1. Mommy Pilihan ELLIO

1307 Kata
Sebastian mengangkat kepala ketika terdengar suara ketukan. Mata tajam pria itu mengikuti pergerakan daun pintu hingga terbuka, lalu memunculkan seorang wanita cantik yang sudah dua tahun bekerja sebagai sekretarisnya. “Maaf, Tuan. Guru Ellio baru saja menghubungi. Ellio tantrum.” “Lagi?” Sebastian menarik napas, lalu menghembuskannya. Pria itu kemudian menggulir bola mata ke arah seorang pria yang masih duduk di depannya terpisah meja. “Aku harus pergi. Kita lanjutkan pembicaraan kita besok. Kita harus pastikan Reed tidak mendapatkan proyek itu.” Pria itu mendorong kursi ke belakang, lalu beranjak. “Baik, Tuan.” Sebastian menyambar ponsel di atas meja, lalu berjalan meninggallkan ruangannya. “Hubungi Alex. Minta dia siapkan mobil.” “Sudah, Tuan. Alex sudah siap di bawah.” Sebastian menatap sang sekertaris dengan kerut di dahi. Tidak lebih dari dua detik, saat mengingat kondisi sang putra. Sebastian melangkah cepat, lalu setengah berlari menuju pintu lift yang dikhusukan hanya untuk dirinya. *** “Ellio mau miss Louis! Ellio mau miss Louis!” “Ellio Sayang … miss Louis hari ini tidak datang. Besok, Ellio bisa bertemu dengannya, okey?” “Tidak mau! Ellio mau miss Louis sekarang!” Ellio menangis keras. Anak yang sudah duduk melantai itu menggerakkan kedua kaki untuk melampiaskan kekesalannya. Miss Louis sudah berjanji akan membawakannya pancake, tapi wanita itu tidak muncul. “Bagaimana ini? Apa Tuan Sebastian sudah datang?” Sang kepala sekolah bertanya pada wali kelas Ellio. “Belum, Miss. Tapi saya sudah menghubungi sekertarisnya.” Wanita yang sedang berjongkok di samping sang murid itu mendongak. “Apa Ellio menginginkan sesuatu? Teman-teman Ellio sedang makan sekarang. Mau Miss ambilkan burger? Ellio suka burger, kan?” Meredith—wali kelas Ellio mencoba membujuk sang murid. Wanita itu mengusap pelan air mata Ellio, sebelum menarik tangannya ketika Ellio memukul tangannya. “No! Ellio tidak mau burger. Ellio mau miss Louis.” “Sebaiknya kita panggil miss Louis.” “Tapi—” Meredith kembali mendongak. “Dia bisa marah.” Sang kepala sekolah berdecak. “Dengarkan saja kalau dia mau marah. Sekarang yang penting Ellio.” Wanita paruh baya itu menghembus keras napasnya. Ellio adalah salah satu murid yang paling susah ditangani saat sedang tantrum. Hanya sang ayah yang bisa menenangkan anak itu, dan sekarang—duda tampan itu tidak ada di tempatnya. Setidaknya, rumah Louisa tidak jauh. Wanita itu bisa datang dengan cepat. *** Louisa meneguk jusnya. Wanita itu sedang duduk bersantai di samping kolam renang rumahnya. Dia baru selesai berenang. Menoleh saat mendengar suara ponsel berdering, sepasang mata wanita itu menyipit ketika melihat nama Meredith yang terlihat pada layar. Louisa mendesah. Wanita itu membiarkan panggilan dari sang teman. Dia sudah mengatakan jika hari ini dia sedang ingin bersantai. Tidak ingin diganggu. “Argghhh,” kesal Louisa ketika ponselnya tidak berhenti berdering. Dengan terpaksa Louisa meletakkan gelas ke atas meja, lalu meraih benda yang masih meraung tersebut. “Me-re-dith!” Dengan nada kesal, Louisa menjeda nama sang teman ketika menyapanya. “Apa kamu lupa—” “Urgent, Louis. Kalau tidak urgent, aku tidak akan menghubungimu.” “Urgent apa? Ada yang tidak mau makan lagi?” tanya Louisa dengan wajah tertekuk. Kemarin sang teman itu kebingungan saat ada seorang anak yang mogok makan. Sekarang apa lagi yang urgent? “Bukan. Dols hari ini tidak rewel. Dia sekarang sedang makan.” “Lalu apa? Hari ini aku benar-benar sedang ingin bersantai. Hari ini, 22 tahun lalu wanita cantik ini dilahirkan ke dunia.” Lalu Louisa tertawa setelah mengucapkannya. “Ah … teman macam apa kamu? Kamu bahkan tidak mengucapkan selamat ulang tahun padaku.” “Astaga, Louisa … itu tidak penting sekarang. Ini yang penting. Sebentar.” Meredith kemudian masuk ke dalam ruang kelasnya. Louisa mengernyit saat mendengar suara tangisan yang semakin lama semakin keras. “Sudah tahu sekarang yang urgent apa?!” “Ya ampun. Aku bisa tuli kalau kamu berteriak seperti itu.” Louisa menjauhkan ponsel dari telinganya. Wanita itu meringis sambil mengusap telingannya yang berdenging. Wanita itu menggerutu sambil menempelkan kembali ponselnya. “Miss Louisa. Sekarang anda harus ke sekolah. Ellio tidak mau berhenti menangis sebelum bertemu anda.” Louisa langsung beranjak. Suara sang teman sudah berganti dengan suara keras kepala sekolah tempatnya bekerja. “Ellio?” “Iya, Ellio. Cepat kesini sekarang, atau anda tidak bisa lagi bekerja di sini.” “Astaga.” Louisa meringis begitu mendengar nada sambung terputus. Wanita itu beranjak sambil berdecak. Bukan dia takut tidak mendapat uang jika tidak bekerja. Orang tuanya kaya. Tidak bekerjapun, semua kebutuhannya tercukupi. Hanya saja, dia sedang ingin membuktikan pada ayahnya jika dia bukan anak manja, dan dia bisa menghasilkan uang sendiri. Berjalan meninggalkan tempatnya bersantai. Louisa menepuk keningnya ketika mengingat sesuatu. “Ya ampun … aku lupa,” gumam wanita itu sebelum mempercepat langkah kakinya. *** Sebastian bergegas turun dari mobil, lalu berjalan cepat masuk ke dalam gedung sekolah sang putra. Seorang wanita paruh baya yang dikenalnya sebagai kepala sekolah tempat putranya belajar sudah berdiri menunggunya. “Maaf merepotkan anda, tapi kami tidak bisa menenangkan Ellio.” Sebastian menganggukkan kepala tanpa menghentikan langkah kaki. Sang kepala sekolah buru-buru memutar tubuh, lalu berjalan cepat—setengah berlari menyamai langkah salah satu wali muridnya. “Di mana dia sekarang?” “Masih di dalam kelas, Tuan.” Sekali lagi Sebastian menggerakkan kepala turun naik. Pria itu mempercepat langkah kakinya. Dia jelas tahu di mana ruang kelas putranya berada. Sementara sang kepala sekolah akhirnya menyerah karena tidak lagi sanggup menyamai langkah cepat sang duda. Napasnya tersengal. Sebastian masuk ke dalam ruang kelas yang pintunya sudah terbuka. Pria itu mengatur napas mendengar suara keras Ellio yang sedang menangis. Sebastian bergegas menghampiri sang putra, lalu menurunkan tubuhnya. Meredith berdiri menjauh. Wanita itu memperhatikan apa yang dilakukan oleh ayah Ellio. “Ellio lupa kalau anak laki-laki tidak boleh menangis?” Yang dipanggil mendongak masih sambil menangis. Air mata membasahi wajah anak laki-laki itu. Kepala anak itu menggeleng. Sebastian menatap sang putra yang masih menangis histeris. Tangan pria itu terangkat menghapus air mata Ellio. “Come on.” Sebastian mengulurkan dua tangannya. Biasanya Ellio akan langsung meraihnya, tapi, kali ini tidak. Sebastian mengernyit. “Ada apa? Ellio menginginkan sesuatu?” tanya pria itu. “Katakan Ellio mau apa.” Ellio mengangkat tangannya, lalu membersihkan sisa-sisa air matanya. “Ellio mau miss Louis.” “Miss Louis?” tanya Sebastian tidak paham. Yang dia tahu wali kelas Ellio bernama Meredith, bukan Louis. “Ya … Ellio mau miss Louis.” Lalu Ellio kembali menangis keras. “Oke … oke. Kita akan cari miss Louis. Sekarang Ellio diam.” Dan Ellio langsung diam. “Ayo, Papa. Kita cari miss Louis.” Sebastian menahan ringisan. Dia hanya berucap secara refleks. Sekarang, di mana dia akan mencari miss Louis? Pria itu kemudian berdiri ketika sang putra menarik tangannya. “Ayo, Papa. Kita cari miss Louis.” Sebastian menoleh ke arah guru kelas Ellio. Yang ditatap berdehem, lalu melangkah mendekat. “Miss Louis yang dimaksud Ellio adalah guru piano baru kami, Tuan. Um, sebenarnya dia baru bekerja selama tiga hari, dan hari ini dia izin tidak masuk.” Sebastian berdecak tidak suka. “Guru macam apa itu? Seharusnya kalian mencari guru yang kompeten.” Meredith hanya bisa menahan ringisan mendengar kalimat panjang Sebastian. Meredith menghembus keras karbondioksida keluar dari mulutnya, sembari mengikuti pergerakan dua pria beda generasi yang kini sudah keluar dari ruang kelas. Ellio terus menarik tangan sang ayah keluar dari gedung sekolahnya. “Ellio, kita pulang dulu, oke? Nanti kita akan mencari miss Louis bersama grandma.” Sebastian membujuk sang putra. Dia akan bertanya pada ibunya—siapa tahu ibunya mengenal seorang wanita bernama Louis. Ellio melonjak saat keluar dari gedung sekolah dan melihat seseorang sedang mengayuh sepeda masuk ke halaman sekolah. “Ellio mau Miss Louis yang jadi mommy Ellio.” Ellio menunjuk seorang perempuan dengan dres putih floral selutut yang baru saja turun dari sepedanya. “Ayo kita ajak Mommy pulang, Papa.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN