bc

JADE 2

book_age18+
131
IKUTI
1.3K
BACA
killer
drama
bxg
mystery
expert
detective
city
first love
crime
like
intro-logo
Uraian

WARNING 18+

KHUSUS DEWASA

Ethan Wolf harus kembali berurusan dengan Jade, pembunuh bayaran yang telah dianggap tewas empat tahun yang lalu, setelah putra mereka diculik oleh komplotan penjual senjata ilegal.

Berhasilkah Ethan menyelamatkan putranya dari tangan Rodrigo Sanchez, si tersangka utama dalam kasus penjualan senjata ilegal yang sedang diselidikinya?

Cover by Me

Pict

https://www.pexels.com/photo/green-and-brown-peep-toe-heeled-sandals-3782786

Font by PicsArt

chap-preview
Pratinjau gratis
Bab 1
Empat tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi Ethan Wolf untuk terus hidup dalam bayang-bayang rasa bersalah atas tewasnya sahabat satu-satunya. Amanda Loraine mungkin saja masih hidup kalau ia tidak meminta hal yang bagi sebagian besar orang tidak masuk akal. Membuktikan cinta dengan bunuh diri. Sungguh, ia tidak percaya kalau Amanda akan melakukannya, ia hanya bercanda waktu itu. Seandainya saja tahu, tentu ia tidak akan melakukannya. Ethan merasa dirinya seperti seorang pembunuh. Ia gagal menyelesaikan kasus penting yang diberikan padanya. Ia tidak dapat menangkap pembunuh Simon Loraine. Kegagalan pertama yang dialaminya selama empat tahun berkarir di kepolisian. Ia yang selalu berhasil mengungkap sebuah kasus dan menangkap pelaku harus takluk dan menyerah di tangan seorang pembunuh bayaran yang bernama Jade. Ia bahkan harus kehilangan dua orang perempuan yang sangat berharga baginya. Sahabat dan perempuan yang dicintainya. Ethan tertawa mengejek pada dirinya sendiri. "Selamat tinggal, Meli. Sampai bertemu minggu depan." Ethan selalu mengucapkan kata-kata yang sama sebagai salam perpisahan saat ia akan meninggalkan komplek pemakaman umum itu. Baginya tidak penting juga sebuah salam perpisahan, apalagi ia akan kembali lagi ke sini setiap minggunya. Ethan berbalik setelah mengucapkan kata-kata itu, melangkah menjauhi makan Melodi yang berisikan dengan makam Amanda. Entah mereka sengaja memakamkan keduanya berdekatan seperti itu atau memang mereka tahu kalau keduanya tewas di malam yang sama di waktu yang berbeda. Ia tidak pernah menanyakan tentang semua itu lagi. Walker Cooper, Ayah angkatnya, juga tidak pernah menyinggung masalah ini. Pria berkulit hitam itu sepertinya tak ingin melihatnya semakin terpuruk. Beberapa bulan setelah kematian Melodi, Ethan sempat terpuruk. Semua pekerjaannya berantakan. Ia bahkan berniat untuk mengundurkan diri dari kepolisian dan berniat pergi untuk pergi dari New York, menetap entah di mana yang penting menjauh dari kota ini. Walker dan Belinda Cooper sampai harus mengawasinya dua puluh empat jam. Mereka meminta Ethan untuk tinggal bersama mereka seperti dulu, mencegah Ethan pergi diam-diam. Beruntungnya Ethan tidak membantah. Ia menurut saja apa yang diminta untuk dilakukannya. Selama beberapa hari pertama Ethan seperti robot. Ethan bangkit kembali saat kepolisian mendapatkan kasus penting lainnya. Kasus penyelundupan mobil itu sebenarnya tidak diberikan padanya, tetapi dirinya menyelidiki sendiri dan berhasil mengungkap sindikat pelaku penyelundupan. Ethan diberikan penghargaan sebagai detektif terbaik tahun itu dan dinaikkan pangkat menjadi letnan. Tidak buruk bagi seseorang yang baru bangkit dari keterpurukan. Ethan kembali bertugas seperti biasa setelah itu. Namun, ia tetap mengunjungi makam Melodi setiap minggunya. Hal itu sudah menjadi kebiasaan rutin. Ethan memasuki mobil, melajukannya dengan kecepatan sedang. Ia tidak sedang tergesa, makan malam masih beberapa jam lagi, ia tidak akan terlambat meski mengemudi lebih lambat dari ini. Tidak akan ada yang marah juga kalau ia terlambat. Alana mengatakan tidak akan pulang ke rumah akhir pekan ini. Gadis itu ada acara di kampusnya. Hanya Zero dan kedua orang tua angkatnya saja yang akan menunggunya, dan mereka tidak akan mengomelinya seperti Alana yang selalu menyuruhnya untuk mencari pasangan. Alana selalu berkata kalau dirinya sudah tua. Ia sudah tiga puluh dua tahun dan belum memiliki seorang pun pasangan. Bukan karena tidak laku, tetapi karena ia memang tidak menginginkannya. Jujur saja, ia masih bisa melupakan Melodi. Empat tahun ini tidurnya selalu dihiasi dengan mimpi pertemuan mereka. Saat awal perjumpaan sampai saat terakhir mereka beradu senjata. Mungkin ia sudah bangkit dan kembali bekerja seperti biasa, terapi hatinya masih belum mau melepaskan bayangan Melodi. Jatuh cinta pertama kali dan harus mengalami tragedi, bukan sesuatu yang mudah dilupakan. Empat tahun masih belum cukup. Mobil Ethan memasuki halaman sebuah rumah di sebuah komplek perumahan yang terletak di pusat kota New York. Ethan memarkirkan mobilnya di sebelah mobil berwarna hitam, mobil Ayah angkatnya. Ia segera keluar dari mobil dan mengetuk pintu rumah yang tertutup. Beberapa menit Ethan berdiri di depan pintu, menunggu pintu untuk dibukakan, suara langkah tergesa terdengar dari dalam. Pintu terbuka sedetik kemudian, menampilkan wajah seorang remaja laki-laki dalam balutan kaus dan kemeja. Zero yang membukakannya pintu. Pemuda itu tersenyum lebar, menghambur memeluknya. "Kukira kau tidak akan datang seperti Alana." Zero menutup pintu begitu Ethan sudah berada di dalam rumah "Alana memberi kabar kalau dia tidak akan datang malam ini, Ethan," lapornya "Aku sudah tahu," sahut Ethan memeluk bahu Zero. Anak muda ini sudah sebatas bahunya saja. Dulu tinggi Zero hanya sebatas d**a, sekarang sudah sampai bahu bagian bawahnya. "Alana memberitahuku.' Zero mengangguk. Ia pikir Alana tidak memberitahu Ethan, hanya menelepon ke rumah saja. Memang selalu Ethan yang mengantar dan menjemput Alana dari kampusnya ke rumah setiap akhir pekan. Kemudian Ayah mereka yang mengantarkannya kembali ke kampus. Selalu seperti itu. Ayah tidak memberikan mobil pada Alana. Menurut Ayah, Alana masih terlalu muda untuk menyetir. Alana dan dirinya baru boleh memiliki mobil setelah mereka bekerja dan berpenghasilan sendiri. Seperti Ethan. "Selamat malam untuk perempuan paling cantik di seluruh dunia." Ethan memang selalu bersikap dingin dan datar. Ia juga selalu menunjukkan sisi terkuat dalam dirinya saat sedang menangkap atau menginterogasi para tersangka pelaku kriminal. Namun, semua itu tidak berlaku bila ia berada di tengah-tengah keluarga. Ethan akan menjadi anak yang manis seperti anak-anak pada umumnya. Ia juga tidak segan memuji kedua orang tua angkatnya. Seperti yang tadi ia lakukan. "Kau memasak apa untuk makan malam, Ibu?" tanya Ethan sambil duduk menunggu di meja makan. Ia duduk di samping Zero yang mengambil sebiji apel dan menggigit buah itu. "Aku pikir aku akan terlambat tadi karena di jalan agak sedikit macet. Syukurlah makan malam belum dimulai." Ethan tidak berbohong. Keadaan jalanan Kota New York yang pada dasarnya memang tidak pernah sepi dari berbagai macam jenis kendaraan, tadi sedikit lebih macet dari biasanya. Mungkin karena sekarang adalah akhir pekan, banyak orang yang ingin menghabiskannya di luar rumah. Oleh karena itu jalanan menjadi macet, padahal ia sudah mengambil salah satu jalan pintas. "Apa kau sudah lapar?" tanya Belinda tanpa menatap Ethan. Dia terus mengaduk masakannya agar tidak gosong. "Sebentar lagi matang." "Dengan senang hati aku akan menunggu," sahut Ethan sambil tangannya mengambil sebiji buah apel seperti yang dimakan Zero. Pemuda itu tidak bersuara karena mulutnya sedang penuh penuh. Ethan mengusap rambut hitam Zero gemas. "Bagaimana harimu?" Pertanyaan itu bukan datang dari Belinda, tetapi dari Walker Cooper yang sedang berjalan memasuki dapur. "Kutebak, kau baru datang dari komplek pemakaman." Ethan mengangguk. Ia merasa tidak perlu berbohong pada keluarganya. Lagipula, mengunjungi komplek pemakaman umum sudah menjadi kebiasaannya dalam empat tahun terakhir. Walker Cooper menarik kursi yang berada di samping Ethan, letaknya di ujung meja. Sebagai kepala keluarga, itu memang merupakan tempat duduknya. "Lalu, bagaimana dengan pekerjaanmu?" Walker bertanya sambil duduk. "Apakah ada perkembangan dengan kasus penyelundupan senjata yang sedang kau tangani?" Ethan mengembuskan napas kasar melalui mulut. Ia ditugaskan oleh kepala kepolisian Kota New York yang tak lain adalah pria yang duduk di sebelahnya ini untuk menangani kasus penjualan senjata ilegal yang tengah marak beberapa bulan terakhir ini. Baru satu minggu Ethan menangani kasus besar dan penting itu, dan ia belum menemukan sesuatu pergerakan yang berarti. Para penjual sepetinya tahu kalau mereka sedang diawasi. "Tidak ada kemajuan yang berarti, Ayah," jawab Ethan sambil mengusap wajah. "Gerak para penjual sepertinya lebih terorganisir sekarang. Kurasa mereka tahu kalau sedang diincar dan diawasi." Walker mengangguk, ia percaya pada insting tajam Ethan. Ia juga merasa seperti itu. Entah ada yang memberitahu atau memang sadar kalau mereka sedang diawasi, seminggu terakhir nyaris tidak ada pergerakan dari para penjual itu. "Bagaimana dengan calon tersangka utamamu?" Belinda berdehem keras mendengar pertanyaan suaminya. Dia sedikit tidak setuju kalau masalah pekerjaan dibicarakan di meja makan. Makan malam mereka bukanlah sebuah acara perjamuan bisnis dan semacamnya, melainkan makan malam keluarga. Jadi, tidak ada yang boleh berbicara saat berada di meja makan kecuali membicarakan masalah keluarga. Itu pun bila terpaksa. Dia juga akan melarang kalau pembicaraan keluarga merujuk pada suatu hal yang serius. Walker meringis menatap Ethan yang juga sedang menatapnya. Tak ada senyum atau apa pun di wajah tampan pria berusia tiga puluh dua tahun itu, Ethan hanya mengangkat bahu dengan tatapan seolah tak peduli. Walker mendengkus kesal. Dari ketiga anaknya tidak ada satu pun yang memihak padanya,.mereka selalu memihak kepada ibu mereka. "Ini meja makanku, tidak ada yang boleh membicarakan masalah pekerjaan di sini!" Belinda menatap kedua pria di depannya dengan tatapan mengancam. Setelah meletakkan sajian makan malam mereka dia kembali ke belakang kompor, mengambil hidangan yang kedua. Ethan berdiri, membantu Belinda mengambil piring dan peralatan makan lainnya sebanyak jumlah mereka. Menatanya di depan kursi mereka masing-masing. Tak ada suara yang terdengar saat makan malam itu dimulai, hanya bunyi garpu dan pisau yang berbenturan dengan piring saja yang menemani makan malam mereka. Ethan mengikuti Walker menuju ruang keluarga begitu makan malam yang penuh kesunyian itu selesai. Mereka akan membahas pekerjaan. Ada beberapa hal yang ingin ditanyakannya kepada ayahnya mengenai tersangka mereka. Well, sebenarnya ia belum menetapkan Rodrigo Sanchez sebagai tersangka, masih belum ada bukti yang kuat untuk menjerat pria itu dalam seminggu penyelidikannya. Namun, Ethan yakin suatu saat Rodrigo akan lengah, dan di saat itulah ia akan bergerak cepat menjebloskan pria berkebangsaan Spanyol itu ke balik jeruji besi. "Apa kau mengenal Tuan Rodrigo Sanchez, Ayah?" tanya Ethan setelah menyesap bir kalengnya. Ia duduk di depan Walker yang lebih memilih cokelat hangat daripada bir seperti Ethan. Walker berdehem, meletakkan cangkir kopinya di atas meja sebelum menjawab. Siapa pun orangnya pastilah mengenal pria dengan nama yang disebutkan Ethan. Rodrigo Sanchez adalah salah seorang seorang pengusaha ternama yang berasal dari Spanyol. Pria itu sudah beberapa dicurigai mempunyai bisnis hitam sejak kedatangannya ke negara ini beberapa tahun yang lalu. Hanya saja sampai sekarang tak pernah ada bukti yang bisa menjeratnya. Pria itu terlalu licin. "Aku mengenalnya," jawab Walker mengangguk. "Pria itu sudah menjadi target sejak lama, tapi tak pernah ada seorang pun yang bisa membuktikan keterlibatannya akan semua bisnis haram di negara ini. Apakah kau sedang terlibat suatu urusan dengannya?" tanya Walker dengan alis sedikit berkerut. Ethan mengembuskan napas, menyandarkan punggung ke belakang kemudian mengangguk. "Aku sedang menyelidikinya. Kasus penyelundupan senjata yang kau berikan padaku merujuk pada salah satu klub malam miliknya. Aku curiga akan keterlibatan Rodrigo Sanchez." "Jadi, dia lagi, ya?" Ethan mengangguk lagi. Ia paham maksud perkataan ayahnya. Rodrigo Sanchez sudah tercatat sebagai salah satu orang yang paling dicurigai. Namanya terkenal dijajaran seluruh kepolisian Kota New York. Namun, tak pernah seorang pun yang dapat membuktikan kejahatan pria itu. "Rodrigo Sanchez masih menjadi favorit kita semua." Ethan tertawa kecil. "Sejak aku masih menjadi detektif sampai sekarang namanya masih berada di peringkat teratas sebagai orang yang paling dicurigai." "Iya." Walker mengangguk, membenarkan perkataan Ethan. "Dan, kau mencurigai ia kembali terlibat dalam kasusmu kali ini?" tanyanya. Sekali lagi Ethan mengangguk. "Iya, Ayah. Transaksi itu disinyalir dilakukan di klub malam milik Rodrigo, tidak mungkin ia tidak terlibat, bukan?" Walker mengembuskan napas. Ethan benar, ia tidak pernah meragukan insting petugas polisi terbaik beberapa tahun ini. Ia juga meyakini kalau Rodrigo Sanchez pasti terlibat. Namun, sulitnya mendapatkan barang bukti membuat Walker kembali ragu kalau mereka bisa menyeretnya ke balik jeruji kali ini. "Aku akan berusaha semampuku, Ayah," ucap Ethan melihat keraguan di wajah tua Walker yang masih terlihat tampan diusianya yang tidak lagi muda. "Aku yakin akan dapat memenjarakan Rodrigo. Kali ini aku harus berhasil, tidak boleh gagal seperti empat tahun yang lalu." Walker menatap Ethan sekilas mendengar perkataannya. Empat tahun yang lalu, pastilah kasus pembunuhan Simon Loraine yang tak bisa dipecahkan Ethan. Satu-satunya menjadi kasus gagal dalam karir polisinya. Namun, Walker tahu, Ethan menyembunyikan sesuatu. Ia yakin, Ethan pasti sudah mengetahui semua tentang pembunuhan itu dan pelaku. Hanya saja sampai sekarang ia tutup mulut, tetap bungkam meski sudah dipancing. "Wajar saja kau gagal dalam kasus pembunuhan pertamamu," ucap Walker memberi semangat. "Itu bukan keahlianmu. Bidangmu adalah yang kau kerjakan sekarang." Ethan lagi-lagi mengangguk. Meskipun begitu, ia tetap merasa tidak menjadi seseorang yang profesional. Gagal dalam menyelesaikan sebuah kasus sangat bukanlah dirinya. Ia terbiasa berhasil, dan itu sedikit mengganggu kinerjanya. Ditambah kenyataan tentang cinta pertamanya yang kandas, sehingga ia semakin terpuruk saja. Sungguh, ia tidak akan mau lagi menerima kasus pembunuhan. "Kuharap kau tidak memberikan kasus pembunuhan lagi padaku," ucap Ethan, kembali menyesap bir kalengnya yang sudah tidak lagi sedingin saat pertama.kali dibuka. Suhu di dalam kaleng berkurang memanas seiring titik-titik air yang membasahi bagian luar kaleng. "Aku tidak mau terlibat hal buruk lagi." Walker tertawa pelan. "Tidak akan lagi. Percayalah!" ucapnya meyakinkan. "Sudah cukup sekali saja aku tidur di kamar tamu, aku tidak akan mau melakukannya lagi." Keterpurukan Ethan empat tahun yang lalu membuat Belinda marah besar. Perempuan itu menghukum suaminya dengan tidur di kamar tamu selama putra mereka belum sembuh, dan itu cukup menjadi pelajaran untuk Walker.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

True Lies

read
26.2K
bc

Deviation CEO

read
43.2K
bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
633.7K
bc

The Don's Father

read
12.9K
bc

Pendekar Benua Timur

read
9.5K
bc

D'luna Mafia

read
6.7K
bc

DI ATAS RANJANG MAFIA

read
7.9K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook