"Sayang apa kamu bahagia?" Tian bertanya tiba-tiba pada istrinya yang kala itu sedang membuat nasi goreng kesukaannya untuk sarapan.
Lenny langsung tersenyum dengan lebar ke arah Tian yang kala itu masih menatapnya penuh harapan untuk mendengar jawaban yang seharusnya sudah ia ketahui, sebab ini bukan kali pertama Tian bertanya seperti itu pada Lenny. Lantas, jawaban Lenny pun masih sama seperti sebelumnya, ia mengangguk penuh keyakinan dengan teriakan tepat di telinga Tian yang kemudian membuat Tian panik bukan main.
"Iya, aku bahagia!!"
"Aku bahagia menjadi istri darimu!"
"Aku sangat bahagia!"
Lenny benar-benar berteriak sepenuh hati, sambil merangkul suaminya dengan manja. Sedangkan Tian saat itu justru ikut panik, teriakan dari Lenny membuat Tian ketakutan bila tetangga akan mendengar kehebohan tersebut. Tian langsung menghampiri Lenny dan memeluk Lenny dari belakang.
"Ssstt, sudah cukup, jangan teriak. Aku malu!" kata Tian seraya meletakkan ujung jarinya pada bibir istri tercintanya itu.
"Iiich, kan Abang yang tanya. Terus kenapa malah abang yang malu?" dengus Lenny yang saat ini justru merasa sedikit kesal dengan suaminya.
Ini adalah salah satu kebiasaan Tian yang terkadang iseng bertanya dan kemudian malu sendiri. Meski begitu, itu bukanlah perasaan kesal yang menganggu. Namun, lebih ke perasaan menggelitik yang menggemaskan. Sebagai petunjuk kasih sayang yang Tian yang mungkin juga kerap mencemaskan beragam hal tentang membahagiakan sang istri. Sama seperti Lenny yang juga terkadang mencemaskan hal yang sama.
Mengabaikan segalanya, Lenny langsung menyipitkan matanya, ia yang sangat mengenali suaminya itu seketika itu pula langsung mendelik dengan tajam. Lenny yang kini sudah berbalik arah dan lebih fokus menatap ke arah suaminya itu.
Kedua lengannya Lenny ia lingkarkan pada leher pria tercintanya itu, sambil mendekatkan wajahnya ia pun berbisik pada pria tersebut, "Aku tidak percaya kamu merasa malu. Palingan cuma takut di teriakin sama tetangga lagi, kan!"
Tidak heran hal tersebut terjadi, terkadang mereka yang terlalu romantis berduaan itu sering mendapatkan sindiran kecil. Tidak bisa dipungkiri jika kemesraan mereka yang masih berdua saja, masih sering menjadi sedikit candaan dari para tentangga, terlepas dari mereka yang belum memiliki buah hati.
Memang ada kalanya, saat dimana para tentangga menanyakan tentang kehadiran buah hati mereka. Namun, tanggapan Lenny dan juga Tian masih sama. Mereka menanggapi hal itu dengan menunjukkan kemesraan yang seakan untuk memperlihatkan jika mereka memang tidak ingin terburu-buru untuk memiliki keturunan.
"Berdua dulu kan seru, kami memang belum program hamil kok!"
Seperti itulah yang terjadi dalam rumah tangga mereka. Tapi, terlepas dari semua itu, Lenny cukup bahagia bersama dengan suaminya yang selalu ada di pihaknya dan tidak menekannya untuk segera memiliki keturunan.
Akan tetapi, kali ini apa yang Lenny bisikkan adalah hal yang benar, tampaknya Tian sedang tertangkap basah dan ia hanya tersenyum tipis yang membuat Lenny saat ini sedikit kesal bahwa Tian seolah tidak benar-benar senang dengan jawaban tegas darinya tadi.
Meskipun demikian semua itu, kala ini tidak lagi menjadi masalah lagi saat bibir lembut dan lembab milik Tian mendarat di kening Lenny.
"Aku cinta kamu, Sayang."
"Tidak peduli apapun, aku sangat mencintai kamu, istriku."
Bisikan yang tak terhitung jumlahnya itu selalu berhasil membuat Lenny kembali tersenyum lebar. Lalu, senyuman itu pun tiba-tiba pudar saat Tian mengatakan kalimat yang selanjutnya.
"Aku memang cinta sama kamu, tapi tolong, jangan bikin malu sama tetangga!" usil Tian pada istrinya itu lagi.
"Aaaaww!!"
Tian langsung mendapatkan cubitan di pinggangnya, akibat kekesalan yang Lenny rasakan atas tindakan iseng suaminya itu.
"Iiiiich... padahal Abang yang tanya. Kenapa malah nyalahin aku dan bilang malu segala!"
Lenny cemberut dengan pipinya yang bulat dan menggembung, bibirnya yang sedikit maju ke depan dan juga hidung yang mengambang.
"Sayang, sumpah deh, kalau kamu ngambek begitu. Itu sangat tidak baik!"
"Iiich... tidak baik apanya? Abang tuh yang mulai duluan!"
"Itu, looh!"
Tian tampak sengaja menggantung ucapannya sambil berjalan mundur, menjaga jarak dari istrinya tersebut.
"Maksudku itu tidak baik untuk hidungmu yang hanya sejumput itu!"
Kali ini benar-benar teriakan keras keluar dari bibir mungil Lenny. Ia kesal bukan main dengan candaan dari suaminya itu.
"Abang kira hidungku ini garam apa? Sejumput!?"
Tian malah tertawa sangat lebar dengan candaannya yang ternyata masih belum berakhir. Membuat Lenny semakin murka dan mengejar suaminya yang saat itu masih menggodanya.
"Udah hidung pas-pasan, cuma sejumput, kembang pula. Aku takut sama lubang hidungnya!"
Kekesalan dari Lenny justru membuat Tian sedikit merasa bahagia. Ia seolah telah sukses untuk menggoda istrinya tersebut. Lalu, di saat Lenny semakin cemberut dengan sigap Tian langsung mendekap istrinya tersebut.
"Maafkan aku!" ungkap Tian seraya mencubit kecil hidung Lenny.
"Sayang, tolong hidungku jangan dijumput!" kata Lenny spontan yang langsung di sambut gelak tawa lagi dari Tian.
Lenny selalu terlihat cantik di mata suaminya itu. Pertama kali. melihat sosok Lenny saja, Tian langsung tidak bisa melupakan wajah cantik dan manis tersebut. Paras yang selalu terngiang setiap kali Tian menutup matanya.
Wajah oval dengan pipinya yang bulat seolah ia terlihat begitu empuk saat di sentuh. Rambutnya yang berwarna kecoklatan itu selalu bersinar kapan pun bila ada sinar yang memantul pada belaian rambut kecoklatannya itu. Setiap kali pandangan mata itu mendelik terlihat dengan jelas bulu mata lentik yang halus dan alis tipis dengan matanya yang sedikit sipit, membuatnya setiap kali tersenyum maka mata itu bak bulan sabit yang bersinar indah.
Akan tetapi, meski semua itu sangat jelas memesona, untuk urusan hidung Lenny memang hanya memiliki hidung yang secukupnya saja. Hidung secukupnya yang membuat Tian terkadang merasa gemas dan selalu menjadikannya sebuah alasan untuk menggoda istrinya tersebut.
"Asal kamu tahu saja, yang paling mempesona dari wajahmu itu, tentu saja hidung yang secukupnya itu."
"Hidung itu benar-benar cukup, karena yang berlebihan itu tidak pernah baik!"
"Abaaaang!!!!"
Teriakan Lenny kini benar-benar memenuhi seisi dapur sederhana mereka. Membuat suasana pagi itu begitu meriah dan terasa hangat. Lantas, pertanyaan yang sama pun kembali Tian lontarkan pada istrinya tersebut.
"Sayang, apa kamu sungguh bahagia?"
Lenny saat itu terdiam sesaat, ia menatap suaminya yang kala itu menatapnya penuh harapan dengan bola matanya yang berkaca-kaca.
Tidak ada hal yang paling indah dari sebuah pernikahan selain sebuah kebahagiaan dan kebahagiaan itu lah yang Lenny rasakan bersama dengan Tian. Lalu, jawaban yang Lenny berikan untuk Tian pun membuat roda di hati keduanya terus berputar dengan cepat, putaran yang memacu keduanya untuk saling berpegangan.
"Aku bahagia karena bersama denganmu, Abang!"
"Memang apa lagi yang bisa aku rasakan selain kebahagiaan yang bahkan semuanya karena kamu yang memberikannya!"
Pelukan semakin erat Tian berikan pada istrinya itu, ia sangat bersyukur memiliki istri yang benar-benar baik dan tak banyak mengeluh. Meski kehidupan mereka cukup sederhana dan serba pas-pasan.
Tak terhitung pula banyaknya pertanyaan dari Tian tentang apa yang Lenny rasakan. Sebab ia sangat paham betapa tulusnya Lenny pada dirinya sehingga ia pun ingin sekali membahagiakan Lenny dengan segenap kemampuan yang ia miliki.
Hal yang sama pula bagi Lenny, tidak ada satu pun hal yang membuatnya tidak bahagia bersama dengan suaminya itu. Ketulusan adalah segalanya, sesuatu yang membuat mereka tetap kokoh tak peduli apapun yang menghadang mereka selama cinta itu terus bersemi maka tiang itu malah akan semakin kokoh begitulah prinsip yang Lenny pegang, sebuah prinsip yang juga ia percaya jika Tian memiliki prinsip yang sama.
"Hmmmm, tapi ..."
"... tapi ..."
Keduanya pun hening dengan kecemasan yang sama-sama mereka rasakan. Hati Tian yang tidak tenang itu sama resahnya dengan Lenny yang baru saja mengingat sesuatu yang juga cukup penting selain suami tercintanya itu.
"Ya ampun.. nasi goreng kita, Bang!!!"
Secepat kilat, Lenny kembali pada wajannya yang sudah berasap, nasi goreng yang kini berubah menjadi kerak yang menghitam dengan aromanya yang luar biasa menusuk hidung. Membuat keduanya terbatuk serta bersin-bersin dalam waktu yang bersamaan.
"Ah, angkat wajannya!" Tian berteriak seraya langsung mencoba mengangkat wajan yang sudah berasap itu. Tapi, itu tidak menghentikan kepanikan yang terjadi.
"Abang, kompor, Bang!"
"Kompor, matiin kompornya Bang!"
Lenny yang melihat aksi keren dari suaminya itu pun terut berteriak dan memberi arahan dengan kepanikan yang juga terlihat jelas di wajahnya.
Setelah kepanikan yang terjadi dalam beberapa saat itu, keheningan pun terjadi di antara mereka. Senyap dengan lelah serta rasa mengejutkan di hati mereka.
"...."
"Ha-ha-ha.."
"Gosong!" Lenny memijat keningnya dengan kekehan tawa yang tak lepas terdengar dari dirinya.
Sementara itu, Tian pun tak kalah tertawa keras dengan hal tersebut. Tawa yang memenuhi seluruh ruangan dapur yang sejatinya tidak luas itu pun membuat kebahagiaan di hatinya semakin besar.
Tawa yang tercipta dari sebuah keadaan yang begitu genting itu menandakan kebahagiaan yang benar-benar tulus dari sepasang suami istri tersebut.
"Kamu sih, mengalihkan duniaku. Sampai lupa lagi masak!"
"Ffftt... Fttr... Aaah.. aku di gombalan sama istri!"
Suara tawa kembali mengisi ruang sederhana itu. Kini meski mereka tidak bisa sarapan nasi goreng kesukaan mereka. Walau hanya dengan segelas jus segar yang dibuat mendadak oleh Lenny. Rasanya keduanya merasa perut mereka sudah kenyang dengan segala hal yang terjadi. Cinta memang benar-benar bisa membuat semuanya menjadi mungkin.
Akan tetapi, kebahagiaan kecil yang mereka rasakan itu tidak berlangsung lama. Tanpa terasa waktu berlalu begitu saja, sudah nyaris setahun mereka menikah dan besok adalah anniversary pernikahan mereka. Tetapi, ucapan ketus dari ibu Tian membuat suasana hari ini sedikit tidak nyaman.
"Bahkan orang pacaran saja bisa hamil di luar nikah. Masa kalian yang sudah menikah tidak juga punya anak!"
Ucapan dari ibu mertua itu menusuk sangat dalam ke hati Lenny. Lenny sungguh kehabisan kata dengan apa yang telah ibu mertuanya katakan. Ia tak tahu harus berdalih apa, ia tidak mampu untuk menjelaskan apapun dan hanya bisa membuat Lenny tersenyum ketir dengan hatinya yang semakin terasa pilu.
Padahal sebelumnya sang ibu tidak pernah protes dengan kehamilan yang tak kunjung datang. Tapi, entah mengapa hari ini justru sang ibu terlihat jauh lebih ketus dibandingkan dengan sebelumnya, yang membuat Lenny sedikit merasa kecewa dan sedih.