikuti kompetisi di Indonesia belum tentu aku bisa menjadi juara. Tapi, karena aku menjadi juara di negara lain, aku justru mendapat kemudahan di negaraku." David tertawa kecil, "Itu karena kau baru bertemu denganku. Aku tipe orang yang sangat menghargai bakat orang lain," kata David. Mata Amelia membulat dan ia menatap David dengan serius. "Kalau begitu saya boleh mengajukan pertanyaan?" "Boleh, tanya saja." "Kenapa anda tertarik untuk bekerja sama dengan saya?" tanya Amelia dengan serius. David menghela napas panjang, ia meraih gelas minumannya dan menyesapnya perlahan. Setelah itu ia menatap Amelia dengan tenang. "Awalnya aku melihat penampilanmu di acara itu. Lalu, aku tertarik mendengar suaramu yang betul-betul indah. Jadi aku meminta Patricia untuk pergi ke Korea dan menemuimu," ujar David. "Ah,anda tertarik karena mendengar suaraku?" "Tentu saja,Jasmine. Apa lagi yang harus dimiliki oleh seorang penyanyi selain suara yang indah? Ya, dalam memilih talent aku paling rewel dengan kualitas vocal. Masalah yang lain nomor sekian, yang penting suaranya harus enak di dengar." Amelia menyeringai dan menatap David, "Jika aku bertubuh gemuk, apakah anda akan tetap menyuruh Patricia untuk mencari dan menemui saya?" tanya Amelia dengan santai. Sontak David langsung tersedak dan terbatuk-batuk mendengar pertanyaan Amelia. Patricia hanya mampu menahan tawanya melihat David yang mati kutu. "Aduh, anda sampai tersedak. Apa ada yang salah dengan pertanyaan saya?" tanya Amelia dengan polos sambil menyuapkan potongan daging ke dalam mulutnya. "Tidak apa-apa, hanya kebetulan saja potongan dagingnya sedikit kebesaran," jawab David salah tingkah. 'Rasakan! Mati kutu kau dibuat Amelia,' batin Patricia geli. David hanya mendelik saat melihat Patricia yang sedang berusaha keras menahan tawa. Ia memutuskan untuk tidak bertanya apapun lagi dan meneruskan makannya. Setelah selesai makan, David langsung mengantarkan Amelia dan Nina kembali ke apartemen tanpa bicara lagi. Dia tidak mau ucapannya menjadi bumerang seperti tadi. "Apartemenku ada di lantai 10, jika kau butuh se ...." "Aku akan menghubungi Patricia jika membutuhkan sesuatu, Pak David.Rasanya itu lebih nyaman bagiku," ujar Amelia memotong ucapan David. "Baiklah kalau begitu aku dan Patricia harus kembali ke kantor, mungkin anda dan Nina ingin beristirahat," ujar David. "Ya , kami memang sangat lelah dan butuh beristirahat, jadi kami sangat berterima kasih jika anda bisa meninggalkan kami berdua." Patricia mengikik menahan tawa, sementara David hanya mengangguk dan langsung berpamitan. "Gadis itu gila!" ujar David. "Gila? Kau tidak lihat dia begitu cantik, bodynya,woow ...rasanya dulu tubuh Karla tidak seindah itu. Dia juga begitu manis dan bersuara indah." David mendelik sebal kepada Patricia. "Kau sedang meledek aku?" Patricia membelalakkan kedua netranya lalu mengibaskan rambutnya. "Mana ada sih aku meledekmu, aku ini hanya mengatakan kebenaran." "Hah , kau dari tadi hanya menahan tawa dan terlihat senang sekali melihatku menderita," kata David. Patricia hanya terkikik, "Aku menahan tawa karena memang kau ini lucu sekali. Biasanya kau yang selalu ketus kepada gadis- gadis. Tapi, sekarang kau yang harus berpanjang sabar menghadapi Jasmine." David menghela napas panjang, "Tapi, aku seperti sudah lama mengenal Jasmine. Suaranya , tatapan matanya, dia mengingatkan aku kepada seseorang," kata David lirih. "Ah, kau ini memang halu. Semua wanita cantik kau bilang pernah bertemu," kata Patricia. David menggelengkan kepalanya, "Tidak, aku yakin sekali aku mengenal dia. Mungkin dulu aku pernah bertemu dengannya entah di mana. Karena aku yakin sekali jika aku pernah bertemu." "Terserah kau saja." "Kau bisa bantu menyelidikinya?" "Hah?! Kau ini waras atau tidak? Heh, posisiku ini adalah wakilmu, bukan polisi yang harus menyelidiki orang lain." "Aku lihat dia cukup dekat denganmu. Aku yakin dia pasti mau bicara jika denganmu." "Iya, tapi apa yang harus aku ketahui? Sudah jelas kan, dia itu mendapat beasiswa sejak SMA di Korea. Jadi, dia lama tinggal di sana. Jasmine tidak punya orangtua, dia dulu tinggal di panti asuhan," tukas Patricia. David menghela napas, "Ah, jadi dia yatim piatu?" "Ya! Sudah jelas yatim piatu apa lagi yang mau diselidiki? Dasar aneh!" "Dia ... ah, sudahlah. Besok siapkan lagu yang akan dia pilih," ujar David. "Tidak perlu kau suruh, aku sudah mempersiapkan segalanya." David mengacungkan jempolnya sambil tersenyum, Patricia memang bisa dia andalkan. "Omong-omong , Pat, kau tidak berniat mencari kekasih? Aku lihat kau ini tidak pernah mau dekat dengan lelaki. Kau masih normal,kan?" "Huaaa! Kau ini benar-benar ya, kau mau tangan kanan atau tangan kiriku yang meninjumu? Aku laporkan pada ibuku nanti!" "Hei ... Jangan bawa- bawa ibumu, dong. Dasar pengadu!" "Bisa gila aku punya sepupu tidak waras seperti dirimu. Dengar baik-baik, David, aku belum mempunyai kekasih karena aku ingin mendapatkan yang baik di antara yang terbaik. Jadi, tunggu saja tanggal mainnya nanti," jawab Patricia. Gadis itu memang belum memikirkan untuk memiliki kekasih. Dia masih betah melajang, karena ia memang ingin menemukan pria yang terbaik dalam hidupnya. Sementara itu, di apartemen, Amelia tengah membereskan pakaiannya. Perlahan ia membelai lemari pakaian itu. Kamarnya tidak berubah sedikitpun, Amelia membuka jendela kamarnya. Satu yang ia sukai dari unit apartemennya ini adalah balkon kamarnya. Dulu, hampir setiap malam Amelia duduk di balkon sambil menikmati udara di malam hari dan menghitung bintang. Amelia menoleh ke sudut kamar, ia tertegun saat melihat gitar miliknya. David ternyata tidak membuangnya, bahkan gitar itu tidak berdebu sama sekali. Amelia ingat, dulu ia membeli gitar itu dari gaji pertamanya. Tapi, ketika ia meninggalkan apartemen ini, dia memang sengaja meninggalkannya. Perlahan Amelia meraihnya, lalu memainkannya dengan penuh perasaan. 'Listen to the song here in my heart A melody I start but can't complete Listen to the sound from deep within It's only beginning to find release Oh, the time has come for my dreams to be heard They will not be pushed aside and turned Into your own all 'cause you won't Listen Listen, I am alone at a crossroads I'm not at home in my own home And I've tried and tried to say what's on mind You should have known' "Suaranya Mbak Jasmine memang merdu ... Maaf, aku nggak ketuk pintu. Habis pintunya juga terbuka sih." Amelia menoleh, Nina tampak sedang berdiri di pintu kamarnya sambil membawa kotak make up miliknya. "Nggak apa-apa, Nin. Itu kotak make up milikku?" "Iya, Mbak. Oya, Mbak Tasya tadi menelepon, katanya dia mengirimkan pesan. Tapi, Mbak belum membalasnya." Amelia menepuk dahinya, ia lupa jika ia akan melakukan video call jika sudah di apartemen. "Terima kasih, ya Nin." "Sama-sama , Mbak."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN