Ketika kalian pikir dengan wajah imut Velly akan lolos dari hukuman. Jawabannya sudah pasti salah. Bahkan Kayna terdengar berkali-kali menghela napas mengingat perkataan konyol temannya itu.
“Bah, coba kalau lo nggak ngomong begitu, Vell. Sekarang kita udah boleh balik mungkin,” keluh Adresia sebal. Kepala yang tadinya berdiri tegak, kini menunduk sedih. Meratapi nasib yang hanya bisa melihat teman-teman ospeknya yang melenggeng pulang dengan wajah sumringah.
Evano tertawa pelan melihat tingkah Adresia. “Lebay lo!”
“Apa sih nyahut aja,” sindir Adresia sambil menatap Akmal tajam.
Setelah mendengar penuturan Velly beberapa saat yang lalu, kelompok Ubur-Uburnya Spongebob berisikan Evano, Izzan, Adresia, Kayna, dan Velly mendapatkan hukuman setelah ospek. Jika, di SMA hukumannya adalah membersihkan layaknya petugas kebersihan. Sangat berbeda saat masuk dunia perkuliahan.
Karena mereka mendapatkan hukuman yang sangat membosankan yaitu, memasang kode buku di perpustakaan. Kalau hanya dilihat memang sedikit menyenangkan hukuman seperti itu, apalagi ditambah fasilitas wifi yang memang diperuntukkan untuk pengunjung.
Akan tetapi, buanglah jauh-jauh ekspetasi kalian tentang perpustakaan senyaman di SMA. Karena yang ada di depan mata mereka adalah perpustakaan yang sangat tidak layak huni. Bagaimana bisa, pintu saja dijadiin sarang laba-laba.
“Ini beneran perpusnya? Kita enggak salah alamat, ‘kan?” tanya Velly memegang lengan kanan Kayna dengan sesekali ia menyembunyikan wajahnya di balik pundak mungil Kayna ketakutan melihat suasana perpustakaan itu terlihat menyeramkan.
“Keren, ya. Kampus setenar ini punya perpus mirip rumah hantu,” puji Izzan menatap di depannya dengan berbinar.
Evano menoyor pelan kepala Izzan sambil berkata, “Lo itu mau perpus mirip rumah hantu begini aja masih sempat-sempatnya muji.”
“Sok iye lo,” sinis Adresia.
Perang dingin antara Evano dan Adresia pun tidak bisa dihindarkan. Adu tatapan pun terjadi. Sementara Izzan dan Kayna kompak memutar bola mata malas. Kedua manusia berbeda jenis kelamin itu memang sangat tidak menyukai perdamaian ternyata.
“Aish, pusing kepalaku. Kalian berdua mau bertengkar atau ngejalanin hukuman, sih? Aku mau pulang nih,” gerutu Kayna kesal. Sesekali ia melirik ponselnya yang terus bergetar.
Mata Kayna mengitari sekeliling, dirinya takut jika ada salah satu panitia ospek memergoki tengah bermain ponsel. Bisa disita ponsel kesayangannya itu. Padahal itu adalah salah satu nyawa Kayna untuk bertahan di kerasnya ibukota.
“Mending kabur aja, deh. Lo pada emangnya mau ngambilin buku dari perpus itu?” tanya Adresia memastikan. Kalau dilihat seperti ini, jiwa kepemimpinan Adresia sangat terlihat sekali. Jika, kalian menganggap Adresia adalah perempuan preman, sudah pasti salah. Gadis itu galak karena timing pas untuk bercanda.
Jika, banyak yang mempertanyakan sifat Adresia bagaimana sudah pasti kalian anak terkejut, sebab gadis itu sangat-sangat berbeda jika sudah beralih pada sifat aslinya yang sangat netral. Karena gadis itu mempunyai sifat yang tidak mudah ditebak, selain sifat netal yang melekat indah di dalamnya.
“Gue ogah,” sahut Evano cepat sambil membuang muka ke sembarang arah.
“Ikut aja lo, bhambank!” ejek Adresia kesal. Dahi gadis itu bahkan ikut mengerut dalam, menandakan kesal double-double kuadrat.
Suara tepukan tangan terdengar tiga kali. Sama seperti irama milik salah satu pesulap terkenal yang bernama Pak Tani. Beliau, khas sekali jika membawakan sulap yang identik dengan suara tepukan tangan dari para penontonnya.
“Bimsalabim jadi apa prok prok prok,” ucap Velly sembari memperagakan salah satu trik sulap yang ada di televisi kala itu.
Kayna melirik teman barunya itu malas. Sepertinya Velly memang terlalu polos untuk ukuran seorang calon maba. Bahkan sikapnya pun masih sangat anak-anak yaitu, asal bunyi dan tidak peduli.
“Allahu akbar! Kalian ternyata sibuk ngerumpi, ya. Lupa sama hukuman? Atau kalian pura-pura amnesia?” tanya panitia ospek berkuncir kuda. Tatapannya setajam silet, lengan putih mulus itu menata indah di samping pinggang ramping kanan-kiri.
Sepertinya panitia itu satu komplotan dengan panitia lainnya, namun yang membuatnya berbeda adalah almamater yang dikenakannya berwarna biru. Sepertinya dia anak bisnis.
“Gue kira beneran ada Pak Tani,” kata Adresia sambil menggeleng-geleng kepalanya pelan.
Gadis yang awalnya Adresia pikir sangat pintar, ternyata bodoh juga. Jika ada pepatah mengatakan ‘Jangan menilai buku dari cover-nya’ sangatlah betul. Sampul Velly berwajah imut dan menggemaskan, tetapi siapa sangka dia merupakan gadis terpolos yang pernah ada di ibukota.
Kalau dipikir terlalu polos gampang diculik itu tidaklah benar, karena penculik pun mikir-mikir untuk menangkap orang, jika modelannya seperti Velly. Karena penculiknya saja sudah lari duluan, saking polosnya bikin orang gemas-gemas ingin mencekik.
“Virus polos Velly sudah menyebarluaskan hingga ke Adresia yang biasanya bar-bar. Sekarang malah udah kayak bocah,” ejek Evano tanpa memerdulikan wajah panitia ospek itu yang memerah kesal.
Gelak tawa terdengar dari Kayna. Sementara Izzan hanya menggeleng takjub. Pemuda yang awalnya Kayna sangka laki-laki cuek itu ternyata pria modelan santai dan tidak ambil pusing. Dia akan bersikap santai jika memang bercanda.
“Kalian ini enggak ada takut-takutnya sama saya?” tanya panitia ospek itu sedikit kesal. Tentu saja semua orang pasti akan kesal jika keberadaannya ditiadakan, apalagi tidak dianggap seperti ini.
Bukannya takut Evano malah semakin gencar menggoda. “Gue kira Adresia itu enggak mungkin terpengaruh, tapi nyatanya dia orang pertama yang terkontaminasi,” ejek Evano tertawa geli.
Adresia yang tidak mengerti kode dari Kayna pun hanya planga-plongo dan menatap Evano kesal. Tangan mungil itu terkepal kencang dan bersiap memukul wajah tampan lelaki itu. Namun, tinjuan itu bukanlah untuk Evano, melainkan salah sasaran mengenai wajah seseorang yang baru saja datang.
Tinjuan emosi itu tepat mengenai panitia ospek dengan hujan dari mulutnya. Sontak saja mata kelompok Ubur-Uburnya Spongebob terancam keluar. Jika ada yang bilang tinjuan itu hanyalah bualan, jawabannya salah besar. Pipi tegas itu terancam membengkak akibat tinjuan maha dahsyat dari Adresia. Perempuan dengan predikat atlet karate internasional.
Atha Hafizh Alfarezi, nama yang menempel di almamater fakultas berwarna merah. Terpampang jelas wajah terkejut itu hingga tanpa sadar Kayna hampir saja menjatuhkan rahangnya, jika Velly tidak segera menutupnya paksa.
“Kelompok kalian tidak ada kapok-kapoknya, ya!?” bentak laki-laki dengan hujan dimulut, atau biasa di sapa Atha. Menatap wajah baby face milik Adresia tajam.
Bukannya takut, Adresia justru mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Menantang laki-laki yang sudah sejak tadi membuat gadis itu emosi kuadran. Sebenarnya Adresia bisa saja melawan, namun dia masih sadar diri dan tidak ingin membuat masalah lagi. Jadi, sebaiknya cari aman daripada nyawanya terancam.
“Maaf, Kak. Adresia enggak sengaja,” ungkap Velly pelan. Kepalanya pun ikut menunduk, menandakan penyesalan.
Adresia menatap Velly kesal. “Apa sih, Vel. Jangan sok nurut gitu! Mereka kelewatan menurut gue,” seru Adresia tanpa takut. Tatapannya menatap Atha tajam.
“Sudah, Res. Kita yang salah,” ujar Kayna menengahi. Dirinya takut jika masalah ini akan dilanjutkan sampai besok, karena hari sudah semakin sore. Tandanya kampus akan segera ditutup.
Adresia maju selangkah mendekati tubuh tinggi Atha. Gadis itu pun harus mendongak ke atas demi menatap wajah datar Atha.
“Jangan karena lo panitia ospek, jadi lo bisa semena-mena gini. Kampus mengadakan ospek untuk memperkenalkan bagaimana lingkungan perkuliahan yang sebenarnya. Dan kalian, apa dengan bersikap kasar seperti ini akan membuat kami segan? Salah besar!” papar Adresia tajam. Emosi sudah membutakan cara berbicara Adresia dengan benar.
Sontak para temannya pun menatap Adresia terkejut, mereka pikir Adresia tidak akan seberani itu, tapi nyatanya salah besar. Bahkan panitia ospek yang berkuncir kuda itu pun tampak meneguk air liurnya takut-takut.
“YANG SOPAN SAMA SENIOR!!!” bentak panitia kuncir kuda kencang. Matanya melotot tajam, namun tangannya berkeringat dingin. Serta peluh-peluh yang tadinya sedikit, kini terlihat semakin banyak dan membuat lelucon tersendiri bagi Kayna.
Berkali-kali gadis itu menarik napas pelan, takut-takut kelepasan dan tertawa di tengah pergulatan emosi dari Adresia dan Atha.
“Kalian sopan kami segan, Kak. Maaf kalau kesannya kita mengatur. Karena menurut gue, kalian terlalu kelewatan. Semakin kalian menekan kami, semakin kami juga menekan Kakak juga,” tutur Velly sopan.
Izzan menganga terkejut. Dia tidak menyangka Velly bisa sesopan itu berbicara. Ternyata teman sekelompoknya itu mempunyai banyak sifat yang tidak mudah ditebak.
Sementara Evano hanya diam dan memperhatikan. Pemuda itu nampak terkejut melihat teman perempuan dari kelompok yang bersikap layaknya mereka seorang kating.
“Baru kali ini gue nemuin calon maba yang enggak sopan,” celetuk Atha sinis. Namun, tatapannya beralih pada Velly yang sudah menunduk takut.
Adiba maju melindungi Velly di balik punggung mungilnya. “Kakak jangan mempersulit keadaan. Sesungguh barangsiapa yang mempersulit kaum lainnya adalah hal yang sangat tidak diperbolehkan. Begini deh, gue ulangi perkataan Velly tadi. Kakak sopan kami segan,” tutur Kayna yang diakhiri senyum tipis. Menatap Atha dan panitia ospek kuncir kuda dengan pandangan yang sulit diartikan.
Atha menggeleng. “Gue suka cara kalian melindungi satu sama lain. Bahkan untuk seorang laki-laki yang katanya bersolidaritas besar akan kalah dengan cara kalian,” puji pemuda itu sambil menatap Kayna tulus. Tidak ada kemarahan, hanya sebuah ketulusan dan pujian yang ada.
“Gue kagum sama kalian. Terutama lo, Adresia.” Panitia berkuncir kuda tersenyum lebar pada Adresia, yang bahkan tidak menunjukkan senyumnya barang sekecil pun.
***
Langit semakin gelap, tetapi Kayna tetap saja tidak berpindah sedikit pun dari persinggahannya. Pandangan gadis itu kosong, namun tidak dengan pikirannya yang melayang jauh di angkasa. Menetap pada sebuah minimarket tidak membuat Adiba menyelesaikan pekerjaannya.
Sebagai peyandang atlet karate sabuk hitam DAN 2, Kayna cukup mempunyai relasi dan perkenalan di berbagai tempat. Bahkan kerap kali gadis itu membantu mengajarkan pelatihan di salah satu dojo tempat dia tinggal, tetapi hal tersebut tidak membuat Kayna melupakan pekerjaan yang seharusnya dia kerjakan.
“Teh Kay?” panggil seseorang yang berada di dekat Kayna.
Kayna menoleh dan terkejut melihat tubuh kecil itu memeluk lututnya. “Netta, kamu sama siapa?” tanya Kayna mensejajarkan diri pada tubuh kecil Netta.
Kepala kecil itu tampak menggeleng, menatap wajah menggemaskan Kayna. Bola mata kecil nan bulat itu mengembun diiringi mulut mencebikkan kesal. Ia yang melihat tingkah menggemaskan Netta pun tertawa kecil dan mengusap kepala itu dengan sayang.
“Tadi Netta sama Kak Azka, tapi pas Netta balik lagi enggak ada. Netta mau pulang,” rengek Netta menggemaskan.
“Ya ampun, Netta pulang sama Teteh Kayna, ya. Ayo, Netta!” ajak Kayna sambil membereskan pelaratan ospek yang hampir saja terlupakan.
Motor matic usang itu kembali membelah jalan ibukota yang tampak sedikit lenggang dengan adzan maghrib yang berkumandang. Niat hati Kayna ingin berhenti sebentar, tetapi dirinya tidak tega membiarkan Netta berlama-lama di luar. Apalagi tubuh kecilnya yang sangat rentan dengan angin malam.
Dengan berat hati Kayna melewati beberapa masjid dan memantapkan hati membawa Netta dengan selamat sampai tujuan. Tangan mungil itu memeluk pinggang ramping Kayna erat, sepertinya tubuh kecil Netta mulai kedinginan.
Baru saja Kayna berhenti, tiba-tiba segerombolan laki-laki dengan wajah sangar menghampiri. Menatap wajah Netta dan Kayna secara bergantian, lalu pandangan terakhir jatuh pada gadis berwajah menggemaskan itu dengan tersenyum nakal.
Dalam hati Kayna pun bersikap was-was, sepertinya para pria itu berniat jahat. Dilihat dari penampilan serta cara mereka berpakaian sangat terlihat liar. Namun, tidak dengan pria yang sedari tadi berekspresi datar.
“Permisi, Bang! Saya mau lewat sebentar,” ucap Kayna sesopan mungkin. Berusaha menenangkan Netta agar tidak menangis. Sungguh ia takut jika tiba-tiba Netta berteriak dan hal yang tidak diinginkan pun terjadi.
Salah satu pria yang sepertinya ketua dari gerombolan itu pun maju mendekati bagian depan motor usang Kayna dengan radius tidak sampai satu meter.
“Mau lewat? Bagi duit dulu. Mana duit,” pinta preman itu menatap tajam wajah datar Kayna.
Dalam hati, Kayna geram sekali. Enak saja pria di depannya ingin meminta uang. Ia saja mendapatkan uang dari hasil pekerjaan freelance, sedangkan pria di depannya dengan tanpa dosa meminta begitu saja.
Pria berwajah datar menatap Kayna sekilas. “Udah lepasin aja. Gue lihat dia nggak ada tajir-tajirnya,” ejek pria itu enteng.
Mata Kayna berbinar mendengar ejekan yang menguntungkan baginya. “Nah, Bang! Saya ini anak orang miskin. Jangankan uang, punya motor butut gini aja masih bersyukur,” pungkas Kayna sesedih mungkin.
Pria sangar di depan Kayna tampak berpikir sebentar, lalu menatap wajah gadis itu jengkel sambil berujar, “Ya udah sono! Lo mah gak ada duitnya. Males gue.”
“Kalau begitu, permisi numpang lewat. Saya doain deh, semoga abang-abang ini dapat kerjaan biar lebih halal lagi uangnya,” kata Adiba melenggang pergi. Meninggalkan mulut ketua preman itu yang menganga tidak percaya.
“Bujuk busrak! Itu cewek modelan apa sih? Baru lihat gue,” sahut ketua preman itu sedikit kesal.
***
“Bunda, tadi Teh Kay ngajak preman yang di depan sana becanda,” celoteh Netta yang terduduk di pangkuan bundanya.
Aura terkejut dari Liani terlihat jelas, dan menatap Kayna tidak percaya. “Kay, tapi enggak apa-apa, ‘kan?”
Kayna menggeleng maklum. “Enggak kok, Bun. Lagi pula premannya baik, jadi enggak ada yang harus ditakutin.”
Wajah tampan Azka tampak berbinar ceria sambil berujar, “Wah, Teh Kay emang sering begitu, Bun. Kemarin aja waktu pergi sama Azka, dia malah ngajak becanda preman pengkolan. Anehnya mereka enggak pernah gangguin Teteh, cuma gertak terus menciut.”