Bab 7. Rencana Matang

1298 Kata
Lara masih memandang lekat sang suami, yang balik menatapnya dengan pandangan yang sama.  "Aku tetap tidak akan bercerai." "Kalau begitu, ikuti kemauanku?" "Apa itu? Katakan saja, selama ini aku selalu menuruti apa maumu, 'kan?" "Menikahlah dengan Sabrina. Jadikan Sabrina istri kedua kamu." "Apa?" Terkejut Arsa mendengar permintaan Lara.  Bukan terkejut karena ia tak mau, tapi bagaimana bisa ternyata tujuan wanita yang diincar keduanya adalah orang yang sama.  "Ya, Sabrina. Sekertaris kamu. Mintalah padanya untuk menikah denganmu. Aku akan lebih senang dan tentu saja setuju, jika wanita yang kamu pilih adalah dia." Arsa masih terdiam dalam keterkejutannya. Hingga dua orang pelayan membawakan makanan yang Lara pesan, Arsa masih belum bersuara.  "Silakan, Bapak dan Ibu!" "Terima kasih, Mas!" Lara tahu, lelaki di depannya itu tidak menyangka jika dirinya akan dijodohkan dengan sekretarisnya sendiri. Tapi sudah sejak setahun terakhir, Lara meyakinkan dirinya sendiri bahwa Sabrina layak bersanding dengan sang suami, Arsa.  "Bagaimana, Mas? Apa kamu setuju?" tanya Lara, memecah keheningan di antara mereka.  "Sepertinya itu hal yang sulit." Akhirnya Arsa membuka suaranya.  Kening Lara berkerut. Bagaimana suaminya menyimpulkan sesuatu, sebelum ia mencoba.  "Kamu 'kan belum mencoba?" "Udah." Lara cukup terkejut dengan pengakuan yang suaminya katakan. Jadi, apakah lelaki yang masih menyandang status sebagai suaminya, sudah mengincar gadis itu lama?  Melihat ekspresi terkejut dari wajah Lara, Arsa buru-buru menambahkan.  "Jangan salah paham dulu. Aku memang pernah meminta Sabrina supaya mau aku nikahi, tapi itu semua sesuai apa yang aku mau dan juga aku sudah katakan padamu, yaitu menjadi istri kedua untuk aku nikahi sebab kita yang tak kunjung diberi keturunan." Entah mengapa, bukan perasaan cemburu yang menghinggapi relung hati Lara. Wanita itu malah merasa jalan terjal di depan keduanya sedikit demi sedikit mulai terbuka. Lara merasa, dengan gerakan cepat yang dilakukan oleh Arsa dengan meminta Sabrina menjadi istri, tanpa ijin terlebih dulu padanya, meyakinkan wanita itu bila hubungan suami istri di antara mereka memang harus segera diselesaikan.  "Ya, aku mengerti, Mas. Jadi, sudah berapa kali kamu berusaha?" selidik Lara, ingin tahu.  "Ehm, aku lupa, entah dua kali atau tiga." "Sudah sebanyak itu, dan kamu tidak berhasil?" ejek Lara, yang kini sudah mulai menikmati hidangan makan malam di depannya.  "Seperti yang kamu katakan, tidak mudah mencari wanita baik-baik untuk dijadikan istri kedua hanya supaya melahirkan seorang anak." "Makanya aku bilang, ceraikan aku dulu." Semudah itu ucapan yang Lara lontarkan, tapi sayang tidak dianggap sesuatu yang mudah untuk Arsa terima.  "Jujur saja aku bosan mendengar kalimat itu, Ra!" Terdengar Arsa sedikit emosi.  "Ya sudahlah, baik. Lantas apa rencana kamu tadinya?" "Aku akan kembali meminta Sabrina untuk menikah denganku. Kalau sampai ia tidak mau, maka dengan terpaksa aku akan mencari wanita lain yang mau aku sewa rahimnya demi melahirkan seorang anak." "Astaghfirullah, Mas. Istighfar. Apa kamu mau berzina?" "Jangan sembarangan kamu. Tentu saja aku akan menikahinya terlebih dahulu, nikah yang didasari dengan surat perjanjian di dalamnya. Setelah anak itu lahir, maka tak ada lagi hubungan di antara aku dan wanita itu." "Bagaimana dengan status kita?" tanya Lara meratapi nasibnya.  "Aku akan mengikuti kemauanmu, yaitu kita berpisah, dengan syarat kalau sudah ada lelaki yang kamu sukai dan ia menyukaimu. Jika tidak ada, maka aku menganggap kamu memang masih setia untuk hidup bersamaku." "Ge-er banget." "Bukan ge-er, aku hanya berusaha menjaga kehormatanmu saja, Ra. Kalau kamu bisa mendapatkan lelaki itu sebelum aku menikah lagi, maka aku akan dengan senang hati melepaskanmu." "Baiklah, kalau begitu kita sepakat." Lara mengulurkan tangannya ke hadapan Arsa.  "Sepakat untuk apa?" Enggan menerima tangan sang istri yang sudah belepotan sambal.  "Ck, ya yang tadi. Pertama, kamu akan menikahi Sabrina —" "Kalau dia mau!" potong Arsa.  "Ya, pokoknya itu. Kamu akan menikahi sekertaris kamu kalau dia setuju. Dan kamu akan melepaskan aku kalau sudah ada lelaki lain di hati dan kehidupan aku." "Ya." "Salaman dulu dong!" "Enggak mau, tangan kamu kotor, Ra." "Oh, maaf," kekeh Lara, yang baru tersadar.  Keduanya pun menikmati santapan makan malam dalam suasana yang berbeda. Ada perasaan lega yang mereka rasakan di dalam jiwa dan pikiran keduanya. Mendapati ada sebuah rencana yang indah bagi kelangsungan hidup rumah tangga mereka.  Tetapi apakah rencana yang manusia buat akan sesuai dengan skenario Tuhan? Entahlah. Tapi satu yang pasti, keduanya merasa yakin akan jalan hidup bahagia yang akan mereka dapatkan.  "Jadi, usaha apa yang sudah kamu lakukan demi mendapatkan sekertaris kamu itu?" "Tidak ada. Hanya bicara sejujurnya pada gadis itu, kalau aku mencari istri untuk menjadi ibu bagi anak-anakku kelak." "Ck, itu saja?" sahut Lara seolah tak mengerti dengan cara sang suami yang menurutnya tidak serius dan romantis.  "Ya, apa lagi. Apa menurut kamu aku harus memberinya bunga mawar atau coklat seperti para ABG yang menginginkan seorang perempuan untuk menjadi pacarnya? That's impossible. Aku ini pria beristri, Ra." "Aku tidak mengatakan itu, kamu sendiri yang berpikir begitu. Tapi kenapa tidak kamu coba, Mas? Bukankah banyak lelaki di luar sana yang sudah beristri, namun masih mencari wanita lain untuk dijadikan istri kedua, menggunakan cara seperti itu?" "Aku bukan pria seperti itu?" jawab Arsa tak terima.  "Ya aku tahu kamu bukan tipe lelaki seperti itu. Tapi yang aku bilang tadi, kenapa tidak kamu coba. Wanita itu akan luluh bila selalu diberi perhatian oleh lelaki dengan cara-cara yang romantis." Arsa tampak berpikir. Dengan tangan yang ikut mencolek sambal terasi bersama lalapannya, Arsa seperti menyetujui ucapan istrinya itu.  "Baiklah, aku akan memikirkannya." Senyum mengembang menghiasi wajah Lara yang ayu. Apa pun caranya, wanita itu akan mendukung dan membantu sang suami mendapatkan keinginannya.  "Kamu harus memiliki target waktu, Mas. Jangan cuma mengikuti 'air yang mengalir'." "Ya aku tahu. Aku akan mencoba mendekati Sabrina dalam waktu sebulan ini. Kalau ia masih dengan keputusan yang sama, bulan depan mau tak mau aku akan mencari wanita lain yang aku nikahi secara kontrak." *** Di sebuah rumah kontrakan di pinggir ibukota, dua orang gadis terlihat panik dan khawatir. Mereka adalah Sabrina dan Nita. Dua gadis yang diam dalam satu rumah petakan dengan kehidupan sederhananya.  Keduanya baru saja mendapat kabar, kalau panti asuhan tempat mereka berdua pernah bernaung, tengah berada dalam kondisi gawat mengenai kepemilikannya.  Tanah di mana panti itu berdiri, rupanya menjadi sengketa dengan sebuah perusahaan. Sertifikat kepemilikan yang dipegang oleh pemilik panti, ternyata ganda. Entah bagaimana bisa terjadi demikian, tapi yang pasti posisi panti berada di ujung tanduk.  Jika saja bisa abai, tentu Sabrina dan Nita tidak akan peduli. Apalagi keduanya sudah memiliki kehidupan yang mandiri kini, tak penting jika mereka memikirkan apa yang saat ini tengah dirasakan oleh ibu panti dan juga orang-orang yang ada di dalamnya, dari para pengasuh terutama sekali anak-anak dan juga bayi yang hidupnya tak jelas nanti.  "Kita bisa apa, Sab? Lawan kita bukan sembarangan. Perusahaan apa yang kita tahu, walau kita bukan orang-orang atas, kalau PT yang kini sengketa dengan kepemilikan panti adalah perusahaan seperti besar." "Ya, aku tahu, Nit. Tapi, apakah kita akan diam saja seperti ini. Maksud aku, apakah kita tidak bisa mencari solusi membantu ibu panti demi posisinya yang sebetulnya bisa dipertahankan. Kita mana tahu jika sertifikat yang dimiliki selama ini adalah sertifikat palsu. Bukan pihak panti yang salah, tapi pejabat setempat yang bisa mengeluarkan sertifikat aspal, alias asli tapi nyatanya palsu." "Jadi.menurut kamu, kita harusnya menuntut pihak yang berwenang yang mengeluarkan surat palsu itu, iya?" "Kita akan kalah kalau gitu. Kita enggak akan pernah menang, Nit, kalau sudah berhubungan dengan pejabat-pejabat seperti itu." "Nah, terus. Apa rencana kamu?" "Aku juga belum tahu Nit. Tapi yang aku heran, kenapa kepemilikan tempat itu baru kini dipermasalahkan? Kenapa enggak dari dulu coba. Sedangkan kita udah hidup di sana berapa tahun, Nit? Lebih dari dua puluh tahun. Tapi nyatanya aman-aman aja. Kenapa sekarang setelah panti berdiri dalam kondisi yang sudah lebih baik dan terurus, malah mau direbut?" Nita hanya mengangkat kedua bahunya, tanda tidak mengerti. Bukan tak mau membantu, tapi ia tahu diri, jika dirinya bukanlah siapa-siapa. Bagaimana ia bisa menyelamatkan panti dari genggaman tangan pengusaha, yang ia yakini memiliki kekuasaan jauh lebih besar.  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN