Sesosok bayi ditemukan warga terbungus dalam tas plastik ditemukan oleh seorang petani. Kondisi bayi berjenis kelamin laki-laki tersebut masih hidup dan terlihat lemas. Bayi tersebut dibawa segera oleh warga ke rumah sakit terdekat dan sekarang sedang mendapatkan perawatan dari pihak rumah sakit.
Berita itu muncul tepat saat Tian baru saja menyalakan televisi dan tanpa sengaja, ibu Tian juga mendengar berita tersebut. Berita yang juga tidak disukai oleh Lenny, sesuatu yang berhubungan dengan anak yang dibuang, aborsi, atau sejenisnya.
"Ah, ada ibu. Kenapa juga berita itu malah muncul saat ibu sedang di ruang televisi!" gumam Lenny dalam hatinya. Ia merasakan perasaan tidak nyaman begitu mendengar lantunan berita yang ditayangkan tersebut. Sebuah firasat yang membuat Lenny yakin jika akan ada hal tidak menyenangkan yang akan menantinya.
Benar saja, sebuah berita ditayangkankan itu tampaknya memicu sang mertua untuk mempertanyakan kehamilan menantunya lagi. Entah sejak kapan di mulai sampai sang ibu tiba-tiba bertanya tentang kehamilan menantunya itu.
"Kapan kamu hamil Lenny?"
"Sudah satu tahun dari pernikahan kalian, tapi kamu masih belum hamil juga."
"Ibu sudah pengen menimang cucu secepatnya!"
Lenny kehabisan kata-kata ia tak berani menjawab, takut salah bicara. Meski sejujurnya ia lebih takut lagi bila disalahkan akan kehamilan yang tak kunjung datang tersebut.
Selama ini selalu saja wanita yang disalahkan bila kehamilan itu tak kunjung datang dan saat ini pun sikap sinis dari sang mertua menandakan rasa tidak sukanya pada Lenny yang saat ini belum bisa memberikan cucu untuknya.
Penuh dengan rasa cemas, Lenny menatap ke arah sang suami yang kala itu juga terlihat salah tingkah. Tian ingin memindahkan siaran televisi namun di sisi lain, itu malah meninggalkan kesan jika Tian ingin menghindari masalah.
"Aduh, abang malah tidak lihat ke arah sini. Aku jadi bingung harus jawab apa!"
"Lihat sini, dong, Bang!"
"Aku takut salah ngomong, nanti yang ada ibu malah semakin marah dan tidak nyaman!"
Pikiran Lenny sudah kalang kabut sementara itu, Tian masih terlihat kikuk. Beragam doa pun Lenny ungkapkan bersamaan dengan ocehan sang ibu yang membandingkan antara anak tetangga yang baru menikah dan sudah memiliki anak dengan pernikahan Lenny yang sudah menginjak satu tahun.
Untung saja, Tian yang saat itu segera melihat ke arah Lenny yang kala itu sudah tertunduk, Tian pun langsung membuka suaranya, mencoba menenangkan sang ibu dan mencairkan kembali suasana yang sudah terasa sangat tidak nyaman tersebut.
"Ibu, baru setahun. Biarkan aku menikmati waktu kami bersama dulu dong!"
"Aku masih pengen berduaan dengan istriku!"
Tian tak malu-malu mencium kening Lenny di depan sang ibu dan Lenny langsung tersenyum dengan lembut. Bersyukur memiliki suami yang akan membela dirinya. Sosok suami yang memanjakan dirinya dan mengerti dirinya. Pria yang dengan tulus mencintai Lenny setulus hatinya.
"Terima kasih abang, telah menolongku," dalam benak Lenny ia merasa cukup lega.
Bagi Lenny, pendapat sang suami jauh lebih penting dibandingkan dengan yang lainnya. Selama sang suami masih bersedia berdua dan tidak protes akan kehamilan yang tak kunjung datang itu. Itu sudah cukup bagi Lenny. Tak peduli akan pendapat orang lain, ibu mertua, apa lagi tetangga. Selama Tian masih menerimanya apa adanya, itu sudah sangat cukup bagi Lenny yang mencintai Tian setulus hatinya.
Sama seperti biasanya, jika Tian sudah kembali membuka suara, maka sang ibu juga akan sedikit melunak. Selayaknya seorang ibu yang rela melakukan apapun untuk sang anak. Maka apa yang Tian katakan selalu berhasil membuat omelan sang ibu mereda.
"Jangan lama-lama menunda kehamilannya. Lebih baik punya satu anak terlebih dahulu, biar tenang!"
Setidaknya ucapan kali ini tidak terdengar sinis. Ibu sudah mulai merendahkan suaranya dan Tian yang mendengar itu langsung menjawab sang ibu dengan wajah cerianya.
"Tidak janji ya.. soalnya istriku menggemaskan sekali!"
"Rasanya tidak akan cukup jika sudah berduaan dengannya."
Sang ibu tak bisa apa-apa jika itu merupakan keinginan dari anaknya sendiri. Ibu cukup mengerti bila putra tersayangnya itu saat ini sedang dimabuk asmara.
"Hmmm.. ya.. kamu memang mirip ayahmu," kata sang ibu lagi dengan senyumannya yang kini sudah kembali merekah.
Lenny cukup lega dengan apa yang suaminya itu lakukan. Mungkin jika pertanyaan itu terlontar dari orang lain, Lenny bisa saja menjawabnya dengan asal bicara. Tapi, saat sang ibu yang bertanya, maka apa pula yang bisa Lenny lakukan. Apa bila bukan karena suaminya tercinta maka Lenny benar-benar hanya bisa tertunduk dan mendengar segala omelan dari sang ibu tanpa bisa berkata apa-apa.
Jelas jika apa yang Tian katakan juga merupakan sebuah alasan belaka, walau sebenarnya Tian dan Lenny juga merasakan keresahan yang sama. Tentu saja itu semua tidak mereka ungkapkan ke depan umum. Segala keresahan itu selalu menjadi perbincangan mereka sebelum tidur bak sudah menjadi salah satu rutinitas yang tidak bisa terlewat sebelum mereka memejamkan mata.
"Sayang, maafkan ibuku, ya!" bisik Tian tepat ditelinga istrinya yang sudah berbaring ditempat tidurnya malam itu.
Kejadian itu sudah terjadi beberapa kali dan Lenny sudah tidak terlalu sakit hati dengan segala perkataan menusuk dari ibu mertuanya itu. Mungkin dulu ia akan menangis di pelukan suaminya tapi sekarang ia masih bisa menahannya sendiri dan sesekali hanya menangisinya sendiri.
"Tidak apa-apa Bang, aku sudah mulai terbiasa, kok!" jawab Lenny dengan sejujurnya dan tersenyum ketir menatap suaminya yang kala itu terlihat sedikit resah.
"Justru itu, aku tidak ingin kamu terbiasa tersakiti seperti itu. Tapi, aku juga tidak bisa apa-apa. Dia ibuku dan seluruh baktiku harus aku berikan pada ibuku. Maafkan aku!"
Sekali lagi Tian meminta maaf dan ia juga berkata yang sejujurnya pada istri tercintanya itu. Ia tidak menyembunyikan apapun, termasuk keresahan di hatinya itu tentang posisinya yang juga serba salah. Ia harus berbakti sebagai anak laki-laki pada ibunya, tapi dia juga adalah kepala keluarga sekaligus suami yang juga memiliki kewajiban untuk melindungi sang istri.
"Aku sudah bilang, kan. Aku tidak apa, Bang."
"Aku mengerti dan aku baik-baik saja."
"Terima kasih, Sayang! Aku janji aku akan berusaha menjaga hatimu, melindungimu sebisaku."
Ciuman ringan itu melayang tepat ke kening Lenny dengan dekapan Tian yang semakin erat pada pinggang Lenny yang saat ini masih dalam pelukannya.
Perasaan syukur itu terasa sangat jelas dari Tian, tidak hanya Lenny yang menyukuri bahwa Tian kerap membelanya, tampaknya Tian juga bersyukur saat Lenny bisa dengan sabar menahan dirinya. Berusaha keras untuk menjaga dirinya dan tetap menghargai ibu Tian sebagai mertuanya. Sungguh istri yang sangat berbakti yang membuatnya semakin yakin jika ia tidak salah memilih istri.
Sementara itu, Lenny yang tahu betapa besar rasa dilema yang suaminya hadapi itu akhirnya kembali mencoba menenangkan kegelisahan yang ada di hati suaminya.
"Kecemasan yang ibu rasakan saat ini, aku juga bisa pahami itu. Bukankah kita juga merasa resah selama ini, Bang."
"Jujur, Bang, aku juga kepikiran tentang aku yang juga belum hamil sampai saat ini!"
Sejujurnya Lenny cukup mengerti dengan segala keresahan di hati suaminya itu. Ia tahu bahwa bakti seorang anak laki-laki ada pada ibunya. Lalu, ia juga mengerti bahwa Tian kerap berada di posisi yang sulit jika ia harus berhadapan dengan sang ibu atau istrinya. Lenny paham bahwa Tian juga tidak ingin menyakiti siapa pun, termasuk hati Lenny.
Di balik itu, Lenny juga memahami perasaan sang mertua yang mungkin mencemaskan tentang kehamilan dirinya. Sebab, dulu rasanya sang ibu mertua tidak pernah sekasar itu padanya dan masih bersikap biasa saja bila mereka bertemu. Malah terkadang sang ibu memperlihatkan kasih sayangnya yang besar untuk menantunya itu.
"Tidak apa sayang. Aku yakin nanti juga ada rezeki untuk punya anak."
"Sekarang kita nikmati saja waktu berdua kita dan kita sama-sama berdoa!"
Tian menarik dagu istrinya tersebut, menatapnya dengan lekat dan sekali lagi tersenyum dengan teduh.
"Mungkin Tuhan masih menginginkan kita untuk berudaan dulu!" kata Tian kemudian sambil mencubit kecil pinggang Lenny. Sebuah kode yang entah sejak kapan mulai dipahami oleh Lenny.
Wajah Lenny merah dengan napasnya yang terasa semakin terasa berat. Pandangannya mulai sayu bersamaan dengan wajah Tian yang terus mendekat padanya.
Lenny yang sangat memahami kode itu telah menyambut dengan hangat untuk ikut menunjukkan perasaan Lenny yang nyaris meluap.
Pikiran Lenny ikut tergunjang dengan segala debaran yang ia rakasn dan ia tak lagi mampu untuk berpikir dengan jernih. Menanti setiap sentuhan yang mungkin akan Tian layangkan padanya.
Akan tetapi, di waktu-waktu yang geting itu tiba-tiba saja suara ponsel berdering dengan keras. Mengagetkan Lenny dan Tian yang nyaris hanyut dalam arus sungai cinta yang deras.
"Iiiich... ganggu aja!"
Tian tampaknya kesal, sedangkan Lenny malah terkekeh kecil melihat reaksi menggemaskan Tian tersebut.
"Udah, cepat lihat dulu. Mana tau penting!" Lenny sedikit mendorong tubuh Tian memintanya untuk mengecek ponselnya yang masih terus berdering itu.
"Sudah biarkan saja!"
Sebaliknya, Tian malah tidak peduli dengan panggilan telepon tersebut. Mengabaikannya dan tetap fokus pada Lenny yang masih ada dalam dekapannya.
Akan tetapi, panggilan telepon tersebut tak kunjung berhenti dan terus membuat Tian menjadi merasa risih sendiri dengan suara nyaring tersebut.
"Sayang, angkat saja dulu."
Lembut dan penuh kehangatan, Lenny membelai rambut Tian yang saat itu sedang asik sendiri. Ia mengalah dengan ponsel yang saat itu terus berdering dan tak kunjung berhenti.
Sebuah firasat yang mungkin memang dimiliki oleh semua wanita. Perasaan bahwa panggilan itu memang tidak boleh diabaikan.
"Itu pasti dari ibu!"
Perkataan itu membuat Tian tidak bisa menolak lagi. Ia tidak mengerti sepenuhnya. Tetapi setiap kali Lenny mengatakan bahwa telepon itu dari ibunya, hal itu selalu saja benar dan kali ini, benar saja, ibu meneleponnya sedari tadi dan mungkin tidak akan berhenti menelepon sampai Tian mengangkat panggilan telepon itu.
"Ada apa lagi, sih, Bu! Ibu pengen punya cucu tapi kalau menelepon di jam segini. Pabrik cucunya nanti tutup, loh!" kesal Tian begitu ia mengangkat panggilan telepon tersebut.
Sang ibu yang mendengar ucapan pertama anaknya itu kini terkekeh geli. Ia meminta maaf karena menelepon di saat yang tidak tepat.
"Ah, maaf.. Ibu mengganggu ya.. Ya sudah, sampaikan saja buat istrimu ibu sudah rebuskan jamu untuknya, ambil besok ke rumah. Ini sangat bagus buat program hamil."
"Iyaaa.. Ibu.. Lain kali telepon pagi saja, ya, Bu!"
Sekali lagi, Tian menekankan kekesalannya saat dia sedang dalam puncak asmaranya itu. Sang ibu yang mendengar itu sekali lagi ikut terkekeh geli dan langsung menutup teleponnya.
Sementara itu, Lenny yang mendengar segala percakapan ibu dan anak itu kini menetap lekat ke arah sang suami. Dulu, mungkin Tian tidak akan berbicara sejauh itu pada sang ibu. Tapi, sejak sang ibu yang perlahan mulai mendesak kehamilan Lenny. Tian yang terkadang tidak tahan lagi dengan ocehan ibunya sering mengatakan dengan terus terang bahwa terkadang sang ibu sedikit mengganggu kemesraannya dengan istrinya.
Lenny memahami itu, walau ia sedikit agak malu bila ibu mertuanya tahu mereka yang sering melakukan itu dengan tak kenal waktu. Setidaknya, saat mengetahui hal itu. Ibu mertuanya memang benar-benar diam dan tak mengoceh masalah kehamilan lagi. Seakan memang mengerti bahwa Tian benar-benar masih ingin menikmati waktunya berdua dengan sang istri.
Terlepas dari itu semua, perasaan berat Lenny selalu muncul di kala ia harus mengunjungi rumah ibu mertuanya lagi sendirian, tanpa suami yang biasa selalu membela dirinya. Tidak tahu kenapa, Lenny kerap takut jika harus menghadapi sang ibu bila ada hal yang membuat sang ibu kembali mengomel.
"Sayang, maaf. Tapi, besok aku ada kerjaan dan tidak bisa menemani kamu di rumah ibu. Aku hanya bisa mengantarkan kamu saja."
"Hmmmm.. Kamu tidak apa, bila aku tinggal di rumah ibu, kan?"
Sebagai istri yang ingin berbakti pada suaminya dan tak ingin merepotkan siapa pun, Lenny hanya bisa menganggukkan kepalanya. Ia mencoba pasrah pada Tuhan yang mungkin akan menjaganya tanpa bantuan sang suami kelak.
Entah sejak kapan, Lenny menjadi takut setiap kali harus berhadapan dengan mertuanya itu. Padahal dulu rasanya tidak seperti itu.
"Iya, Bang. Aku tidak apa, kok. Cuma ambil jamu saja, kan. Setelahnya aku akan langsung pulang. Nanti biar aku naik taksi online saja pulangnya."
"Abang tenang saja!" sambung Lenny sambil tersenyum.
Tidak terhitung jumlahnya senyuman dari Lenny yang menenangkan hati Tian tersebut. Meski begitu, perasaannya masih saja tidak enak. Ia sangat mengerti seperti apa ibunya itu. Ia cemas jika ibu akan kembali menekan Lenny yang malah membuat Lenny semakin banyak pikiran.
"Jika seperti itu, bagaimana bisa Lenny hamil. Dia akan terus stress dengan segala omelan ibu!" benak Tian yang saat ini terus bergejolak dengan perasaannya yang tidak karuan itu, berharap tidak ada hal buruk lagi yang terjadi pada istrinya tersebut.