Chapter 5 : Takdir yang Mempertemukan Kita

1915 Kata
"Gimana lo sama Dokter Romeo kemarin?" Riska menyenggol lengan Luisa pelan. Luisa mengendikkan bahunya pelan. Menatap waffle di hadapannya dengan malas. "Tau deh," jawabnya singkat. Riska mengernyit. "Emang nggak ada perkembangan?" Luisa menggeleng. "Gue pernah coba telfon waktu itu. Gue suruh ke rumah buat ngambil baju temennya. Tapi dia bilang lagi sibuk. Malah katanya nggak usah dibalikin. Ntar biar dia ganti aja baju temennya," ucap Luisa lemas. Riska menghela nafas panjang. "Lo udah coba SMS juga?" Luisa mengangguk pelan. "Udah. Tapi nggak ada balesan." Riska berdecak. "Sesibuk itu ya dia? Sampe nggak bisa bales SMS lo?" Gadis itu ikutan sedih melihat ekspresi Luisa. Sepertinya dia salah mengira kedekatan mereka di rumah sakit seminggu yang lalu. Dokter Romeo ternyata tidak tertarik pada Luisa seperti perkiraannya. Riska jadi merasa bersalah karena sudah memberikan Luisa harapan dan semangat untuk mendekati Romeo. Dia tidak berpikir jika jadinya akan seperti ini. "Ya udahlah, Sa. Mungkin emang Dokter Romeo itu bukan jodoh lo! Cari yang lain aja deh! Ntar gue bantuin nyari jodoh!" hibur Riska. Luisa menggeleng lemah. "Gue nggak mau, Ris. Mau Al aja! Dia itu udah cocok jadi jodoh gue. Sangat sempurna buat gue kenalin ke orang-orang yang selama ini udah nyinyirin gue!" ujarnya. "Ya tapi, dia kayak nggak tertarik gitu sama lo!" "Enggak. Gue yakin dia juga tertarik sama gue kok! Lo nggak tau aja gimana sikapnya sama gue! Gue yakin dia suka sama gue!" bantah Luisa. Selama ini dia belum pernah diperlakukan selembut itu oleh pria. Bahkan Ello sekalipun. Tapi Al membuat Luisa merasa dirinya istimewa. Mengingat senyum Al yang manis. Luisa yakin pria itu tulus berbuat baik pada Luisa. "Tapi buktinya dia nggak ngerespon SMS lo! Coba gue tanya gimana tanggapan dia pas lo telfon kapan hari?" Riska kembali berbicara. Luisa terdiam. Dia menatap Riska lama. "Ya... gitu!" jawabnya lirih. "Gitu gimana?" "Ya gitulah. Biasa aja!" "Nah kan! Dia nanggepin biasa aja. Nggak kayak antusias gitu. Itu artinya dia biasa aja sama lo!" jelas Riska. Luisa berdecak malas. Gadis itu merengut kesal. Masa iya Al tidak tertarik padanya sama sekali. Tapi kok dia ngerasa kayaknya Al ada rasa sama dia ya? Apa dianya aja yang terlalu percaya diri? "Ntar gue mau ke Klinik aja. Mau ketemu langsung sama Al!" tekadnya. Riska membelalakkan matanya. "Jangan gila deh, Sa. Dia nggak suka sama lo! Jangan agresif ah! Kalo lo ditolak gimana?" ucap Riska kesal. "Nggak bakal. Al itu baik, Ris. Gue yakin seratus persen Al suka sama gue!" balas Luisa ngeyel. "Luisa! Udah deh. Lepasin Al. Lo cari cowok lain buat lo ajak pulang ke Surabaya!" Luisa menggeleng. "Nggak! Gue tetep mau Al aja! Dia itu udah cocok banget buat jadi pasangan gue! Lagian cari cowok yang sebaik Al nggak gampang!" Riska menghela nafas panjang. "Luisa..." "Gue tau, ada alasan dibalik insiden jatuhnya gue di pesta amal itu. Terus gue dibawa sopir taksi nggak jelas ke Klinik bersalin. Dan akhirnya ketemu Al," lirihnya. Gadis itu menatap Riska dengan berkaca-kaca. Luisa terlihat ingin menangis. Tapi bibirnya tersenyum kecil. "Gue yakin dia akan jadi jodoh gue. Nggak ada yang kebetulan di dunia ini kan, Ris. Begitu juga semua yang terjadi antara gue dan Ello. Ini pasti takdir. Kalo aja gue nggak putus sama Ello, gue pasti nggak disini. Dan nggak akan ketemu elo dan Al!" lanjutnya. Setitik air mata jatuh dari sudut matanya. Riska pun buru-buru merangkulnya, mengusap-usap lembut lengan Luisa yang tertutup blazer pink. Riska paham dengan apa yang dialami Luisa. Putus dengan tunangan di saat menuju pernikahan bukanlah hal yang sepele. Pertama Riska bertemu Luisa setahun lalu, gadis itu terlihat muram. Juga jarang berinteraksi dengan teman-teman kantornya. Luisa juga susah sekali percaya pada orang. Dan Riska adalah orang yang beruntung bisa mengambil hati Luisa, mendapatkan kepercayaannya. Membuat Luisa bisa kembali menjadi dirinya yang sebenarnya. "Kalo lo emang segitu yakinnya, gue bisa apa. Gue cuma bisa dukung lo aja! Semoga pilihan lo nggak salah kayak yang dulu!" ujar Riska. Luisa tersenyum pada sahabatnya itu. Mengangguk penuh terima kasih. Beruntungnya dia punya Riska yang selalu bisa membuatnya kembali semangat. *** Luisa menyuruh taksi yang ditumpanginya tepat di depan Klinik tempat Al bekerja. Setelah membayar ongkos taksi, gadis itu pun turun dengan segera. Dan langsung masuk ke dalam Klinik. Luisa melangkah menuju ke sebuah ruangan yang dia yakini sebagai ruang praktik Al sesuai dengan petunjuk yang diberikan resepsionis tadi. Di depannya duduk berjajar para wanita yang datang kesana untuk memeriksakan kandungannya. Dengan canggung Luisa duduk di bangku paling ujung. Dan nenunggu Al keluar. Luisa mendekap sebuah paper bag berisi baju teman Al yang dia pinjam waktu itu. Seorang wanita muda yang sedang hamil besar tersenyum ke arahnya. "Mau periksa juga ya, Mbak?" Luisa menggeleng pelan. "Nggak kok, Mbak. Mau ketemu sama Dokter Romeo aja." Wanita itu tersenyum. "Oh... kirain mau periksa. Mbak temennya Dokter Romeo ya?" Luisa membalasnya dengan senyuman kaku. Tak lama kemudian, seorang Dokter wanita berjalan masuk ke dalam ruangan Al. Luisa menatapnya dari tempatnya duduk. Ada dokter lain selain Al di Klinik itu? Apa dia dokter kandungan juga, batinnya bertanya-tanya. "Mbak kenal sama Dokter Salsa juga?" Wanita di sebelah Luisa kembali bertanya saat Luisa serius memperhatikan Dokter wanita itu. Luisa tergagap. Gadis itu menggeleng cepat. "Nggak, Mbak. Saya nggak kenal." "Oh... kirain kenal. Dia kan pacarnya Dokter Romeo, Mbak." Dan secara tiba-tiba tubuh Luisa rasanya lemas. Gadis itu menutup mulutnya kaget. Jadi Al sudah punya pacar? Luisa termanggu di tempatnya duduk. Syok dengan kenyataan yang baru dia ketahui dari wanita itu. Luisa nencengkeram paper bag di pangkuannya dengan erat. Dan sebelah tangannya memegangi dadanya. Harapan yang sudah dia susun setinggi mungkin kini jatuh sejatuhjatuhnya. Luisa mendesah dalam hatinya. Tidak mungkinlah dokter seperti Al masih single. Tidak punya istri atau pacar. Luisa diam termenung menyesali nasibnya. Kenapa juga dia bisa seberharap ini pada orang lain. Jadi begini kan akhirnya. Lama Luisa duduk melamun di bangku itu. Kemudian gadis itu pun memutuskan untuk pergi dari sana. Membawa kekecewaan dan harapan yang sudah hancur lebur. *** Luisa diam termenung di sebuah halte. Duduk bersandar di tiang penyangga halte. Mendekap rapat paper bag yang tadi dia bawa, yang sudah basah terkena air hujan. Hawa dingin menusuk kulitnya. Menembus kemeja dan blazer yang dipakainya. Luisa menunduk menatap kosong pada ujung sepatunya yang kotor terkena tanah berlumpur. Menghela nafas panjang, Luisa menyesali nasibnya kini. Sebentar lagi Ello dan Angel akan menikah. Jika dia tidak datang kesana, dia pasti akan mendapat malu. Dan datang kesana juga harusnya tidak sendiri. Setidaknya dia membawa calon suami yang bisa dia kenalkan kepada seluruh keluarga Ello yang selama ini meremehkannya. Juga para tetangga kiri-kanan di Surabaya. Lalu kepada siapa sekarang dia harus minta tolong? Apa dia harus menyewa orang untuk berpura-pura menjadi calon suaminya? Bisa saja sebenarnya. Tapi bagaimana selanjutnya? Apa dia masih harus menyewa orang itu lagi untuk pura-pura melamarnya. Lalu pura-pura menikahinya, menjadi suaminya. Apa harus seperti itu, batinnya. Luisa merengek-rengek sembari memukuli paper bagnya dengan kesal. Ini semua karena Ello. Kalau saja dia tidak selingkuh dengan Angel waktu itu pasti mereka sudah menikah. Tapi, Luisa juga bersyukur tidak jadi menikah dengan Ello. Dia tau kebusukan Ello sebelum mereka menikah. Coba kalau Luisa tau setelah mereka menjadi suami istri? Bisa hancur hidupnya saat itu juga. Ternyata Yang Maha Kuasa begitu menyayanginya dengan menujukkan kelakuan buruk Ello sebelum mereka menikah. Dan memberi kesempatan pada Luisa untuk memulai hidup baru lagi. Luisa menghapus air matanya dengan cepat. Dia tidak boleh terusterusan seperti ini. Benar kata Riska, mungkin Al bukan jodohnya. Dia harus melepaskan Al. Dan mencari belahan jiwanya yang entah dimana. Luisa pun akhirnya berdiri. Mendekap erat tas dan juga paper bagnya. Berlari keluar dari halte. Menerobos hujan deras yang turun membasahi Jakarta sore itu. Luisa berlari dengan tubuh yang basah kuyub terkena air hujan. Pandangannya mengabur karena terhalang air hujan yang turun dengan derasnya. Hingga akhirnya kakinya terantuk akar pohon yang mencuat ke atas trotoar. Luisa terjatuh di tanah. Gadis itu meringis kesakitan. Lututnya berdarah. Luisa memaki akar pohon yang dengan teganya menjegal kakinya hingga dia terjatuh dan terluka seperti sekarang. Gadis itu menangis tersedu di bawah guyuran hujan. Menangisi kakinya yang terasa sakit juga hatinya. Dalam hatinya dia menyesali nasibnya yang selalu sial. Kenapa semua orang tega menyakitinya, mengecewakannya. Bahkan pohon saja tega menjegal kakinya. Dan membuatnya terjatuh seperti sekarang. Luisa terlalu sibuk menangis menyesali nasibnya. Hingga tidak sadar jika ada seseorang yang berdiri di belakangnya. Saat merasakan dirinya tidak lagi terkena guyuran hujan, Luisa menghentikan tangisnya. Gadis itu mendongak dan seketika dia tersentak kaget saat melihat seseorang sedang memayungi tubuhnya. Melindunginya dari air hujan. "Al?" lirihnya. "Udah nangisnya?" tanya pria itu sembari tersenyum kecil. Luisa mengangguk dengan bodohnya. Membuat Al terkikik. Pria itu menyodorkan tangannya pada Luisa. Tapi Luisa malah terbengong menatap tangan Al yang menjulur padanya. "Kamu mau terus-terusan gelosoran di tanah kayak gitu?" Luisa menggeleng pelan. "Ayo berdiri!" ujar Al. Luisa pun menyambut tangannya. Membiarkan Al menarik tubuhnya ke atas. Tubuh Luisa yang ramping membentur tubuh tinggi tegap Al. Gadis itu terpaku menatap wajah Al yang terlihat semakin tampan saat dilihat dari dekat. Bulu matanya terlihat lebih lentik dari yang dia kira. Luisa menelan ludahnya pelan, menahan nafasnya kala Al mengangkat tangannya menuju ke atas kepala Luisa. Al mengambil daun yang nyangkut di atas rambut Luisa. Lalu tersenyum pada gadis itu. "Kamu tadi dari Klinik ya? Aku sempet liat kamu keluar. Aku panggil-panggil kamu nggak denger. Jadi aku ikutin kesini!" jelas Al. Luisa mengangguk pelan. Menatap Al lama. Apa benar pria itu mengejarnya sampai kemari? Astaga, dia benar-benar baik bukan? Sedetik kemudian Luisa mengernyit. Buat apa dia mengejar Luisa jika dia sudah punya pacar? Apa pria itu berniat mempermainkannya saja? Dengan cepat, Luisa menjauhkan diri dari Alianka. Gadis itu menunduk menatap tanah yang tergenang air hujan. "Kaki kamu luka? Mau aku obatin?" tawar Al. Luisa menggeleng. "Nggak usah. Aku bisa obatin sendiri di rumah!" jawabnya. Al mengangguk paham. "Ya udah. Kamu pulang naik apa? Aku antar ya?" "Naik taksi aja," balas Luisa singkat. Al menghela nafas pendek. "Oke deh. Aku kamu tunggu disini ya! Aku cari taksi. Ini pegang payungnya!" Pria itu memberikan payung yang dia pegang ke tangan Luisa. Kemudian pria itu pun berlari meninggalkan Luisa yang berdiri terpaku di bawah payungnya. Al berlari menerjang hujan deras saat itu. Membiarkan baju dan tubuhnya basah kuyub terguyur air hujan yang dingin. Luisa menatap kepergian Al dengan tatapan sendunya. Sekitar sepuluh menit kemudian, Luisa melihat Al datang dengan taksi. Pria itu menghampiri Luisa yang kedinginan. Badan gadis itu menggigil. Wajahnya pucat. "Ayo buruan masuk ke dalam taksi! Badan kamu udah menggigil gitu! Nanti kalo udah sampe rumah cepet ganti baju dan minum minuman hangat ya. Pake selimut tebal juga!" pesannya pada Luisa. Gadis itu diam saja saat Al menuntunnya untuk masuk ke dalam taksi. Luisa menatap wajah Al lekat-lekat. Sekarang dia bingung harus mempercayai Al atau tidak. Tampang pria itu benar-benar tulus padanya. Dia membatin, seandainya Al hanya ingin mempermainkannya tidak mungkin pria itu rela kehujanan basah kuyub mengejarnya. Kemudian mencarikannya taksi. Memperhatikan Luisa sampai segitunya. Al tersenyum. Pria itu melambai pada Luisa yang sudah masuk ke dalam taksi. Memberi isyarat pada si sopir taksi untuk menjalankan kendaraannya. Sementara Luisa terus menatap Al tanpa kedip. Taksi yang ditumpangi Luisa pun menjauh dari pandangan Al. Pria itu menghela nafas lega. Kemudian berbalik dan berjalan cepat menuju ke kliniknya. Belum jauh dia berjalan, Al mendengar suara klakson mobil di belakangnya. Pria itu berhenti saat melihat taksi yang tadi mengantar Luisa? Kenapa kembali? Apa Luisa sudah sampai, batinnya. Pria itu kaget bukan kepalang saat melihat Luisa turun dari taksi. Membuka payungnya dan menghampiri Al dengan senyum mengembang di bibir tipisnya. "Aku mau sama kamu aja!" katanya pada Al.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN