Farell memanggil Dira untuk pertama kalinya setelah mereka berpisah dari Aruba saat hari liburan beberapa waktu lalu. Pria itu terlihat sedikit pusing setelah membaca profil yang dia dapatkan dari informan khusus yang Dira sempat gunakan untuk menguntit Reca. Dan dari pengakuannya pria yang dia kenal sangat tidak peka pada apapun itu justu dengan gilanya malah tinggal dirumah istrinya sendiri. Sejurus kemudian matanya terbelalak, pada satu fakta yang berhasil dia temukan dari banyaknya fakta yang dibeberkan di berkas itu.
“Hei, Dira lihat ini! aku tidak percaya,” perintah Farell menunjuk deretan kalimat di salah satu kertas yang tinggal beberapa lembar lagi menunggu untuk dibaca. Dira hanya melirik sebentar lalu kembali acuh tak acuh.
“Dia kehilangan virginnya di salah satu club malam dan identitas pria itu masih belum diketahui. Si Adelia itu sebenarnya punya masalah hidup apa sih?” sembur Farell menyuarakan keras-keras apa yang dia temukan dari kertas yang dia baca. Untung saja mereka berada di sebuah ruangan privat sehingga tidak ada seseorang yang bisa mencuri dengar apa yang sedang mereka berdua bicarakan didalam.
“Sudahlah itu hanya masa lalunya,” ujar Dira. Tapi Farell mendengus tidak suka karenanya. Mereka berdua tahu bahwa kondisi dirinya dan Dira berbeda. Jika Farell mendapatkan Adelia dalam kondisi sudah tidak tersegel maka lain ceritanya dengan Dira yang berhasil mendapatkan virginnya Reca. Maka kasarnya dia adalah pria pertama bagi Reca dan Farell bukan pria pertama yang melakukannya dengan Adelia. Fakta yang membuatnya cukup kesal pula.
Tapi kemudian Farell tiba-tiba memasang wajahnya penuh cengiran lebar. “Ngomong-ngomong apa Reca cukup perhatian dibandingkan dengan Nancy?” topik ini sensitive, tapi Farell ingin membalas hal yang sama menyakitkannya dengan apa yang dikatakan oleh Dira beberapa saat yang lalu.
Dira menoleh. Wajahnya berubah, tidak terlalu senang sepertinya. Dira memutar ulang ingatannya saat menginjakan kaki dirumah orangtua gadis itu. Dia parah. Perempuan paling cuek yang dia temui dilingkungan hidupnya. Sebab Dira memang tidak pernah dekat dengan perempuan lain selain Nancy. Tapi bila dibandingkan Reca jelas lebih bebal daripada Nancy. Tapi meski begitu dia punya sisi yang tidak Nancy miliki. Yakni kemampuannya menilai situasi secara realistis dan logis. Sejauh ini dia tidak terlalu kesulitan untuk memahami Reca. Meski usianya sepantaran dengannya, tapi Reca jelas lebih dewasa daripada Nancy yang lebih tua tiga tahun dari mereka berdua.
Meski dia tidak menampik perempuan itu kerap kelewat tegas dengan tugas mandiri masing-masing. Dia seperti seorang instruktur yang mendisiplinkan dirinya. Termasuk pagi ini. tugas membersihkan kamar, dan beberapa pekerjaan rumah tangga terpaksa dia lakoni. Dia seperti seorang bos. Tidak ada orangtuanya dirumah sehingga perempuan itu berkuasa disana.
Dira menggelengkan kepalanya. Sepertinya urusan pribadi seperti itu tidak perlu dia ungkapkan segamblang mungkin pada sahabatnya.
“Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu dariku,” selidik Farell lagi terlampau terlalu penasaran.
“Dia perempuan paling kompleks. Tapi dia tidak seburuk itu,” ujar Dira singkat. Yang diberi penjelasan Cuma bisa mengerutkan bibirnya tidak puas.
“Tapi sepertinya Reca perlu diapresiasi. Dia menggerakan manusia sepertimu sampai datang kerumahnya secara sukarela dan mengaku sebagai suami kerumah orangtuanya,” tawa Farell meledak mengingat kronologis Dira yang menyampaikan padanya bahwa dia sudah tidak tinggal dirumah mewahnya lagi. Melainkan pindah kerumah orangtua Reca.
“Berisik bodoh!” sahut Dira. Dia menyesal menceritakan detail soal itu pada Farell. Dira memejamkan matanya, berbeda dengan dirinya justru Farell malah mendapati istrinya menyerahkan diri kekeluarganya. Seperti pasangan pengantin pada umumnya. Apa gara-gara sifat Ruca yang kelewat dingin ? jangankan membayangkan Reca mengetuk pintu dan mengakui dirinya sendiri sebagai istri. Yang ada dikepala Dira justru pose menantang gadis itu didepan ibu tirinya.
Tapi untuk apa pula disesali. Dira merasa langkahnya sudah benar.
Tok Tok.
Ketukan pada ruangan privat yang dipesan oleh Dira diketuk dari luar. Mereka berdua saling berpandangan. Seingatnya mereka sudah memesan makanan dan berpesan pada waitress untuk tidak menganggu. Lantas kenapa pula diluar sana ada suara ketukan?
“Buka pintunya Farell,” suruh Dira. Farell mendecak tapi dia tidak menolak dan malah mendekat kearah pintu.
Begitu membuka pintu Farell membeku. Diluar sana dua orang perempuan menyambut dirinya.
“Hei suamiku…” ujaran melengking itu cukup memberikan Dira clue siapa tamu yang mengganggu pertemuan pribadi antara dia dengan Farell dan benar saja. didepan sana tubuh Farell ditubruk dan dipeluk sesuka hati.
“Jangan panggil aku dengan sebutan itu, Adelia!” seru Farell sambil berusaha melepas pelukan istrinya. Sementara tamu yang satu lagi masuk dengan santai. Ia menatap Dira dengan penuh teka teki. Yang berbeda perempuan itu mengenakan masker hitam yang menutupi separuh dari wajahnya. Misterius. Tipikal Reca sekali.
“Aku tidak tahu bahwa kau tertarik kedalam pembicaran kami,” ujar Dira. Reca hanya menganggukan kepala tidak berkomentar apa-apa. Namun ekspresi yang dapat Dira tangkap sekarang mendeskripsikan betapa malasnya dia ikut campur.
***
Selepas kepergian Dira dari rumah, dia berpakaian cukup rapi dan menerima telepon dari seseorang. Aku tidak bermaksud menguping tapi aku mendengar isi pembicarannya cukup jelas. Meskipun aku tidak tahu apa yang dikatakan orang disebrang telepon. Sampai kemudian Dira berkata “Ayo bertemu,” dan dia pergi terburu-buru detik berikutnya.
Aku sempat berasumsi bahwa mungkin pacarnya ingin bertemu. Tapi itu bukan alasan bagiku untuk menganggunya. Itu urusan pribadinya dan aku tidak memiliki hak untuk membatasi ruang geraknya. Sampai kemudian aku mendapatkan telepon dari Adelia. Sahabatku itu merengek lagi. Dia berkata bahwa suaminya pergi dari rumah tanpa bilang-bilang. Dia bilang ingin membuntutinya tapi tidak ingin sendirian. Aku tentu saja langsung menolak ide itu. sebab aku tidak tertarik pada hal-hal yang akan merepotkan diriku sendiri.
Kupikir dia akan menyerah. Ternyata tidak.
Satu jam setelahnya aku mendapati Adelia berdiri didepan pintu rumah orangtuaku. Tanpa ba bi bu gadis itu langsung membawaku pergi. Untung saja aku memakai pakaian yang cukup layak pagi ini. bila tidak kurasa aku akan mempermalukan diriku sendiri.
“Memangnya kau tahu suamimu pergi kemana?” ujarku ketika gadis itu dengan gilanya mengemudikan mobil pribadinya dengan kecepatan tinggi.
“Aku tahu. Karena aku sudah memasang pelacak di ponselnya,” ujar Adelia enteng. Tapi ucapan enteng itu malah membuatku tersedak napasku sendiri.
“Pelacak?” tanyaku sekali lagi untuk memastikan. Dia menganggukan kepalanya cepat lalu bersenandung sepanjang jalan. Aku merasa Adelia sudah bukan lagi dirinya yang normal. Apa yang dia lakukan pada Farell benar-benar sedikit menyeramkan. Apa dia terobsesi?
“Bukannya kau melakukan hal yang sama?” tanya nya lagi. Kami berhenti di lampu merah. Aku mendesah pasrah. Dia pikir aku serupa dirinya?
“Tidak. aku tidak melakukan hal segilamu,”
“Loh diakan suamimu. Kalau dia selingkuh bagaimana?”
“Aku tidak peduli dia selingkuh atau tidak.” Adelia mendecak. Dia menarik pedal gasnya lagi membuatku sedikit terhuyung kedepan gara-gara cara berkendara Adelia yang seperti pembalap liar sekarang.
“Kau memang selalu begitu. Aku lupa kalau kau berbeda denganku soal urusan pria,” keluhnya. Lalu kami kemudian terhenti disebuah kedai. Tubuhku membeku.
“Kenapa kau membawaku kemari?”
“Suamiku ada disini.”
“Kenapa tidak ditempat lain saja sih?” ujarku sedikit sensi. Tentu saja. kedai ini adalah tempat kerja lamaku. Tempat yang memungkinkan sekali bagiku untuk bertemu dengan Daiki. Sampai matipun aku tidak akan mau keluar dari mobil. Apalagi harus menginjakan kakiku kedalam.
“Ayo keluar!” ujar Adelia. Aku tentu tidak melakukan apa maunya dan tetap bertahan dimobilnya.
“Kau sudah gila? Aku tidak mau masuk kesana!”
“Kenapa kau takut sekali? Memangnya kau pikir Daiki akan bekerja setiap waktu?”
“Aku hanya meminimalisir pertemuan diantara kami.”
“Ck!” kupikir Adelia menyerah untuk menyeretku pergi nyatanya dia hanya meninggalkanku sesaat untuk menggapai bagian kap depan mobilnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Sebuah masker hitam.
“Kenakan itu dan kita masuk kedalam!” paksanya.
“Tidak!”
“Keras kepala!” ujarnya frustasi. Beberapa lama dia diam. Lalu kemudian dia menatapku dengan serius.
“Kita taruhan,” imbuhnya setelah terdapat jeda yang panjang diantara kami. Aku tidak memotong ujarannya. Kubiarkan dia kali ini.
“Apa taruhanya?” ujarku sedikit tertarik.
“Kita masuk kedalam. Kalau Daiki ada didalam kau boleh langsung kabur tapi aku akan membayarmu. Tapi kalau Daiki tidak ada didalam dan kau mau menemaniku menemui Farell. Aku akan membayarmu sepuluh kali lipat,” tawarnya. Kilatan mata Adelia benar-benar menggebu dan serius. Dia mengulurkan tangannya untuk kugapai.
Aku terdiam menimbang. Semua kemungkinan itu cukup menguntungkan. Kabur dapat uang. Mengikutinya pun malah akan dapat uang bahkan lebih banyak.
“Oke Deal,” aku menjabat tangannya. Dan pertaruhan ini dimulai.
Aku mengenakan masker yang Adelia berikan. Lalu mengenakan tudung dari sweater oversize yang aku kenakan. Tentu saja ini adalah upaya yang aku lakukan untuk mengurangi pertemuan dengan orang-orang yang kukenal juga sebagai usahaku untuk mendapatkan uang dengan cara yang mudah.
Aku mengikuti Adelia dengan waswas dibelakangnya. Sementara dia berjalan dengan penuh percaya diri menuju lantai dua dimana tempat para VIP berada. Tempat itu adalah sebuah tempat yang biasanya disewakan untuk acara pertemuan penting. Dan tidak menutup kemungkinan pula digunakan sebagai tempat prostitusi. Hal seperti itu sudah tidak aneh.
Namun yang membuatku sekarang sedikit lega dan nyaman adalah aku tidak menemukan adanya orang-orang yang aku kenal di kedai ini. semua pegawainya orang baru, jadi mereka tidak mungkin mengenalku. Aku juga tidak melihat ada manager. Kurasa uang sepuluh kali lipat bisa masuk kedalam sakuku.
Keputusan yang hebat memang. Adelia memang tidak pernah berbakat kalau soal taruhan. Apapun jenisnya dia selalu kalah. Dan aku selalu meraup keuntungan darinya.
Sampai kemudian langkah Adelia terhenti disebuah pintu yang tertutup. Perempuan itu dengan optimisme yang menggebu langsung mengetuk pintu. Sementara kau menempatakan diriku dibelakang tubuhnya. Menutupi kemungkinan diriku terseret pada hal-hal memalukan yang mungkin terjadi kedepannya.
Tapi begitu pintu dibuka. Mataku kontan terbelalak. Adelia benar-benar sudah gila. Dia terlalu obsesi sampai ucapan yang kupikir bercanda ternyata benar-benar dia lakukan. Perempuan itu bahkan tanpa malu mendorong suaminya itu masuk lalu memeluknya padahal Farell jelas-jelas menolaknya. Dan dalam adegan itu aku sempat melirik kedalam dan menemukan rupanya Dira yang berada didalam sana. Maka aku kemudian memutuskan untuk masuk kedalam. Pria itu menatapku sedikit tak percaya tapi kemudian dia berkomentar atas kedatanganku. Pria itu menilai bahwa aku tertarik pada urusannya. Untuk mempercepat dialog aku hanya menganggukan kepala alih-alih menjawab ujarannya dengan suara.
“Apa yang kalian bicarakan tanpa sepengetahuan kami?” kali ini aku membuka topik pembicaraan sambil menurunkan masker yang aku kenakan dibawah dagu sambil memposisikan diriku untuk duduk pada kursi yang tersedia. Pasangan lawak yang berisikan sahabatku dan Farell juga sudah memposisikan dirinya duduk dengan Adelia yang berusaha menempel dengan suaminya.
“Pembicaraan antar pria,” ujar Farell. Lalu dia melirik kearah istrinya dengan tatapan horror. “Justru yang jadi pertanyaan kenapa bisa kalian tahu kami ada disini,”
“Insting wanita,” balas Adelia singkat. Membuatku bungkam soal fakta mengenai dirinya yang memasang alat pelacak pada Farell suaminya. sepertinya dia tidak ingin aku bicara soal itu. maka kubiarkan dia bermain semaunya.
“Aku memutuskan utnuk pindah dari kampus lamaku ke kampusmu,” ujar Dira enteng. Aku menatapnya dengan pandangan tak percaya. Pindah kampus katanya? Jika seperti itu bukannya malah akan membuat masalah diantara kami semakin tidak terselesaikan?
“Kau gila!”
“Itu agar aku bisa mengawasimu dari dekat, dan kau bisa melihatku juga,”
“Aku tidak perlu melihatmu,” pungkasku tegas. Apa pria dihadapanku ini memiliki kecenderungan menjadi obsesif dan posesif? Aku benci pria seperti itu. Tapi pria itu tiba-tiba saja memegang tanganku. Menambah keterkejutanku.
“Aku juga melakukan hal yang sama dengan Dira. Aku akan pindah ke kampusmu Farell,” seru Adelia riang. Sementara Farell hanya bisa begidik.
“Kenapa harus begitu?”
“Ibumu yang bilang bahwa aku perlu mengawasimu. Dan aku juga khawatir membiarkanmu sendirian, sebab kau itu tipikal pria rawan selingkuh,” ujarnya.
Belum habis soal keterkejutanku. Tiba-tiba pintu dibuka paksa. Seorang pria berdiri disana. Sialnya ruangan ini tidak memiliki pintu cadangan sehingga aku tidak bisa kabur saat sadar siapa yang ada didepan pintu.
Aku mendapati kemana arah pandang pria itu menuju. Sebab terlalu jelas untuk dapat disembunyikan perihal tanganku yang ada digenggaman tangan Dira. Ekspresi wajah Daiki terlihat cukup terganggu dengan pemandangan yang dia saksikan untuk pertama kalinya dalam pertemuan kami. Sadar akan hal itu tentu saja aku mencoba melepaskan pegangan tanganku.
“Hai Reca, selama dua pekan ini aku mencarimu disemua tempat. Aku juga menunggu balasan pesan darimu atau paling tidak kau menjawab satu dari sekian banyaknya telepon dariku. Rupanya kau datang kemari bersama…” ucapan Daiki terputus. Pemuda itu menatap lurus kearah Dira.
“Namaku Dira kalau kau ingin tahu,”
“Aku tidak mengharapkan kau menyahuti ucapanku,” jawab Daiki sambil tersenyum dengan cara yang menyakitkan mata. Aku mendesah pasrah. Semuanya jadi makin tidak terkendali. Situasiku benar-benar buruk. Aku melirik kearah Adelia yang hanya menatapku dengan tatapan memohon ‘sorry’ katanya tanpa suara.
Aku melirik kesampingku saat Dira melakukan pergerakan. Kupikir ide bagus untuknya untuk segera keluar dari situasi ini dan mungkin dengan sangat terpaksa aku menyelesaikan urusanku dengan Daiki. Suka ataupun tidak. Tapi perkiraanku meleset. Aku lupa bahwa Dira bukan orang yang mudah ditebak seperti Daiki. Alhasil langkah pemuda itu berhenti didepan Daiki. Dira menunjukan senyumnya lalu menatap Daiki dengan dipenuhi oleh percikan menyusahkan yang kupikir tidak perlu untuk dilanjutkan.
“Namamu pasti Daiki kan? Aku sudah tahu itu,”
Ah Damn it! Dira baru saja menggali lubang kematian untukku.