Sejak acara curhat-curhatan itu Alesha dan Darel kembali dekat, sambil melihat Darel sama saja mengonfirmasi tentang Eza, tapi untuk membantah tidak ada yang salah, kan?
Alesha akan mencoba berdamai dengan menerima, menerima Darel sebagai teman, memaafkan kesalahan Eza. Memaafkan bukan berarti diterima kembali.
"Mbak, di depan ada yang mau ketemu," ujar salah satu pelayan yang baru masuk ke dalam ruangan Alesha.
"Oke."
Alesha pun langsung keluar dan tersedia orang itu. Terlihat seorang pria yang mengenakan jas rapi.
"Anaknya, Ibu Dinda, ya?"
Alesha mengangguk. "Iya, Pak. Bagaimana kalau ada yang tahu, ya?"
"Saya Ridwan, pemilik tanah dan bangunan ini, masa kontrak oleh Ibu Dinda sudah habis, hanya sepuluh tahun, saya ingin mengambil alih."
Alesha bahkan tidak tahu menahu tentang masalah ini. Pria itu memberikan surat-surat yang menunjukkan kafe ini dikontrak oleh Dinda Aulia dengan tempo selama lima tahun, dan hari berikutnya adalah hari terakhir masa kontrak.
"Saat ini umur saya baru 11 tahun, dan saya tidak tahu perihaliburan ini. Kalau gitu saya perpanjang, Pak?"
Ridwan menggeleng. "Sayang sekali, tempat ini akan saya renovasi untuk dijadikan ruko."
Alesha menatap kafenya dengan tatapan nanar, lima tahun dia membangun kafe ini dengan susah payah, agar tetap sibuk dan berkembang, dan sekarang dia harus membuka begitu saja. Ada beberapa karyawan yang pindah ke kafe ini.
"Kalau gitu aku pamit dulu, aku harap besok sebelum jam 12 kafe ini sudah harus kosong ya."
"Iya, Pak."
Tidak mudah bagi Alesha melepaskan setengah dari pindah, entah bagaimana hidup Alesha setelah ini. Alesha pun berdiri dari tempat, dan mengumpulkan seluruh karyawan di dapur untuk meminta tentang hal itu.
***
Dengan membawa seluruh barang-barangnya dari apartemen ke Darel, dia sudah memutuskan untuk tinggal bareng saudara kembarnya, tentu saja ada persyaratan, salah satu yang membayar sewa apartemen patungan setiap bulan.
"Rel, lo beneran suka sama Alesha?" tanya Eza saat mereka sedang menonton televisi.
Darel melirik sekilas. "Hm, kenapa?"
"Gue nggak mau saingan sama saudara sendiri."
"Berarti lo harus ngalah."
"Kenapa gue? Ya lo lah, gue ini pacarnya Alesha."
"Maaf ya kamu cuma mantan, nggak usah ngaku-ngaku."
Eza melipat tangan ke depan dadanya, memang apa yang Darel katakan itu benar, tapi sungguh Eza menyesal telah menyia-nyiakan Alesha, dia ingin melakukan apa saja agar dirinya diterima kembali.
"Kalau gitu kita bersaing secara sehat, Rel."
"Oke."
Eza beranjak dari sofa dan ingin ke dapur dengan langkah kaki yang masih seperti baru disunat, setiap kali melihat Eza jalan seperti itu selalu membuat Darel ingin tertawa, tapi dia juga kasihan kepada saudara serahimnya itu.
Darel pun menghampiri Eza di dapur. "Mau apa lo, Za?"
"Bikin mie."
"Gue aja yang bikin, kasihan lo berdirinya ngangkang gitu. Asli lo kayak bocah yang abis disunat."
Eza mendelik. "Lo belom tahu rasanya o***g ditendang terus ditimpukin pakai pot bunga? Itu rasanya kayak mau mati. Perih, ngilu, nyeri, dan sakit bercampur jadi satu."
Darel tidak bisa lagi menahan tawanya. "Tapi untung nggak dipotong, ya."
"Kalau dipotong ntar nggak bisa buat anak dong."
"Gini nih kalau otak di selangkangan."
"Eh, Rel. Terus di London masa lo nggak pernah gituan?"
Darel langsing menoyor kening Eza. "Gue ke London bukan buat ena-ena, tapi buat kuliah. Gue kan pengin ngelakuin itu sama istri gue."
Eza menghela napas. "Gue nyesel, Rel. Nggak bisa tahan nafsu. Jadinya gue kehilangan Alesha."
Sembari memasukkan mie ke dalam panci, Darel menjawab. "Penyesalan memang datang terlambat, mending sekarang lo siapin mangkuk."
Tiba-tiba tangan Darel terkena air panas yang membuat Darel langsung merintih. Hal itu juga membuat Eza panik.
"Rel, tangan lo melepuh. Gue ambil P3K, ya."
"Nggak usah, Za. Gue basahin ke air juga sembuh."
"Nggak usah ngaco."
Eza pun berjalan ke kamarnya untuk mengambil P3K. Setelah mendapatk yang dicari, Eza langsung mengobati luka Darel.
"Padahal nggak apa-apa lho, Za."
"Luka kecil harus segera diobati biar nggak makin membesar." Setelah mengobati lukanya, Eza berucap, "sekarang lo duduk aja, Rel. Biar gue yang lanjutin bikin mie."
***
"b**o banget si Alesha, padahal itu kafe dan tanah punya dia, masa percaya sama surat-surat palsu ini," ujar seorang perempuan kepada pria yang bernama Ridwan itu.
Pria itu tersenyum. "Jago akting Om emang nggak diraguin lagi, Van. Apalagi penampilan Om emang meyakinkan banget, kan?"
Vania mengangguk. "Nanti uangnya aku transfer ke Om."
Gara-gara lo, Eza mutusin gue, jadi sekarang baru kafe, mungkin besok rumah lo yang gue hilangkan. Sori, Al. Ini emang pantas untuk orang yang menjadi penghalang kebahagiaan seorang Vania Putri.
***