Rupanya kejutan dari suamiku membawa Sandra datang ke rumah untuk memberi tahu kalau mereka akan menikah. Bagus lah kalau seperti itu. Selama ini aku bertahan selain karena tubuh gendut dan wajah kumel, juga karena memikirkan kedua putriku. Mereka masih kecil dan masih membutuhkan kasih sayang seorang Ayah. Percayalah, bagiku kebahagiaan mereka yang utama.
Untuk masalah perasaan, itu urusan nanti. Sudah nasib menjadi istri yang buruk rupa di caci maki oleh suami dan mertua. Akupun menyayangkan tubuh yang naik dratis hingga melebihi kapasitas. Bukan hanya itu, wajah yang dulu glowing, kini harus berjerawat seperti bisul dan hitam serta berminyak. Sungguh wajahku kini sangat mengerikan.
Mungkin dipandangan Bang Bara aku seburuk itu? Atau justru lebih seram karena ditambah tubuh yang juga melebihi kapasitas. Oh, andai waktu bisa kuputar kembali, pasti aku tidak akan abai pada penampilan. Sekarang aku harus berjuang untuk membuktikan pada suami dan orang-orang yang suka memanggilku gendut tak beraturan. 'Semangat Tiara!'
*****
Bang Bara tadi mengusirku pergi, meski tak menjawab, aku tetap memasukan semua pakaian ke dalam koper. Setelah semuanya rapi, aku beralih ke kamar anak-anak dan merapikan pakaian mereka.
"Bunda lagi ngapain? Kok pakaian Kaka dimasukan koper," celoteh Nanda.
"Kita mau nginep di rumah Nenek. Di tempat Om Jaya sama Tante Milka."
"Ye …!" Nanda kegirangan.
Mendengar triakan Nanda, Nindi terbangun. Dia mulai mengucek mata mengumpulkan nyawa, terlihat lucu
dan menggemaskan.
*****
"Anak-anak siap berangkat?"
"Siap, Nda."
Keduanya berjalan di belakang mengikutiku. "Jangan lupa tutup pintu kamarnya," ucapku mengingingatkan.
"Sudah, Nda."
****
"Eh, kalian mau kemana?" Suara Ibu menghentikan langkah kami.
"Lha, bukankah anak Ibu sudah mengusirku?"
"Itu kan karena Bara sedang marah!" Ibu berkilah sambil bertolak pinggang seperti orang paling benar.
"Ada apa si? Berisik banget! Ganggu orang istrahat tau gak! Eh kalian berdua! Ngapain tu pegang-pegang koper segala?!" Ida tak kalah berang setelah keluar dari kamarnya.
"Ini lho, Kakak iparmu mau minggat," celetuk Ibu. Si kembar yang ketakutan bersembunyi dibalik punggungku.
"Lho, aku gak minggat! Bukannya Ibu juga dengar sendiri anak Ibu ngusir saya!" sahutku.
"Aduh, Mbak Tiara, jangan lebay deh! Emang pingin banget gitu ya ditinggalin sama Bang Bara? Emang udah yakin? Enggak nyesel keluar dari rumah ini? Mbak Tiara harus siap dong hidup jadi janda! Mau?" Kubiarkan dia berkicau seperti burung beo. "Enggak sadar diri banget sih! Dasar Kingkong!" Kicaunya terus memaki.
"Udah selesai ngomongnya? Masih mau ngomong? Lanjutkan biar saya dengar." Nanda dan Nindi semakin erat memelukku.
"Pokoknya, aku sudah menghubungi Bang Bara, kalau Mbak Tiara berani keluar selangkah saja dari rumah ini, Bang Bara tidak segan-segan menceraikan Mba Tiara!" ancamnya.
"Aduh … kamu pikir saya takut berpisah dari Abangmu? Justru saya bahagia! Bilang sama Abangmu itu, saya tunggu surat cerainya di rumah orang tua saya! Masih tau kan alamatnya? Suka tidak suka, saya dan anak-anak tetap pergi dari sini!" Kujawab lantang ucapan-nya sambil berlalu pergi, Nanda dan Nandi mengikuti dari balkang. Aku tidak menggandeng mereka karena kedua tanganku harus menarik koper.
****
Sampai di depan rumah, aku menunggu taksi yang lewat. Untung Ibu sudah memberiku uang. Kalau menunggu di jemput oleh Bang Jaya, takut sampai bertemu Bang Bara. Malas aku berdebat dengannya karena ini adalah lingkungan keluarga dia. Yang ada aku di keroyok orang satu rumah.
"Taksi!" Kusetop taksi yang lewat tepat di depanku.
"Anak-anak masuk!"
"Iya Nda." Tidak ada protes dari mulut mereka. Setelah menaro koper di bagasi, aku duduk di samping pak sopir.
"Pak jalan pinang perak enam."
"Siap, Bu."
****
Sepanjang jalan, dering ponsel terus berbunyi, kulihat layar nama Bang Bara yang tertera. Semakin lama panggilan itu sangat mengganggu, akhirnya nada dering kusilent.
Banyak pesan berisi makian hingga ancaman yang dikirim oleh Bang Bara. Namun, aku enggan untuk membalasnya.
****
Menjelang Maghrib, aku baru tiba di rumah Ibu karena jalanan Ibu kota sangat macet.
"Asalamualaikum," ucapku yang langsung dijawab serempak oleh keluargaku. Mereka sedang berkumpul di ruang keluarga yang juga menjadi ruang tamu. Melihat aku membawa koper besar, tatapan mata mereka penuh tanya.
"Nenek … Nenek … tadi Bunda berantem sama Tante Ida dan Nenek Uti," seloroh kedua anakku sambil memeluk Neneknya. Ibu, Ayah, dan Bang Jaya serta Mba Milka menatap bersamaan ke arahku.
Aku menarik nafas dan duduk menghambur dengan mereka.
"Benar kata anakmu?" tanya Ibu. Dengan menghirup nafas dalam-dalam aku mengangguk mantap.
"Kenapa kalian berantem di depan anak-anak?" sergahnya.
"Ya seperti itu memang mertua dan Iparku. Mana ngerti sama situasi," lirihku.
"Dengan siapa kalian ke sini?" Bang Jaya ikut bertanya.
"Naik taksi, Bang," ucapku.
"Bara?!" cetus Ayah.
"Lagi nganterin calon Istrinya, Yah," jawabku santai. Entah, rasanya biasa saja, tidak ada rasa sakit, mungkin karena sudah terbiasa disakiti, jadi hati ini sudah kebal dengan luka.
"Kamu diam saja?" celetuk Mba Milka.
"Aku suruh ngapain, Mba? Mengemis cinta Bara? Tidaklah, aku sudah ikhlas, sepertinya ini memang jalan terbaik. Hidup bersamanya hanya menimbun luka berkepanjangan. Aku ingin menata lagi hidupku yang telah hancur, Mba." Tidak ada sedikitpun air mata yang kukeluarkan. Namun, meski demikian ada rasa sesak luar biasa di dalam hati.
Ibu bergeser duduk di sebelahku lalu menepuk pundakku.
"Sabar ,,,," ucapnya lirih.
"Tiara gak masalah kok, Bu. Serius Tiara ikhlas."
"Ayah kira hidupmu sangat bahagia, melihat tubuhmu sangat segar," goda Ayah. Ibu mencubit pinggang Ayah, sampai Ayah mendengus kesakitan.
"Justru itu, Yah … yang membuat Bara menduakan Tiara. Tubuh gendut Tiara dan wajah buluk Tiara yang menjadi alasan," jujurku pada Ayah.
"Tapi kan Bara pria pilihan Ayah. Ckckckck." Aku tertawa sedang Ayah menatap nanar ke arahku. Matanya merah seperti hendak mengeluarkan air mata. Aku menyadari ada bulir bening yang hendak menetes di pipinya.
"Ayah, jangan sedih. Nih liat, Tiara aja bahagia. Jangan menyesali yang telah terjadi, kalau Tiara tidak menikah dengan Bara, tidak mungkin ada dua cucu manis seperti mereka." Semua hanya terdiam, aku tersenyum lalu, melanjutkan ucapanku. "Bagi Tiara, harta paling berharga adalah mereka." Aku menunjuk ke arah Nanda dan Nandi.
"Putri bungsu Ayah memang terbaik," pujinya.
Tidak terasa sudah tiba waktu shalat maghrib, kami semua melakukan shalat berjamaah.
*****
Selesai shalat, obrolan hangat kami berlanjut. Karena pancingan dari Mba Milka, aku menceritakan keinginanku. Ya, keinginan untuk melakukan program penurunan berat badan dan wajahku yang ancur berkrikil ini. Aku ingin membuat Bara menyesal telah menghina dan memakiku. Tapi sebenarnya, hinaan mereka menjadi cambuk penyemangat untukku.
"Oke, hari ini Mba Milka akan menghubungi dokter kulit langganan, Mba," ucapnya.
"Jadi, mulai besok kamu harus rajin Diet. Urusan anak-anak serahkan pada Ibu," ucap Ibu membuat hatiku berbunga-bunga. Ditambah Ayah dan Bang Jaya juga menyemangatiku.
'Terima kasih, Ya Robb atas nikmat luar biasa ini.'
"Bang, nanti kalau Tiara sudah berhasil, carikan Tiara kerja ya? Teman-teman Abang yang jadi pengusaha kan banyak," pintaku pada Bang Jaya.
"Kamu bisa kerja di perusahaan Ayah seperti Abang. Ckckckck." Bang Jaya hanya tertawa."
"Jangan, Bang. Tiara ingin mengenal dunia luar," ucapku.
****
Saat sedang asyik bersenda gurau, Bara datang tanpa mengucap salam. Dengan tergesa-gesa dia langsung menghampiriku.
"Pulang!" ucapnya kesetanan. Bersyukur kembar ada di kamar Wahyu.
"Aku gak mau, Bang! Kamu sendiri yang mengusirku!"
"Pulang kataku!" bentaknya sambil menarik kasar tanganku.
"Lepasin adik gue, Bara!" triak Bang Jaya sambil menarik tanganku yang satunya.
"Lo gak usah ikut campur urusan rumah tangga gue! Lepasin Tiara!" Bara menarik tanganku lebih kencang lagi. Rasanya sakit.
"Kamu lepasin Tiara! Memang tidak bisa berbicara secara baik-baik?" Ayah ikut menimpali.
"Tiara istri, Bara! Ayah tidak usah ikut campur!" ketusnya.
"Aku mau cerai, Bang!" pekiku.
"Sampai kapanpun aku tidak akan menceraikanmu!" tandasnya.
"Bukankah sudah ada wanita baru dalam hidupmu? Lalu untuk apa gunanya aku? Lepaskan!" Aku terus memberontak.
"Kamu sadar diri dong! Lihat dirimu! Jauh dari kata sempurna! Menjijikan! Jadi wajar kalau aku mencari wanita baru untuk memenuhi hasratku!" sentaknya membuat Bang Jaya melotot marah.
"BARA!!!!!!! Jaga mulut lo b***ngan!"
Buk!
Buk!
Buk!
Buk!
Bang Jaya menghajar Bara hingga mulutnya mengeluarkan darah segar.
Setelah itu m