Mencari Biaya Pengobatan.
Tangan Azuraa Zafina gemetar ketika dia membaca tagihan dari rumah sakit, hampir dua minggu sudah lamanya sang suami di rawat dan masuk ICU karena serangan jantung.
Dia terduduk, di kursi tunggu yang ada di depan ruang bertuliskan ICU/ICCU tersebut.
Baru saja dia di pusingkan karena nominal tagihan itu, tiba-tiba seorang suster memanggilnya.
"Ibu Azuraa, dokter Irwan memanggil Anda, silahkan ikut saya keruangannya, biar saya antar," ucap Suster itu dalam satu tarikan napas.
Azuraa mengangguk dan mengekor suster tersebut. Tidak jauh dari ruang ICU/ICCU ada ruang praktek dokter Irwan.
"Permisi, Dok. Ini istri pasien," ucap Suster itu setelah dia mengetuk pintu dan masuk ke dalam.
"Oh iya, silahkan, Bu." Dokter Irwan mempersilahkan Azuraa duduk.
"Terima kasih, Sus," sambungnya berbicara pada Suster pendampingnya.
"Kenapa saya di panggil ke sini, Dok?" tanya Azuraa hati-hati sekali, dia takut kalau-kalau dokter itu mempermasalahkan biaya yang belum dia lunasi.
"Begini, Bu. Ibu kan tahu kondisi suami ibu bagaimana, beliau harus di operasi secepatnya, kami sudah mendapatkan donor jantung yang cocok untuk pak Malik," papar sang dokter.
Azuraa terpaku, dia tidak tahu harus gembira atau sedih mendengarnya. Pasalnya, berita kalau ada donor jantung yang cocok untuk suaminya itu merupakan berita bagus karena dengan begitu Malik akan kembali hidup. Tapi, di satu sisi dia bingung dengan biaya operasi. Harga jantung saja sudah mencapai sekitar 16 Milliar, belum biaya operasi, obat, perawatan dan lain-lain.
Semua aset kekayaan miliknya jika di jual tidak dapat setengah dari harga jantung tersebut. Azuraa berpikir keras. Kemana lagi dia harus mencari dana itu. Sanak saudara sudah membantu semua bahkan dia sudah berhutang banyak sana sani. Sayangnya asuransi pun tidak mengcover biaya sebanyak itu karena mereka baru saja bergabung pada asuransi tersebut.
Azuraa berpikir keras.
"Bagaimana, Bu?"
Wanita berkulit putih itu tersentak, jelas terlihat dia sedang melamun.
"Lakukan saja yang terbaik untuk suami saya, Dok. Biayanya nanti saya akan cari," jawab Azuraa. Entah cari kemana dan dari siapa dana itu.
Dokter Irwan mengangguk.
***
Azuraa menitip suaminya pada Suster karena dia hendak pergi untuk bekerja, ya meski suaminya sakit tapi dia tidak bisa terlalu lama cuti, bagai buah simalakama, hatinya ingin menjaga suaminya tapi dia masih butuh gaji untuk pemasukan. Azuraa harus bekerja, kariernya sebagai sekretaris CEO merupakan pekerjaan selama lima tahun kebelakangan ini. Dari staff biasa dia di angkat menjadi salah satu dari tujuh sekretaris sang pemimpin perusahaan.
Rumah sakit sudah seperti rumah kedua Azuraa, pagi-pagi sekali dia sudah berangkat dari sana dengan menggunakan ojek online.
Di tengah jalan, ketika lampu merah, supir pribadi Emran-CEO Shadeeq Group itu mengenali sosok yang sedang di bonceng oleh pengendara ojek online berjaket hijau yang ada di depannya.
"Tuan, itu bukannya sekretaris Anda? Mba Azuraa kan?" tunjuk sang supir pribadi.
Emran yang sedang fokus pada tabletnya membaca berita terkini perhatiannya teralihkan, dia melihat ke arah yang supirnya tunjuk.
Benar saja, wanita itu adalah Azuraa.
"Kenapa dia naik ojek online? Kemana mobilnya?" gumam Emran.
"Mogok kali, Tuan," sahut sang supir.
Emran tidak merespon lagi, dia kembali fokus pada ponselnya, lampu juga berubah menjadi hijau, baik motor atau mobil di sana kembali melajukan kendaraan mereka.
***
Tok!
Tok!
Tok!
"Masuk." Suara bariton itu mengijinkan.
"Permisi, Pak." Azuraa masuk ke dalam, membawa beberapa berkas pekerjaannya yang harus Emran tandatangani.
"Ada beberapa yang harus Anda tandatangani, Pak," ucapnya lembut.
Tidak banyak bicara, Emran hanya mengangguk dan Azuraa meletakan berkas itu tepat di hadapan sang CEO, di atas meja kerjanya.
Azuraa berdiri tepat di sebelah Emran, dia membantu membuka setiap lembar dokumen yang harus dibubuhi tandatangan sang CEO.
Sesekali Emran melirik melihat Azuraa dari atas sampai bawah. Selama menjadi sekretaris Azuraa memang tidak pernah memakai pakaian yang terlalu ketat atau kekurangan bahan, beda dengan beberapa sekretaris Emran lainnya yang selalu memakai pakaian mini dan memakai make up tebal. Azuraa cantik meski memakai make up tipis.
"Kamu sudah koordinasi sama Mey?" tanya Emran tiba-tiba.
"Sudah, Pak," jawab Azuraa singkat. Dia tahu maksud atasannya, Mey yang Emran maksud adalah asisten pribadinya yang mengepalai ketujuh sekretarisnya.
Emran melanjutkan pekerjaannya, memberi beberapa lembar tandatangan cukup membuat tangannya pegal.
"Kamu tadi ke kantor naik ojek online?" tanya Emran tiba-tiba membuat Azuraa tersentak.
"I-iya, Pak," jawabnya seraya tersenyum tipis, malu karena ketahuan oleh atasannya.
"Kenapa? Bukannya kamu ada mobil?"
"Sudah saya jual, Pak."
"Jual?" ulang Emran meyakinkan pendengarannya. Dia tidak salah dengar? Seorang sekretaris CEO harus menjual mobil? Kebutuhan apa yang harus dia penuhi sampai harus menjual mobilnya?
Azuraa sedikit ragu menceritakan masalah pribadinya, tapi tatapan Emran meminta penjelasan.
"Suami saya sedang sakit, Pak, sudah dua minggu masuk ICU, saya butuh biaya untuk pengobatannya. Mau tidak mau saya jual mobil saya," papar Azuraa.
"Dalam waktu dekat ini juga saya akan menjual rumah dan semua aset milik kami," sambungnya.
"Suami kamu sakit apa?"
"Jantung, Pak. Dia harus transplantasi jantung. Dokter baru kemarin kasih informasi kalau ada donor jantung yang cocok dengannya. Dan suami saya harus segera di operasi, biayanya tidak sedikit."
"Berapa biayanya?"
Kedua mata Azuraa membelalak, pertanyaan Emran bagai angin segar untuknya, dia berharap sang CEO mau memberinya uang jika dia menyebutkan nominalnya.
"Minimal saya harus ada uang 20 Milliar, Pak."
Emran menarik napas dalam, dia tidak menyangka sebanyak itu, memang dia pernah baca kalau operasi transplantasi jantung biayanya tidaklah murah, terlebih jika di lakukan di luar negeri.
Azuraa terpaku menatap Emran yang sedang berpikir. Pria itu menghela napas panjang dan bersandar di kursi kerajaannya. Sementara sang sekretaris masih menunggu dengan setia hingga beberapa saat Emran melirik Azuraa.
"Saya akan berikan dana itu."
Deg!
Hati Azuraa mencelos, dia tidak menyangka kalau CEO tempatnya bekerja berhati mulia mau memberinya uang sebanyak itu.
"Sa-saya janji akan kembalikan dengan potong gaji saya setiap bulan, Pak." Suara Azuraa bergetar karena saking bahagianya.
Emran tersenyum miring, licik.
"Mau berapa tahun kamu kerja di sini, Heum?"
Azuraa tergugu, dia tidak bisa menjawab. Nominal 20 Milliar, setiap bulan dia rela di potong berapa gajinya sampai lunas.
Emran memutar kursinya, berhadapan dengan Azuraa yang sejak tadi di sampingnya. Kemudian, dia merangkul pinggang ramping sekretarisnya itu dengan erat hingga Azuraa masuk di tengah antara kedua kaki Emran yang terbuka lebar.
"Saya tidak tega kalau harus memotong setiap bulan gaji kamu, Ra," bisik Emran.
"Yang saya mau ...."