Al tersenyum kecil melihat binar-binar bahagia di mata Luisa saat melihat banyak anak kecil yang sedang bermain di taman. Pagi itu suasana taman cukup ramai. Karena memang saat weekend, banyak anak yang bermain di sana. Entah bermain ayunan, main bola, main perosotan dan lain sebagainya.
Pria itu mencolek bahu Luisa. Lalu menyodorkan semangkuk bubur ayam kepada gadis itu. Luisa tersenyum senang melihat bubur ayam dengan asap masih sedikit mengepul di atasnya.
"Mau kan sarapan bubur ayam?" tanya Al.
Luisa mengangguk cepat. "Mau, kok. Aku juga biasa sarapan bubur ayam kalo pagi nggak sempet masak," balasnya.
"Emang kamu pernah masak?" tanya Al dengan sedikit meledek.
Luisa menoleh dengan cepat. Membuat Al menahan tawanya. Gadis itupun buru-buru menunduk. "Eng-nggak sih. Della yang biasa masak," jawabnya lirih.
Al terkekeh. Tangannya terangkat mengelus rambut panjang Luisa dengan lembut. "Gapapa. Aku bisa masak, kok. Nanti biar aku aja yang masak."
Luisa mengerjap menatap Al. Berusaha mencerna arti ucapan pria itu barusan. Tatapan penuh tanya Luisa membuat Al salah tingkah.
Pria itu memalingkan wajahnya ke bawah. Menunduk, ganti fokus pada buburnya. Menyendoknya perlahan. Menikmati kelezatan bubur ayam tanpa menghiraukan Luisa.
Luisa mengendikkan bahunya. Gadis itu ikutan menyendok bubur ayamnya. Menghabiskannya dengan lahap.
Al mendesah lemah. Mencuri-curi pandang pada Luisa. Dia sempat merutuki bibirnya yang bisa asal bicara seperti tadi. Untung saja Luisa tidak bisa menangkap maksudnya.
Selesai makan, mereka berjalan keliling taman. Lalu duduk di ayunan yang kosong saat matahari pagi mulai naik. Namun itu tidak menghalangi mereka untuk tetap berada di taman. Sementara sudah banyak orang yang pulang ke rumah masing-masing.
Luisa duduk di ayunan sedangkan Al berada di belakangnya. Mengayunkannya dengan pelan. Mereka berdua ngobrol santai sembari bercanda. Namun tak lama kemudian keduanya dikagetkan dengan kedatangan dua orang yang tak terduga.
"Luisa!" sapa Angel pada Luisa. Gadis itu berlari kecil ke arahnya dan Al. Dibelakangnya, Ello tampak berjalan dengan santai sambil tersenyum menyapa Al.
"Mas Al!" sapa Ello.
Al mengangguk dan balas tersenyum pada Ello. Kemudian menoleh pada Angel yang sedang bercipika-cipiki dengan Luisa. Al tau Luisa tidak menyukai Angel. Terlihat dari ekspresi malas gadis itu.
Tiba-tiba angin berhembus cukup kencang di tengah taman. Refleks Al maju mendekati Luisa. Menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Al menyerukkan wajah Luisa ke dadanya. Melindungi wajahnya dari sebagian debu yang ikut terbawa angin.
Setelah selesai, pria itu melepaskan Luisa. Merapikan rambutnya. Kemudian tersenyum lembut.
Luisa terdiam saat mendapat perlakuan seperti itu dari Al. Dadanya berdebar kencang. Luisa hampir tidak bernafas saat Al mengusap rambutnya dengan begitu hati-hati.
Angel memperhatikan Al dengan seksama. Memandanginya dari atas ke bawah. Angel tersenyum masam. "Jadi ini pacar kamu,
Sa?"
Al tersenyum menanggapi pertanyaan Angel. Pria itu mengulurkan tangannya pada gadis itu. "Saya Al, Mbak."
Angel menyambut tangan Al meski dengan menahan dongkol. Dalam hatinya dia begitu marah. Melihat bagaimana cara Al menatap Luisa, gadis itu menjadi geram sendiri. Al terlihat begitu memujanya.
Dan Angel tidak terima dikalahkan oleh Luisa. Dia tidak rela Luisa mendapatkan pria yang lebih baik dari Ello. Dari cara Al memperlakukan Luisa saja begitu berbeda dengan Ello. Ello tidak pernah memperlakukannya seperti itu.
Angel mengepalkan tangannya kuat-kuat. Gadis itu memaksakan senyumnya. "Syukur deh kalo kamu akhirnya punya pacar. Jadi kamu udah bisa move on dari Ello kan Sa?" sindir Angel.
Al terdiam. Sedangkan Luisa melotot pada Angel. Tapi Angel malah bersikap santai tanpa menghiraukan tatapan tajam Luisa untuknya. Gadis itu tertawa pelan.
"Kalo dipikir-pikir aku kasihan juga sih sama kamu. Aku nggak bisa ngebayangin gimana kalo jadi kamu Sa," ujarnya tanpa dosa.
"Kamu pasti terpuruk banget ya. Maaf ya, Sa. Karena kami, kamu jadi mendapat malu. Sampai-sampai kabur ke Jakarta," lanjut Angel dengan wajah prihatin yang dibuat-buat.
"Sayang! Kamu apaan sih!" bisik Ello memperingati.
Namun Angel tidak menggubrisnya. Gadis itu malah memekik kegirangan dalam hatinya melihat wajah merah penuh amarah Luisa. Dia senang melihat Luisa marah. Angel tidak rela jika Luisa bahagia. Apalagi mendapatkan pria sesempurna Al.
"Al udah tau kan tentang masa lalu kami bertiga?" Kini ganti Angel menoleh pada Al.
"Masa lalu?"
Pria itu menatap Luisa yang mendelik marah. Bibirnya terkatup rapat. Tangan mungil gadis itu menggepal kencang. Amarahnya yang dulu sempat teredam, kini kembali lagi.
Angel mendesah lemah. "Oh... jadi Luisa belom cerita ya dia dulu tunangannya Ello?"
"Angel..." Ello melotot pada gadis itu. Berusaha untuk memperingati. Tapi Angel tidak menghiraukannya sama sekali.
"Tapi sayangnya, pernikahan mereka harus batal. Karena Ello lebih milih aku daripada Luisa. Ya... mungkin aja menurut Ello aku lebih baik dari Luisa."
Al menatap Luisa yang sudah memerah karena amarah. Matanya berkaca-kaca. Pria itu mulai bisa mengerti kenapa Luisa terlihat malas bertemu mereka. Dia masih ingat bagaimana ekpresi wajah Luisa saat bertemu Ello di mall waktu itu.
Awalnya Al mengira saat itu Luisa memang sedang dalam mood yang buruk. Apalagi Ello memang menyebalkan ketika itu. Jadi Al bisa memaklumi jika Luisa kurang nyaman atas kehadiran Ello.
Luisa menoleh pada Al dengan tatapan tak terbaca. Dia malu, sungguh malu karena Al tau akan masalah pernikahannya dengan Ello yang gagal. Kemudian gadis itu memutuskan untuk pergi dari sana. Berlari meninggalkan mereka bertiga.
Al masih diam di tempat. Menatap Angel yang tersenyum puas. Sedangkan Ello yang merasa bersalah pun mencoba menasehati Angel. Namun gadis itu sama sekali tidak mau mendengarkan Ello.
Al berdehem cukup keras. Sehingga Ello dan Angel menoleh secara bersamaan padanya. Al tersenyum tipis dengan tatapan datarnya.
"Saya terkejut mengetahui kalau dulu Mas Ello pernah bertunangan sama Luisa. Lalu membatalkan pernikahan kalian dan memilih Angel. Saya pikir Mas Ello orang pintar yang tidak melihat seseorang dari penampilannya saja. Tapi ternyata saya salah!" ujarnya.
"Mas Ello mengabaikan gadis yang tulus seperti Luisa. Dan malah memilih calon istri seperti ini!" lanjutnya sembari terkekeh.
Angel melotot tak terima saat Al mengatainya. Gadis itu mengepalkan tangannya penuh amarah. "Seperti apa maksud kamu?" geramnya.
"Seperti ini! Liat diri Mbak! Merebut tunangan orang lain tapi masih bisa tersenyum bangga. Mbak pikir itu baik? Saya nggak heran sih, karena tukang tikung itu memang cocok sama penghianat."
Kali ini tak hanya Angel. Ello pun ikut tertohok atas ucapan Al barusan. Keduanya terdiam dan membiarkan Al kembali bersuara.
"Tapi saya berterimakasih sama kalian. Kalau saja kalian nggak melakukan kesalahan saat itu, saya pasti nggak akan pernah bertemu dengan Luisa." Al tersenyum pada Ello dan Angel.
Kemudian pria itu beranjak dari sana. Mengejar Luisa yang sudah menjauh dari taman. Meninggalkan dua penghianat itu berdiri mematung.
***
Luisa menangis tersedu. Di kursi taman, gadis itu terduduk dengan air mata yang membanjir. Luka lama yang dia pendam, kini kembali muncul. Susah payah gadis itu bangkit dari keterpurukan.
Berulang kali dia mencoba melupakan sakit hatinya. Tapi kini dengan teganya Angel menekan kuat di luka yang masih basah.
Bahkan hingga saat ini pun, Luisa masih trauma dengan kegagalannya.
Suara derap langkah mendekat membuat Luisa buru-buru menghapus air matanya. Gadis itu memalingkan wajahnya saat melihat kedatangan Al. Luisa menarik nafas dalam-dalam. Mencoba untuk bersikap tenang.
"Sa..."
Luisa buru-buru bangkit dari duduknya. Beranjak pergi dari sana. Namun Al keburu menahan lengannya. Pria itu mendekati Luisa yang masih tidak mau menatap tangannya.
"Luisa..."
"Aku mau pulang."
Al menggeleng pelan. Menarik dagu Luisa supaya menghadapnya.
Mata gadis itu berkaca-kaca. Butiran kristal bening menggantung di pelupuk matanya. Bersiap untuk meluncur ke bawah.
"Bener yang dibilang cewek tadi? Hm?"
Luisa menunduk. Malu untuk menatap Al. Gadis itu diam tidak bersuara.
"Jadi kamu dulu pernah tunangan sama Ello. Terus putus karena cewek itu?"
Kali ini Luisa mengangguk lirih. Menghela nafasnya pelan, Luisa pun mendongak. Menatap mata Al. "Iya. Semua yang dibilang sama Angel bener. Ello mutusin aku di saat pernikahan kami sudah di depan mata."
"Ternyata selama kami berhubungan, Ello selingkuh sama sahabatku sendiri, Angel. Mereka menusuk aku dari belakang."
Air mata Luisa pun meleleh. Gadis itu terisak pelan. Ingatan yang membuatnya sakit hati kembali terbayang. Malu juga sakit akibat batalnya pernikahannya dengan Ello masih dia ingat hingga sekarang.
Benar-benar sakit hatinya kala itu. Apalagi cibiran terus datang dari berbagai pihak. Menjadi bahan gunjingan para tetangga yang malah menyalahkan Luisa dan mengatainya macam-macam.
Al menarik tubuh Luisa ke dalam pelukannya saat tangis gadis itu mulai menjadi. Luisa menangis tersedu di pelukan Al.
Menumpahkan semua air mata yang dia miliki. Mengatakan semua yang dia pendam selama ini pada Al.
Dia tidak lagi memikirkan rasa malunya. Luisa menceritakan semua tentang dia dan juga Ello. Juga alasan dia ke Jakarta. Dia tidak peduli jika nantinya Al malah hilang rasa padanya. Karena yang dia inginkan saat ini adalah orang yang mau mendengarkannya. Dan mau menjadi tempatnya bersandar.
Al terus mengusap lembut kepala Luisa saat gadis itu menceritakan kisah hidupnya. Mereka kini duduk di bangku taman sambil berpelukan. Luisa terlihat nyaman bersandar di d**a Al.
"Jangan menangis!" bisik Al, "Itu udah lewat kan? Jadi kamu harus bisa lupain."
Luisa terdiam. Gadis itu membatu saat tiba-tiba Al merengkuh tubuhnya. Memeluk Luisa dengan hangat.
"Aku janji nggak akan jadi penghianat kayak Ello. Aku pasti akan setia sama kamu. Karena itu, menikahlah sama aku!" bisiknya di telinga Luisa
Tidak bisa bernafas. Itulah yang dialami Luisa. Oksigen seakan hilang dari sekitarnya. Rasanya sesak. Gadis itu mendongak menatap Al yang juga sedang menatapnya.
"M-maksud kamu?" ujarnya terbata.
Al menangkup wajah Luisa. Merapikan rambut panjang nan indah gadis itu yang berantakan akibat ulah angin nakal. Al tersenyum tipis.
"Kamu masih ada perasaan sama Ello?" tanya Al.
Luisa menggeleng. Kalau perasaan suka sudah hilang sejak lama. Yang ada perasaan ingin mencelupkan kepala Ello dan Angel ke panci berisi air panas.
"Beneran?"
"He'em."
Al kembali tersenyum. "Jadi sekarang hati kamu nggak ada yang punya kan?"
Luisa melongo. Gadis itu makin tidak mengerti dengan maksud Al. "Kamu ngomong apaan sih?"
Al terkekeh melihat wajah Luisa yang menggemaskan. Pria itu menarik hidung Luisa dengan gemas.
"Kapan kamu siap buat kembali ke Surabaya? Aku udah nggak sabar buat ketemu orang tua kamu," ucap Al.
Pria itu dengan santainya berjalan menjauh dari Luisa. Meninggalkan Luisa yang kebingungan menangkap maksud ucapannya. Gadis itu berlari kecil menyusul langkah Al.
"Al.." Luisa menahan lengan Al.
"Maksud kamu apa? Kenapa mau ketemu orang tuaku?"
Al menghentikan langkahnya. Pria itu menepuk-nepuk kepala Luisa dengan lembut. "Jangan khawatir. Aku mau ketemu orang tua kamu untuk maksud yang baik."
"Iya. Mau ngapain? Ish... Al!" Luisa bersungut-sungut karena Al malah meninggalkannya.
Luisa mencegah tangan Al yang akan menyalakan mobil. Gadis itu berkacak pinggang. Menuntut penjelasan Al atas sikap juga ucapan ambigunya.
"Kenapa?" ujar Al saat melihat wajah Luisa yang cemberut.
"Jelasin dulu! Tadi itu kenapa? Maksud kamu apaan mau ketemu orang tuaku?" balas Luisa kesal.
Al menghela nafas panjang. "Kamu udah nggak ada perasaan sama Ello kan?"
Luisa menggeleng.
"Kamu cinta sama orang lain?" Lagi. Luisa menggeleng.
"Bagus."
Al tersenyum lega. Pria itu meraih wajah Luisa. Mengelus pipinya lembut. "Aku emang bukan pria yang sempurna. Aku punya banyak kekurangan. Tapi aku janji akan jadi pria yang setia buat kamu. Aku akan jadi pria yang bertanggung jawab untuk kamu. Karena itu, menikahlah sama aku!"
Jantung Luisa seketika berhenti. Tubuhnya membeku. Rasanya seluruh syarafnya lepas dari tubuhnya. Sampai gadis itu tidak lagi bisa merasakan tubuhnya. Apa yang dikatakan Al sungguh mengejutkan.
Tidak ada angin. Tidak ada hujan. Tiba-tiba Al mengajaknya menikah. Pikiran Luisa berputar. Gadis itu menduga-duga penyebab Al mengajaknya menikah. Apa pria itu kasihan padanya setelah tau tentang masa lalunya? Ataukah Al punya maksud lain?
"Jangan mikir aneh-aneh!" Al meraup wajah Luisa yang melamun.
Luisa tergagap. Gadis itu menelan ludahnya kaku. "Al, kamu..."
"Aku mau nikahin kamu!" sela Al.
"Kenapa?"
"Kenapa apanya? Apa kamu nggak mau nikah sama aku?" ujar Al.
Luisa menggeleng. "Bukan kayak gitu, Al. Aku pikir sekarang kamu pasti lagi bercanda kan?"
"Jadi kamu nggak mau nikah sama aku, gitu?" ujar Al menatap Luisa.
Luisa mendesah frustrasi. Tidak tau harus berkata apa. "Mau sih. Tapi-"
"Ya udah kalo kamu mau."
"Kamu kan nggak cinta sama aku, Al. Kenapa kamu tiba-tiba mau nikahin aku? Kita bahkan nggak pernah pacar-"
"Kata siapa aku nggak cinta sama kamu?" tanya Al.
"Kan kamu nggak pernah bilang kalo kamu cinta sama a-"
"Aku kira kamu udah tau perasaanku, Sa. Apa kamu nggak bisa merasakannya?" Al menatapnya lekat.
Luisa hampir hilang kesadaran saat sebuah kata ajaib mengalun lembut di telinganya. "Aku cinta sama kamu. Sejak pertama kali ketemu. Aku udah jatuh cinta sama kamu, Sa. Menikahlah denganku."
Al mengecup keningnya dengan begitu lembut juga cukup lama. Membuat Luisa terpejam. Dadanya berdebaran keras. Namun Luisa juga merasa seperti melayang. Perasaan bahagia meluap-luap dalam hatinya.
"Al..."
Al menyentuh pipi Luisa dengan telunjuknya, menghalanginya untuk berbicara. "Aku nggak suka pacaran. Nggak seru! Kalo kamu mau, kita langsung nikah!"
Luisa memegangi kepalanya yang terasa pusing. Semetara Al terkekeh sendiri. Menjalankan mobilnya meninggalkan taman. Kenapa Luisa jadi bingung begini? Bukannya dia juga mencintai Al? Dan membuat Al jatuh cinta adalah tujuannya?
Kenapa justru saat kini Al menyatakan cinta padanya, Luisa malah bingung. Padahal benar juga yang dibilang Al. Selama ini Luisa tidak bisa meraba rasa suka Al dari semua tindakannya.
Jika tidak cinta, Al tidak mungkin rela hujan-hujanan. Berjalan jauh untuk menyusul Luisa saat dia sedang marah waktu itu.
Jika tidak cinta, Al tidak akan memperlakukannya begitu istimewa.
Jika tidak cinta, tidak mungkin Al ingin menikahinya.
Luisa menatap Al dengan senyum lebarnya. Pria itu menyetir mobil sambil menggenggam tangan Luisa dengan erat. Jarinya mengelus punggung tangan Luisa dengan lembut, lalu mengecupnya.