“Ada Dela?” tanya Angela pada Andin yang berdiri di depan pintu.
Andin melipat kedua tangannya di depan d**a. “Mau apa lo nyari Dela?”
“Gue dengar dari Revo, dia habis dijambret dan dia luka-luka. Gue mau mastiin dia baik-baik aja atau nggak,” jawab Angela.
Andin tertawa mengejek. “Kalau dia nggak baik-baik aja, lo mau bersyukur gitu?”
Angela menggeleng kuat. “Enggak, lha.”
“Halah, karena lo yang kegatelan makanya Dela sampai begitu. Coba aja Revo lebih milih nemani dia dari pada nemani lo, pasti ini semua nggak akan terjadi,” balas Andin sengit.
Angela hanya diam, tangannya mengepal, kala melihat beberapa orang yang memasuki kelas, menatapnya dengan tatapan tak suka.
“Dela,” jerit Angela. Badannya ia condongkan ke depan, agar suaranya di dengar oleh Dela.
Sedari tadi Dela sudah mengetahui bahwa Angela berada di depan pintu dan berdebat dengan Andin. Ia sengaja, tak menggubris karena merasa jengkel. Namun, mendengar namanya dipanggil, mau tak mau Dela berdiri meski sedikit kesusahan.
“Gue baik-baik aja kok, Ngel,” ujar Dela.
Angela mengangkat wajahnya. “Maaf, ya. Semalam gue sama Revo lagi belanja, jadi nggak bisa nolongin lo. Tapi, Revo tetap datang kan buat jemput lo?”
Dela hanya mengangguk.
“Udah tau keadaan Dela kan? Sekarang lo pergi sana! Gue nggak mau kelas gue terintimidasi perusak hubungan orang kayak lo!” ujar Andin masih menatap Angela dengan sengit.
Angela melihat Dela, tapi perempuan itu memilih melihat ke arah lain.
“Del, lo kok nggak bela gue?” tanya Angela.
“Mau ngapain dia ngebela lo? Masa iya dia harus ngebela perempuan yang ngerebut perhatian pacarnya. Sakit lo, ya!”
“Gue nggak ada urusan sama lo, Andin!” ucap Angela dengan nada penekanan.
Andin mencibir. “Semenjak gue lihat lo, gue makin yakin, kalau perusak hubungan itu nggak perlu cantik, yang penting gatal!”
***
“Dave,” panggil Dela saat melihat laki-laki itu berjalan menuju parkiran.
Dela berjalan menuju Dave meski dengan kaki yang masih sakit. “Lo sibuk nggak?”
“Sibuk.”
“Sibuk ngapain?” tanya Dela.
“Tidur, gue ngantuk.”
Dela mencibir, “Tugas kita belum selesai, Dave. Lo nyuruh gue ngerjai ini tugas sendirian? Nama lo nggak gue tulis entar.”
“Ribetin lo jadi cewek.”
“Bodoh amat, ini tugas harus selesai hari ini!” Perintah Dela dengan lantang.
Dave melihat jam yang melingkar di tangannya. “Ayo buruan. Waktu ngerjain ini tugas satu jam doang. Setelah itu gue pulang.”
Dela mengindikan bahunya, “Tergantung lo cepat atau nggak-nya bantuin gue.”
“Mau ngerjain di mana?”
“Di KFC depan kampus, gue yang bayarin. Itung-itung ucapan terima kasih karena uda nolongin gue kemarin,” kata Dela.
Dave memakai helm full face kemudian menyalakan mesin motor yang bewarna hitam itu.
“Lo nggak ada niatan ngajakin gue pergi bareng?” tanya Dela.
Dave membuka kaca helmnya. “Hobby lo nyusahin orang, ya?”
Dela menggeleng kuat, dia sangat tak suka orang lain menyebutnya sebagai orang yang menyusahkan. Sudah cukup di rumah saja dia dikatakan seperti itu.
“Gue jalan kaki aja,” kata Dela berlalu dari hadapan Dave.
Melihat Dela yang kesusahan karena kakinya yang masih luka, mau tak mau naluri kemanusiaannya harus keluar lagi. “Naik,” titahnya berhenti di samping Dela.
“Gue nggak mau nyusahin orang lain.”
“Naik atau lo sendirian yang ngerjain? Gue nggak pernah perduli dengan nilai.”
Melihat teriknya matahari dan kakinya yang sakit, dengan terpaksa Dela naik ke jok belakang motor Dave. Terlihat di parkiran mobil, Andin mengatakan “Lo harus cerita sama gue.” Dengan tanpa suara.
***
Sekarang di sinilah mereka, duduk di sudut ruangan di dinding kaca tebal yang menampakan kegiatan orang di luar. Dela melirik Dave yang hanya mencoret-coret asal bukunya.
“Lama lagi? Gue ngantuk,” kata Dave menatap Dela dengan sorot mata datar.
“Lo uda bilang begitu sebanyak sepuluh kali, tapi lo nggak ada bantuin gue ngerjain tugas ini sama sekali.”
Dave menegakkan tubuhnya. “Bagian mana yang perlu gue bantu?” Laki-laki itu mendekatkan tubuhnya ke arah Dela, melihat kata-kata yang sudah Dela ketik di dalam laptopnya. Wajah mereka sangat dekat, kurang lebih sepuluh cm saja.
Dela berdehem, membuat Dave tersadar kemudian menarik kembali tubuhnya. “Bagian ini, bagaimana pendapat kita tentang pelayanan kesehatan yang menyita perhatian kita,” kata Dela.
Dave mengangguk. “Berarti nggak perlu gue bantu.”
“Loh?”
“Karena nggak ada hal yang menyita perhatian gue selain kasur dan guling.”
Dela memutar bola matanya malas. “Ya ampun, Dave. Please, deh, kali ini aja lo tahanin itu ngantuk lo, kenapa sih maunya tidur mulu. Nggak ada gairahnya hidup lo.”
Dave memperhatikan lekuk tubuh Dela dari atas sampai bawah. “Dekat sama lo memang nggak ada buat gue b*******h, sih.”
Perempuan itu langsung memukul lengan Dave dengan kuat. Entah apa yang ada dipikiran laki-laki mageran itu.
“Gue tau gue nggak seseksi pacar-pacar lo itu,” ucap Dela tanpa melihat ke arah Dave.
“Gue nggak pernah punya pacar,” jawab Dave seadanya.
“Terserah, deh.”
Dave mengindikan bahunya, menatap Dela dengan tatapan yang tidak bisa diartikan sampai membuat Dela salah tingkah sendiri.
“Gue serius, Dave. Gue uda cari beberapa referensi dan ada yang menyita perhatian gue, yaitu tentang pelayanan di rumah sakit.”
Dave melipat tangannya seperti anak SD yang bersiap pulang, menatap Dela dengan tatapan ngantuk bercampur datar, seperti semula.
“Seperti yang kita tahu, saat berobat ke rumah sakit apalagi rumah sakit besar kita harus mengisi bagian administrasi terlebih dahulu, pihak administrasi akan meminta identitas kita seperti Ktp, Kartu Keluarga, bahkan tak jarang muncul pertanyaan pernah berobat di sana atau tidak, punya kerabat keluarga yang pernah berobat ke sana atau tidak.”
Dave masih mendengarkan Dela yang terus berbicara dengan hal yang menyita perhatiannya itu. Sebenarnya Dave ini tidak bodoh, Ip nya saja tinggi, selalu 3,5 tidak pernah di bawah itu. Hanya saja, dia lebih sering malas dan mageran, yang ada di dalam dirinya hanya tidur, menikmati keseksian perempuan yang mengejarnya, dan tidur lagi.
“Nah, jadi menurut gue, kenapa mengisi bagian administrasi itu harus di awal? Apa tidak bisa di akhir saja? Semua orang pasti tau, kalau datang ke rumah sakit pasti sedang merasakan sakit dan butuh pertolongan secepatnya. Bagaimana kalau pihak keluarga yang membawa pasien itu lupa membawa identitas diri karena terlalu terburu-buru untuk mendapat pengobatan? Bukannya itu membuat pelayan kesehatan menurun dan membuat si pasien semakin merasa sakit?” tanya Dela pada Dave.
Dave masih menatap Dela, entah sedang berpikir mengenai pertanyaan Dela, atau berpikir yang lain, Dela sendiri pun tak tau. Ekspresi wajahnya sulit untuk dibaca.
“Lo dengerin gue nggak sih, Dave?”
Dave mengangguk. “Denger kok, ini gue lagi mikir. Karena gue tim orang yang nggak suka ribet, maka gue setuju sama pemikirian lo. Seharusnya menanyakan identitas diri lebih baik di akhir saja saat si pasien sudah mendapatkan pelayanan.”
“Iya kan? Kasian pasiennya kalau lama mengurus administrasi, belum ngantrinya lama lagi.”
Dave mengangguk lagi. “Tapi mending nggak usah sakit, sih, menurut gue. Sakit itu ribet.”
“Ya, semua orang juga maunya nggak sakit, Dave. Tapi Tuhan yang ngasih rasa sakit itu, biar dosa keangkat sebagian.”
Dave menggaruk tenggorokannya, meneguk minumnya yang tersisa sedikit. “Bagi minum lo dong.”
Dela mengambil minumnya, memberikannya pada Dave. “Kenapa lo?”
“Tenggorokan gue gatal kalau ngomong panjang kayak tadi.”
Astaga
***
Lagi-lagi Dave telah mengeluarkan sisi kemanusiaannya, dan sepertinya tidak tersisa lagi. Setelah kerja kelompok tadi, Dela meminta Dave untuk menemaninya ke pantai, karena rasanya sudah sangat lama dia tak ke sana.
Awalnya Dave tak mau, dia sudah merindukan bantal dan gulingnya. Tapi ingatan tentang Dela yang menangis di jalan itu terlintas di kepala Dave, dan mau tak mau dia mengantarnya.
Sekarang, di sini, di pantai. Dela terlihat asik duduk dipinggir pantai, memainkan pasir dengan tangannya. Karena kakinya masih luka, Dela tak bisa banyak bergerak.
“Dave, lo nggak mau duduk di sini sama gue?” tanya Dela yang tak dijawab oleh Dave.
Begitu sampai di pantai, Dave langsung memesan satu pondok untuk tempatnya tidur. Alih-alih tertidur, Dave malah mengingat kenangan masa lalu di pantai. Kenangan yang sangat Dave ulang tapi tak bisa.
Dave menegakkan tubuhnya, matanya menatap Dela yang sedari tadi tersenyum. Perempuan itu tidak jelek, dia manis dengan senyum menawan dan kulit eksotis yang ia miliki. Merasa telah memuji Dela, Dave menggelengkan kepalanya dengan kuat.
Dela sangat menyukai pantai, Dela seorang Thallasophile yaitu seseorang yang begitu menyukai laut. Namun, tuntutan orang tua membuat Dela tak bisa membagi waktu untuk sering-sering berkunjung ke pantai.
Untungnya, kerja kelompok hari ini selesai dengan cepat. Dela memiliki waktu untuk mengunjungi pantai—lagi.
“Terima kasih Dave,” jerit Dela membuat Dave tersenyum tipis.