Malam yang ditunggu anakku pun telah tiba ....
"Ma, bagaimana penampilan, Rara ini? Sudah oke kah?" tanya gadisku saat baru saja keluar kamar. Ternyata diamnya dari tadi di kamar tengah berhias. Memang sudah dewasa, namun entah kenapa aku masih saja menganggapnya remaja. Meski begitu, Rara tidak tumbuh menjadi gadis yang manja.
"Cantik dong, Sayang. Siapa dulu? bidadari, Mama!" Penampilannya kali ini memang terlihat berbeda. Dres warna putih yang ia kenakan begitu cocok di tubuhnya. Rambut panjangnya yang lurus, tergerai begitu indah. Bila aku memandang fisik putriku, ia terlihat sempurna. Namun, entah, bagaimana kisah percintaannya nanti. Tapi doaku, semoga tidak mendapat seorang suami yang berkelakuan seperti Ayahnya.
Berbicara soal suami, aku baru sadar, ternyata gadisku sebentar lagi akan menikah, meski belum tahu kapan waktunya. Yang pasti, dia telah dewasa. Bagaimana aku mengatakan pada Ayahnya nanti? Setelah bertahun-tahun, aku menghilang, tiba-tiba memintanya untuk menikahkan putriku. Apa ia bersedia?
"Mama ini, akhir-akhir ini bengong terus. Kenapa sih, Ma?" tanya Putriku bergelayut manja dipundakku.
"Ma, lagi mikirin cari pendamping, ya?" godanya.
"Apaan sih kamu, Dek. Mama itu tidak pernah berpikir untuk menikah lagi. Tahu kenapa?" Putriku menggeleng.
"Bagi, Mama, menikah itu cukup sekali. Dan lagi pula, Mama sudah punya kamu. Kamu itu, permata yang paling berharga untuk, Mama. Jadi selama ada kamu disisi, Mama, itu semua sudah cukup. Mama hanya ingin menyaksikan kebahagiaanmu kelak."
"Tapi, Ma … Mama masih muda. Mama pasti butuh pendamping. Rara tidak keberatan kalau memang, Mama mau menikah lagi," ujarnya. Aku hanya menggeleng dan mencium tangannya. Tidak pernah terpikir olehku untuk menikah lagi.
"Oh, iya, kapan Mama mau ajak Rara ke kuburan, Papa?" tanyanya mampu membuatku tersentak. Astagfirullah, aku memang mengatakan bahwa Ayahnya sudah meninggal. Tapi, sepertinya aku sudah tidak bisa menutupi sebuah kebohongan lagi. Karena pada akhirnya dia pun akan tahu kebenarannya.
"Nanti lah, Dek. Lagian, kuburan Papa jauh, Rara tolong mengerti, Mama. Kalau Mama pulang kesana, otomatis kembali teringat, Papa dan Nenek." Aku masih berusaha untuk berkilah.
"Oke, baiklah, Mama." Rara terduduk sambil memainkan ponselnya.
"Lho, katanya mau pergi ke acara pemilik perusahaan? Kok malah santai. Berangkat-lah supaya tidak terlambat," ucapku.
"Rara tunggu jemputan, Nando, Ma."
"Oh. Oke." Aku kembali diam. Memainkan ponsel untuk membalas chat pelanggan yang memesan pakaian untuk dikirim besok.
"Ma!"
"Hum!"
"Mama waktu nikah sama, Papa umur berapa tahun, Ma?" tanyanya.
"20 tahun, Sayang. Kenapa bertanya seperti itu?"
"Tidak apa-apa hanya ingin tahu umur, Mama. Kenapa masih cantik saja di usia yang menginjak kepala 4. Hamil aku saat umur berapa, Ma?" Dia kembali bertanya.
"Mama saat hamil kamu usia 23 tahun. Saat usia kehamilan mama menginjak 3 minggu, Papa meninggal." Kebohongan terus yang aku ceritakan pada putriku. Sebenarnya aku merasa bersalah. Hanya saja aku belum berani untuk berkata jujur.
"Papa meninggal berarti sudah sekitar 20 tahun ya, Ma? Seusia aku?" tanyanya lagi sambil mata terus terfokus ke layar ponsel.
"Iya, Sayang…." Putriku itu memang cerewet.
"Ternyata hari ini hari ulang tahun pernikahan bosku yang ke 20 tahun, Ma. Ini kali pertama aku melihat langsung pemilik perusahaan yang katanya mirip aku. Hahahaha." Rara bercerita sambil tertawa. Aku hanya menggelengkan kepala.
"Mentang-mentang namanya sama dengan nama, Papaku, masa ia wajahku dibilang mirip beliau. Mungkin yang melihat bisa saja sakit mata," ucapnya lagi. Namun, aku lebih memilih diam tidak menjawabnya.
Tin… Tin ….
Terdengar suara klakson motor dari luar, mungkin teman Rara sudah datang
"Ma, aku berangkat dulu. Nando sudah di depan," pamitnya. Rara mencium punggung tanganku dan berlalu.
"Hati-hati, Dek!" teriakku.
"Iya, Ma!" jawabnya.
Aku jadi merasa penasaran dengan Adrian bos anakku itu, kenapa bisa kebetulan begitu? Hari ini hari ulang tahun pernikahannya yang ke 20, bertepatan dengan 20 tahunnya pernikahan Mas Adrian dan Tania. Semoga saja bukan mereka. Nama Adrian itu banyak, bukan hanya nama mantan suamiku. Aku masih mengingat jelas wajah tampannya, juga pengkhianatan-nya, apa mungkin dia juga masih mengingatku?
Ting … Ting …!
Notif ponselku membuyarkan lamunan. Segera kubuka pesan itu. Dari Rara rupanya. Rara mengirimkan sebuah foto dengan seorang gadis seusianya. Wajahnya terlihat manis dan memang mirip dengan, Rara. Jangan-jangan kembaran Rara yang tertukar.
[Ma, apakah wajahku dan wajah anak, Pak Bos memiliki kemiripan?] Emot tawa yang menampilkan gigi rata ia tambahkan.
[Ia … mirip, Sayang. Mungkin kembaran kamu yang tertukar] balasku dengan menambah emot tawa terbahak.
[Ma, ternyata Dila ini sangat ramah. Aku salah menilai dia. Katanya mau main ke rumah kita, Ma.]
[Boleh, Sayang. Ajak saja.]
[Oke, aku lanjutkan acaranya dulu, Ma. Oh iya, ternyata bos Rara itu sangat baik. Hanya saja istrinya sedikit jutek. Rara langsung akrab dan merasa nyaman, Ma. Kayak Papa sendiri.] balasnya lagi. Aku hanya tersenyum dan tidak lagi membalasnya. Syukur, kalau bosnya baik.
Ternyata tinggal hanya berdua dengan Rara dan tak punya sanak saudara rasanya begitu sepi. Anehnya, kesepian ini kurasa saat Rara sudah mulai bekerja. Biasanya dia menonton TV sambil memainkan ponselnya. Sedangkan aku sibuk mempacking pesanan pelanggan. Kalau sekarang, Rara sering berpergian karena harus menghadiri acara-acara kantor.
******
Sudah jam 23.00 malam, kenapa Rara belum juga kembali. Mataku juga sudah mulai mengantuk. Kucoba menghubungi ke nomor ponselnya tidak aktif. Membuat diriku merasa panik. Apalagi dia anak perempuan. Kebetulan aku memiliki nomor Nando, segera ku-hubungi ponsel Nando.
"Allhamdullillah, terhubung."
"Halo Asalamualaikum." Terdengar suara Nando di seberang telepon.
"Walaikumsalam, Nando. Allhmdullillah diangkat."
"Iya, ada apa, Tante?" tanyanya.
"Nan, apa kamu masih sama, Rara? Kok sudah jam sebelas malam masih belum pulang ya? Tante khawatir," jawabku. Bukan apa, sebab Rara anak perempuan. Jadi wajar kalau aku sebagai Ibu sangat mengkhawatirkannya.
"Waduh, aturan udah pulang diantar sama anak, Pak Adrian, Tante. Tadi acaranya juga selesai pukul 22.00," pungkasnya.
"Ya Allah, kemana ya? Tante panik, Nand. Takutnya Rara dan anak Pak Adrian kenapa-kenapa. Sebab sudah larut malam begini," ucapku cemas. Ada rasa mau minta tolong diantar kembali ke tempat acara tadi. Siapa tahu Rara masih di sana.
"Tante, tenang dulu ya. Apa kita coba susul ke rumah, Pak Adrian?" tawarnya. Tanpa menolak aku pun segera mengiyakan.
"Ya udah, Tante tunggu di depan rumah. Sepuluh menit lagi, Nando sampai," ucapnya seraya memutuskan panggilan. Segera aku pun meraih kerudung dan memakainya.
⭐⭐⭐⭐
"Asalamualaikum, Tante. Ayok naik," ajak Nando. Aku mengangguk dan segera duduk di atas motornya.
"Hati-hati, Tante," ucap Nando karena posisiku duduk menyamping.
"Iya, Nand. Terimakasih banyak sudah mau antar Tante ke rumah Pak Adrian. Lagipula kan ini juga menyandung anak beliau. Takutnya kenapa-kenapa karena mereka anak perempuan."
"Iya, Tant. Nando paham kok." Allah, waktu sudah semakin malam. Semoga tidak terjadi apapun dengan gadis semata wayangku itu. Sungguh aku tidak siap kalau Rara sampai kenapa-kenapa. Hanya dia satu-satunya yang kupunya. Harta yang paling berharga sehingga membuatku mampu melanjutkan hidup.
⭐⭐⭐
Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit, Nando menghentikan motornya di depan rumah besar. Aku pun turun karena Nando bilang kami telah sampai. Aku biasa saja melihat rumah sebesar ini, karena dulu pun aku pernah tinggal di rumah yang lebih besar. Hanya saja, justru rumah itu seperti neraka yang akhirnya mampu menyiksa hatiku sampai saat ini.
"Permisi, Pak!" teriak Aldo.
"Iya, ada apa?" tanya Satpam rumah yang bernama Yanto.
"Saya mau menanyakan keberadaan, Rara. Apa masih ada di sini, Pak? Sebab belum sampai di rumah. Katanya tadi mau diantar pulang boleh anak Pak Adrian," jawabku pada Satpam itu.
"Silahkan masuk." Pak Satpam membukakan pintu gerbangnya, aku dan Nando pun melangkah masuk.
Sampai di depan pintu yang cukup besar, Nando menekan bel rumah. Allah, jantungku berdegup begitu hebat. Semoga Putriku ada di sini.
"Siapa?" Teriak suara perempuan dari dalam. Suara itu, suara dua puluh tahun yang lalu. Mungkinkah dia? Ah tapi tidak mungkin.
"Siapa sih, Ma. Bertamu malam-malam! Buka, Ma," balas seorang laki-laki. Suara itu seperti aku pernah mendengarnya. Suara yang juga tak asing di telingaku. Sejenak dengkulku melemas, jantungku semakin berdegub cepat tak beraturan.
Krek!
Bola mataku membulat ketika melihat seseorang yang membuka pintu. Gemetar seluruh tubuhku saat kembali lagi melihatnya setelah bertahun-tahun ….