10 | Daddy Kamu Seksi

1137 Kata
Yudistira tiba di rumah pukul sembilan malam dan nyaris tersedak begitu melihat penampilan Sasi yang saat ini tengah menyambutnya di ruang tamu. Benar-benar perempuan ini ... sampai Yudistira dibuat ingin batal meneruskan langkah masuk di rumahnya sendiri. “Kenapa, Daddy?” tanya Sasi dengan nada manja. Panggilan itu lagi. Saking mengerikannya di kuping Yudistira, bulu kuduknya sampai meremang. Sasi lebih berbahaya dari pisau bedah yang sering Yudistira pegang dan lebih menakutkan dari darah serta organ-organ dalam tubuh manusia. “Daddy kamu kenapa?” Sasi bangkit, kemudian perlahan mendekat. “Apa yang kamu pikirkan? Begitu capeknya kah sampai bengong-bengong di sana?” Diam-diam Sasi terkikik geli. Daddy Liam yang hotnya kebangetan ini pasti kelimpungan. Sasi sengaja menyambutnya dengan pakaian maid yang seksi, karena ingin menggoda sekaligus mendeklarasikan kalau malam ini dimulainya petualangan Sasi untuk menjerat Yudistira. “Tidak,” sangkal Yudistira, kemudian berdehem karena merasa tenggorokannya kering. “Kamu ... malam ini waktumu menginap?” “Iya. Bukannya sudah kubilang, Daddy, akhir pekan aku tidur di sini.” Diambil Sasi tas kerja Yudistira, kemudian sengaja jempol Sasi mengenai punggung tangan Yudistira. Sasi mendongak untuk menatap, juga disertai kerlingan genit. “Kamu butuh mandi, Daddy ...” Yudistira mundur selangkah, kemudian membuang muka dan mengusap-usapnya sampai memerah. “Sasi, benar katamu saya butuh mandi. Terima kasih untuk penyambutannya dan letakkan saja tas itu di ruang kerja saya. Sebaiknya kamu tidur. Saya takut paginya kamu sakit karena mengenakan pakaian seperti itu.” Setelah berucap panjang lebar, Yudistira langsung berlalu, bahkan cenderung mempercepat langkahnya menuju kamar. Helaan napas kasar langsung keluar setelah Yudistira merasa posisinya sudah aman sekarang. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Yudistira merasa terancam didekati perempuan. Bukan karena Yudistira punya trauma dan sejenisnya, tapi memang Sasi-lah spesies berbeda dari yang lain. *** Semua sudah berkumpul di ruang makan begitu Sasi tiba. Yudistira, bahkan Liam sudah terlihat rapi padahal ini hari Sabtu. Tentu saja Sasi bingung, tapi Sasi belum bertanya karena lebih dulu mengutamakan untuk bergabung di meja makan. Ngomong-ngomong Sasi sangat telat bangun, buktinya sarapan Yudistira dan Liam sudah hampir selesai. “Selamat pagi menjelang siang, Tante Sasi. Bagaimana tidurmu tadi malam?” Liam menyuap satu sendok nasi goreng terakhir kemudian meraih gelas susunya. “Aku sengaja tidak masuk ke kamarmu untuk membangunkan, karena kukira waktu tidur adalah privasi untuk perempuan.” “Pemikiran yang cerdas,” celetuk Sasi. “Aku tidak suka dibangunkan orang lain, kecuali dibangunkan oleh daddy-mu.” Sasi langsung mengedipkan matanya pada Yudistira. Kebetulan Yudistira hanya menanggapi dengan pandangan datar dan Sasi tersenyum lebar melihatnya. “Ngomong-ngomong, Liam, kamu mau ke mana?” “Aku mau bertemu mommy-ku, Tante.” Suara Liam terdengar begitu ceria. “ “Dalam satu bulan sekali, mommy akan ke Indonesia. Daddy hanya mengantarku saja hari ini, selanjutnya aku akan bersenang-senang berdua dengan mommy.” “Oh, ya?” tanya Sasi tertarik. “Kenapa daddy-mu tidak ikut. Bukankah ini ... semacam reuni keluarga kecil?” “Tidak tahu. Daddy bilang di antara mereka pasti ada rasa canggung meskipun mereka berteman. Katanya lebih bai–” “Kalau sudah menyelesaikan sarapan, langsung tunggu Dad di depan. Ada yang mau Dad bicarakan dengan Tante Sasi,” potong Yudistira. “Jangan lupa ambil tas bekal yang sudah disiapkan Mbok Sum.” “Oke, Dad. Aku bergerak.” Liam langsung melompat dari tempatnya duduk. Sebelum keluar dari ruang makan, Liam melambaikan tangan pada Sasi. “Titip Kairo, ya, Tante. Dia sama seperti Tante, suka telat bangun. Begitu bangun langsung kasih makan, ya. Jelaskan juga kalau aku dan daddy pergi sebentar.” “Akan kulakukan kalau aku tidak lupa.” Sasi mulai mengoles rotinya dengan selai stroberi, kemudian melirik pada Yudistira. “Apa yang ingin kamu bicarakan padaku, Daddy?” “Jangan memanggil saya seperti itu, Sasi,” peringat Yudistira. “Kalau didengar Liam pasti tidak akan bagus. Panggil saja seperti kamu pertama kali berkenalan secara resmi dengan saya. Lagipula, saya tidak nyaman mendengarnya.” “Liam sudah pergi. Aku juga tidak punya keinginan untuk mengganti panggilan. Kalau nama saja terlalu lancang mengingat jarak usia kita. Kalau ‘mas’, itu panggilan setelah kita menikah nanti.” Sasi langsung terkikik geli. “Jangan terlalu dipikirkan. Nanti juga kamu akan terbiasa, Daddy ...” Yudistira menghela napas sebentar, lalu menggeser kursinya kemudian bangkit. “Terserah. Tidak ada yang ingin saya sampaikan. Tadi hanya untuk menghentikan penjelasan panjang lebar Liam saja.” “Begitu, ya? Hati-hati di jalan, Daddy. Jangan jatuh cinta dengan mantan istri lagi, ya.” Tidak ada tanggapan dan Yudistira tetap melangkah tanpa terusik. Sasi melihatnya sambil menggigit roti lamat-lamat. Dalam hati Sasi tertawa keras, padahal tindakan Sasi ini baru permulaan tapi rupanya sangat mengusik Yudistira sekali. Apa jadinya nanti kalau Sasi ... mmm berbuat yang lebih jauh? *** Yudistira hanya mengantar Liam sampai depan rumah wanita itu, karena selanjutnya setelah melihat Liam benar-benar masuk, Yudistira kembali melajukan mobilnya. Untuk sementara tidak ada tujuan ke tempat lain, jadi Yudistira memutuskan untuk pulang. Ponsel Yudistira berbunyi bertepatan dengan lampu merah menyala. Yudistira mengambil benda tipis itu kemudian melihat siapa yang menelponnya. Tanpa sadar Yudistira menghela napas. Sasi. Nama yang mengganggu Yudistira belakangan ini. “Iya, ada apa, Sasi?” tanya Yudistira setelah menekan tombol terima. “Daddy, aku dititipin Mbok Sum daftar belanjaan.” Panggilan itu lagi. Yudistira serasa mendapat vonis mati saat Sasi berkata, ‘daddy’. “Kita akan berbelanja hari ini. Kamu hanya mengantar Liam saja, kan?” “Kita?” ulang Yudistira dengan alis terangkat. “Foto saja daftar belanjaannya. Kebetulan saya dalam perjalanan pulang. Saya akan mampir di swalayan dan membeli semua yang ada di daftar itu.” “Tidak. Kita, Daddy. Aku dan kamu. Sekarang aku bersiap-siap. Kamu akan menjemputku di rumah beberapa belas menit lagi.” “Sasi, saya mempekerjakanmu untuk menuruti perintah saya, bukan saya yang mematuhi perintah kamu. Foto dan kirim saja, supaya lebih menghemat waktu dan saya tidak perlu bulak-balik lagi.” “Aku menunggu kamu menjemputku, Daddy. Tidak ada foto daftar belanjaan, karena kita membelinya berdua,” keukeuh Sasi. Deru klakson membuat Yudistira sadar kalau lampu sudah berubah menjadi hijau. Yudistira mendesah kasar kemudian kembali melajukan mobilnya. “Siap-siap sekarang. Saya menuju rumah.” Suara pekikan senang terdengar. “Kamu memang tidak bisa menang dariku, Daddy. Pelan-pelan saja menyetirnya, aku menunggumu di rumah.” Begitu sambungan terputus, Yudistira langsung melempar ponselnya ke jok samping. Kepala Yudistira berdenyut pening. Hidup Yudistira yang damai sudah terusik, sepertinya ke depan nanti tidak akan ada ketenangan lagi. Sasi oh Sasi, apa rencanamu sebenarnya? Kenapa membuat siksaan semacam ini? *** “Oh, oh, yang itu Daddy?” tunjuk Sasi. “Dua, dua. Apel kesukaanku, stroberi juga. Astaga Daddy, dua!” Ocehan Sasi membuat beberapa orang menoleh ke arah mereka. Yudistira sudah memberi tatapan memperingatkan, tapi tetap saja Sasi keras kepala. Mereka pasti aneh mendengar sebutan Sasi untuk Yudistira, tapi sayangnya Sasi tidak mempedulikan itu. “Apalagi, Daddy?” tanya Sasi dengan santainya. “Sayur? Hm, kurasa yang tidak membuat badan gemuk. Abaikan daftar yang dibuat Mbok Sum dan beli saja apa yang kurekomendasikan. Tomat, brokoli, asparagus, bayam, selada, wortel, terong, paprika, jamur, labu, timun. Untuk buah-buahannya, seperti yang kubilang tadi, apel, stroberi, alpukat, mel–” “Sasi,” tegur Yudistira jengah. “Ini bukan menu untuk diet. Saya berbelanja untuk saya dan anak saya sendiri. Kenapa kamu yang mengaturnya? Kamu itu nanny. Tugasmu hanya memperhatikan Liam dan segala keperluannya, tidak dengan hal yang lain.” Yudistira mendorong troli untuk meninggalkan Sasi, tapi Sasi dengan sigap menyusul dan tertawa-tawa. “Ya, Daddy, aku memang nanny. Nanny untuk anakmu dan tentu saja untukmu.” Dengkusan kasar Yudistira terdengar, tapi alih-alih berhenti, Sasi malah mensejajarkan langkah mereka kemudian berjinjit untuk mencubit pipi Yudistira. “Daddy, kamu seksi saat marah. Angkat aku jadi anaku sekarang.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN