Chapter 19 : Mengharap restu

1956 Kata
Al mengusap lembut punggung tangan Luisa yang terasa dingin di dalam genggamannya. Kemudian membelai rambut panjang Luisa dengan begitu hati-hati. Seolah takut tiap sentuhannya bisa melukai gadis yang amat dia cintai itu. "Jangan gugup. Ada aku," bisiknya pada Luisa. Luisa mengambil nafas dalam-dalam. Dan menghembuskannya perlahan. Gadis itu menoleh pada Al yang sedang tersenyum tipis di sampingnya. Tangan Al menekan bell pintu rumah mewah di sebuah komplek elit yang sedang mereka kunjungi saat ini. "Aku takut Al," ujar Luisa lirih. Al mengusap wajah Luisa yang terlihat pucat seperti tidak dialiri darah. Sepertinya gadis itu benar-benar takut juga gugup. Luisa berdiri di sampingnya dengan kaku. Dengan segera Al memeluk tubuh mungilnya. Memberi Luisa kehangatan dari dekapannya. Gadis itu balas memeluk Al dengan erat. Seolah mencari perlindungan. "Nggak usah takut, orang tuaku nggak akan gigit kok," ucap Al berusaha menenangkan. Luisa mencubit pinggangnya kencang. "Jangan bercanda! Aku takut beneran tau!" sentaknya. Al terkekeh. Kali ini pria itu memberikan sebuah kecupan di puncak kepala Luisa sehingga membuat gadis itu berbunga-bunga. Rasa bahagia menyeruak seketika di dalam hatinya. "Aku akan selalu ada di samping kamu. Jadi jangan takut! Kita hadapi ini bersama." Luisa mengangguk. Tak lama seorang pembantu rumah tangga keluar dari dalam rumah itu. Wanita itu terkejut melihat kedatangan Al. "Mas Al?" pekiknya. Al mengangguk pelan seraya terkekeh. "Mama sama Papa ada di dalam kan, Bi?" tanyanya. Wanita paruh baya itu menggangguk dengan bersemangat. Terlihat sekali jika dia sangat senang dengan kedatangan Al. "Tuan sama Nyonya udah nungguin dari tadi loh, Mas." "Iya?" Wanita itu mengangguk. Kemudian menoleh pada Luisa. "Ini calonnya yang mau dikenalin sama Tuan dan Nyonya?" Al mengangguk. "Iya, Bi. Ini Luisa." Pria itu ganti menoleh pada Luisa. "Sa.... kenalin ini Bi Endang!" Luisa mengulurkan tangannya untuk menyalami Bi Endang. Dan langsung dibalas dengan antusias oleh wanita itu. "Cantiknya, Mas. Masyaallah..." pujinya. Al terkekeh. Memeluk pundak Luisa dengan erat. "Iya dong. Calon istrinya siapa dulu!" ujarnya sombong. Luisa tersenyum malu. Wanita itu membalas godaan Al dengan menggigit lengannya. "Ya udah. Ayo masuk Mas, Non!" Bi Endang mempersilahkan sepasang kekasih itu untuk masuk ke dalam. Kemudian mengantar mereka ke ruang tengah. "Bibik panggilin Tuan sama Nyonya dulu ya!" ujar Bik Endang berpamitan. Wanita itu meninggalkan Al dan juga Luisa yang sedang duduk berdua disofa ruang tengah. Luisa mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Gadis itu melihat-lihat keadaan rumah Al yang begitu besar namun sepi. "Liatin apaan sih?" tanya Al. Luisa tersenyum kecut. Gadis itu menghela nafas panjang. "Kamu nggak bilang kalau rumah kamu sebesar ini!" ucapnya kesal. "Lah... ini kan bukan rumahku, tapi rumah orang tuaku." Luisa mengerucutkan bibirnya. "Ya sama aja!" Al terkekeh. "Beda dong. Kan aku nggak tinggal disini." "Tau ah!" Al kembali tertawa. Pria itu memeluk Luisa dengan gemas. Sesekali memberikan kecupan di puncak kepalanya. Sementara gadis itu menghadiahkan beberapa cubitan di badan Al. "Ehm..." Suara deheman seseorang mengagetkan mereka berdua. Keduanya sama-sama menoleh pada sumber suara. Luisa terpaku melihat seorang pria seumuran dengan ayahnya, berparas tampan dan berwibawa. Di belakangnya, seorang wanita cantik dan elegan, wajahnya yang lembut dan keibuan, berjalan menghampiri mereka. Sontak Luisa berdiri dari duduknya. Sejenak Luisa merasa tidak asing dengan wajah pria itu. Sepertinya dia pernah melihatnya. Tapi dia lupa kapan dan dimana. Luisa menggeleng pelan. Cepat-cepat dia menghilangkan pikiran itu dari kepalanya. Bukan waktunya untuk memikirkan yang lain. Sekarang harusnya dia berjuang menghadapi calon mertua. "Mama..." Al langsung memeluk wanita itu tanpa basa-basi. Mencium pipinya lama. Wanita itu tersenyum pada putranya. Mengusap lembut kepala Al. "Katanya semalem mau tidur disini? Mama tungguin ampe malem ngga dateng-dateng juga! Dasar tukang php!" omelnya. Al terkekeh. Kembali memeluk Mamanya. "Maaf, Ma. Tapi hari ini kan Al dateng. Bawa calon mantu lagi. Nih..." Luisa mengangguk kecil, lalu menyapa orang tua Al. Gadis itu mengulurkan tangannya untuk menyalami papa dan mama Al. Papa Al yang lebih dulu menyambut tangan Luisa. Beliau meneliti wajah calon menantunya itu. "Jadi kamu yang namanya Luisa?" tanyanya. Luisa mengangguk. "Bener, Pak. Saya Luisa," jawabnya. Papa Al manggut-manggut. Meskipun dia tidak menginginkan Al membawa calon mantu lain ke rumahnya selain Aisyah, namun pria itu berusaha bersikap ramah pada Luisa. Sangat berbeda dengan mama Al yang bersikap cuek. Wanita cantik itu masih bertahan di pelukan Al. Wajahnya terlihat masam. Mama Al hanya melengos saat Luisa mengulurkan tangan ke arahnya. "Maa..." bisik Al membuat wanita itu menoleh padanya. Mama Al mendengus kesal melihat isyarat mengancam dari putra kesayangannya itu. "Saya Luisa, Bu." Luisa memperkenalkan dirinya pada mama Al. "Kasih," balas mama Al singkat. Suasana terlihat canggung. Al buru-buru melepaskan pelukan mamanya. Pria itu menghampiri Haria. Membimbingnya untuk duduk di sofa. "Papa nggak boleh banyak gerak. Duduk, Pa!" Haria berdecak mendengar nasehat putranya itu. "Nggak usah lebay kayak Mama kamu!" gerutunya. "Kok Papa ngatain Mama lebay sih? Emang Papa yang bandel kok! Nggak bisa dikasih tau!" balas Kasih tak terima. "Emang gitu!" Haria tak mau kalah dengan istrinya. "Coba kalo Papa nurut, Mama nggak akan lebay, Pa!" Al menghela nafas kasar. Berusaha mendamaikan kedua orang tuanya yang saling berbalas kata itu. "Ma... Pa... malu sama mantu dong!" ujar Al. Dua orang yang saling berdebat itupun sontak terdiam. Samasama memasang wajah masam. Al berdecak pelan. Pria itu menarik tangan Luisa untuk duduk di sampingnya. Al meremas tangan Luisa saat merasakan getaran samar dari tangan gadis itu. Pria itu memberikan senyum manisnya pada Luisa. Seolah meyakinkan Luisa jika semua akan baik-baik saja. "Kamu kerja apa?" tanya Haria pada Luisa. Luisa tersenyum tipis. "Saya karyawan biasa, Pak. Staff bagian marketing." "Panggil Om saja, Sa!" Luisa tersenyum tipis. "Iya, Om." "Kata Al kamu berasal dari luar kota?" Kini giliran Kasih yang membuka suara untuk menanyai Luisa. "Saya dari Surabaya," jawab Luisa "Saudara kamu ada berapa?" "Saya anak tunggal." "Terus orang tua kamu pekerjaannya apa?" "Ayah saya seorang pensiunan TNI. Kalau Ibu hanya ibu rumah tangga biasa." Luisa menahan nafasnya saat menjawab pertanyaan dari mama Al. Karena tatapan tajam dan nada bicara ketus wanita itu. Mama Al melengos saat matanya bertatapan dengan mata putranya. Wanita itu kesal dengan tatapan tajam dan memperingati yang diberikan padanya. Kasih memutuskan untuk tidak lagi membuka suara. "Oh... iya. Kata Bi Endang, Mama buatin Al puding mangga ya?" ujar Al mencairkan suasana hening disana. Kasih mengangguk pelan. "Ada di kulkas tuh! Ambil aja! Bawa ke ruang makan. Sekalian kita makan siang!" jawab Kasih. "Ambilin dong, Ma!" pinta Al. Kasih mendelik. "Al! Kamu berani nyuruh Mama?" serunya. Al terkekeh. "Al nggak tau tempatnya, Ma!" Kasih berdecak. "Kamu ini! Nggak pulang berapa abad sih sampe ngga tau jalan ke dapur!" omel wanita itu. "Ya udah kalo gitu anterin!" "Al jangan kurang ajar!" Al tertawa renyah. Pria itu menarik tangan Kasih agar berdiri dari tempatnya. Haria yang melihat itupun melotot pada Al. "Al! Mama kamu jangan ditarik-tarik gitu!" serunya. Al tidak menghiraukan ucapan papanya. Pria itu tetap menariknarik tangan mamanya. Tapi sebelum menjauh, Al sempat kembali menghampiri Luisa. "Kamu tunggu disini bentar ya! Ngobrol aja sama Papa." Al mengecup dahi Luisa sejenak sebelum menuju ke dapur bersama Kasih. Haria geleng-geleng mendengar omelan istrinya saat ditarik-tarik Al seperti anak kecil. Pandangan pria itu beralih pada Luisa. Gadis itu menunduk terlihat begitu takut juga sungkan padanya. "Udah lama kenal sama Al?" tanyanya dengan lebih lembut. Luisa mengangguk kaku, "Sudah, Om. Tapi..." ucapannya terhenti. "Tapi apa?" tanya Haria penasaran. "Tapi jadiannya baru seminggu yang lalu, Om." Luisa berucap malu. Haria tertawa kecil. "Kamu lama nggak ditembak Al?" tanya Haria yang membuat Luisa mengangguk. Pria itu kembali tertawa. "Maklumin aja ya! Anak Om yang satu itu emang nggak pernah pacaran. Dia kan anak Mama. Nggak akan keluar rumah kalo nggak sama adiknya atau Aisyah," ujarnya. Mendengar nada bicara Haria yang lebih santai, membuat Luisa pun sedikit lega. Gadis itu mencoba untuk bersikap lebih wajar di hadapan calon mertuanya. "Emang gitu Om?" Haria mengangguk mantap. "Iya. Jadi jangan keget kalo dia suka gitu. Itu Mamanya jadi galau karena di php sama Al. Udah bilang mau tidur di rumah dari berapa hari lalu. Malah nggak jadi-jadi. Entah ntar dia tidur di rumah apa nggak," jelasnya. Luisa tersenyum geli. Tapi kok kalau sama dia bisa manis gitu sih, batinnya. Gadis itu melihat dari jauh Al sedang bercakap-cakap dengan mamanya. Sepertinya pria itu sedang menggoda mamanya. Haria mengamati Luisa lekat-lekat. Mencari-cari apa keistimewaan gadis itu sampai putranya mati-matian ngeyel meminta restu. Pria itu teringat bagaimana gigihnya Al saat melawan segala ucapan Mamanya beberapa waktu lalu. Pria itu ngotot untuk membawa Luisa ke rumah. Al juga sempat mengancam mereka agar tidak menolak ataupun bersikap tidak baik pada Luisa. Haria terdiam di tempatnya. Dia tidak tau harus merestui Al untuk menikahi Luisa atau tidak. Tapi mengingat ancaman Al waktu itu, sepertinya Haria tidak punya pilihan lain. Pria itu menghela nafas panjang. Mungkin ini memang sudah jalannya. Dia harus menghilangkan sifat egoisnya kali ini. Karena dia tidak mau kehilangan Al untuk yang kedua kalinya. *** "Nih iris-iris! Terus taruh di piring!" suruh Kasih pada Al. Al mengambil puding mangga yang diserahkan mamanya. Memotong-motongnya kemudian menata puding tersebut di piring lebar. "Mama masih inget kan ucapan Al kemarin?" ucap Al sembari mencicipi satu potong puding mangga. Melahapnya dengan nikmat. Kasih berdecak. "Iya..." jawabnya malas. "Terima Luisa. Atau Al nggak akan balik ke rumah ini. Selamanya." "Iya. Inget!" balas mama Al ketus "Udah inget kenapa masih bersikap kayak gitu sama Luisa, Ma?" "Kamu tau jawabannya, Al. Mama nggak suka Luisa. Mama cuma mau Aisyah yang jadi mantu Mama!" "Jangan mulai lagi deh, Ma..." Al menghela nafas panjang. Pria itu mencuci tangannya di wastafel dapur. Setelah selesai pria itu bersandar di kitchen seat. Al menatap mamanya dengan lekat. "Mama pengen Al bahagia kan?" ujarnya lembut. Kasih membuang wajahnya ke samping. Dadanya bergerak naik turun menahan emosi. Wanita itu diam tidak menjawab pertanyaan putranya. "Kalau Mama pengen Al bahagia, restui kami, Ma! Al cinta sama Luisa. Dan Luisa adalah kebahagiaan Al. Jadi Al harap Mama bisa mengerti." Kasih mendesah kasar. Wanita itu menatap Al nanar. "Tapi gimana sama Aisyah, Al?" lirihnya. "Aisyah pasti ngerti, Ma. Cinta itu nggak bisa dipaksakan. Lagian kan kita masih bisa berhubungan baik sama keluarganya Aisyah. Papa kan teman baiknya Papanya Aisyah. Al yakin, persahabatan mereka nggak akan putus hanya karena ini kok." Kasih memanyunkan bibirnya membuat Al menahan tawa. Dirangkulnya pinggang Kasih dengan erat. Sembari bergelayut di lengan wanita cantik itu. "Eh, Ma! Gimana kalo Raka kita jodohin aja sama Aisyah?" celetuknya. "Apa?" pekik Kasih syok. Hingga tanpa sadar wanita itu memukulkan sebuah tutup panci ke kepala putra tersayangnya itu. Al berjengit kesakitan. Pria itu mengusap kepalanya yang menjadi sasaran kemarahan sang ibu. "Mama ih! Kejam banget! Sakit kan kepala aku!" gerutunya. Kasih melotot pada Al. "Kamu sih! Ngomongnya asal ngablak aja!" omelnya. Al mengerucutkan bibirnya sembari mengusap-usap bekas kekejaman mamanya di kepalanya. "Ya siapa tau aja mereka mau. Lagian kan malah bagus kalo mereka bisa nikah. Raka itu biar insyaf. Biar nggak mainin cewek lagi. Aisyah biar nggak kelamaan jomblo juga kan?" "Al!! Jangan ngatain adikmu sama Aisyah!" seru Kasih sembari menjewer telinga Al. *** Mobil yang dikendarai Al berhenti tepat di depan pagar rumah kontrakan Luisa. Al melepas seat beltnya terlebih dahulu. Pria itu kemudian keluar mobil dengan segera. Berjalan memutar demi membukakan pintu untuk Luisa. Pria itu tersenyum manis saat Luisa keluar dari mobilnya. Al sempat mencuri sebuah kecupan kecil di dahi Luisa sebelum menutup pintu mobil. "Aku anterin ke dalem?" tawar Al. Luisa menggeleng. "Nggak usah. Udah malem. Kamu pulang aja! Besok kerja kan?" Al menghela nafas panjang. "Aku boleh nggak kerja aja nggak sih?" keluhnya. Luisa mengernyit. Tumben Al mengeluh. Biasanya pria itu begitu bersemangat saat kerja. "Emang kenapa?" tanyanya. "Soalnya aku nggak bisa..." "Nggak bisa apa?" "Nggak bisa pisah sama kamu." "Al! Gombal!" Luisa tertawa renyah sembari mencubiti perut dan pinggang Al. Pria itu ikutan tertawa-tawa. Al meraih kedua tangan Luisa. Mengunci gerakan Luisa dengan tangannya. Kemudian memeluk tubuh ramping Luisa dari belakang. "Aku cinta kamu," bisiknya di telinga Luisa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN