Windy terbangun ketika guncangan lembut menimpa salah satu bahunya. Meski terasa berat, gadis itu memaksa kedua matanya untuk memastikan. Ternyata Fania, mamanya, dan itu langsung membuat Windy terlonjak.
“Astaga….” Detak jantung Windy menjadi tidak beraturan. Bahkan ia sampai harus meredamnya dengan mengatur napas sedemikian rupa. Sebisa mungkin ia tidak mau membuat Fania mengetahui apa yang menimpa hubungannya dengan Kevin.
“Kamu kenapa, Sayang? Kamu lagi nggak enak badan? Terus semalam kamu pulang jam berapa? Papa sampai ketiduran nungguinnya.”
Windy yang sebenarnya masih bingung, memilih untuk mengangguk kaku sementara kedua tangannya sibuk mengusap asal wajah, terlebih kedua mata.
“Jangan terlalu kecapaian. Kamu harus terlihat segar di hari pernikahan nanti. Kamu dan Kevin harus banyak istirahat.”
Kali ini Windy tertunduk sementara tangan kanan memijat pelipis.
“Hari ini kamu juga nggak kerja?” Fania melangkah menuju jendela yang ada di seberang kasur, kemudian membukanya.
Windy mengernyit, menghalau sinar mentari. “Mmm, ker-ja?” Suara Windy terdengar sangat sengau bahkan cenderung serak. Ia mencoba bangkit, meraih sebotol air mineral 1500 mili dari nakas tanpa menyudahi pijatannya pada pelipis.
Fania mengernyit. “Serius, sepertinya kamu memang sakit?” Ia mendekat pada Windy dan menjerat anak gadisnya itu dengan tatapan tidak mengerti. Kemudian kedua tangannya bekerja memastikan leher dan kening Windy. “Kamu demam … apa nggak sebaiknya kamu izin ke Kevin? Dia udah tahu kalau kamu sakit belum?”
“Kevin…?” Windy mendesis. Dahinya berkerut samar seiring perih yang mendadak menyayat ulu hatinya. Pria itu … ya, secepatnya ia memang harus meminta kejelasan hubungan mereka. Kalaupun hanya bercanda, Windy berniat memarahi Kevin habis-habisan. Bahkan sekalipun ia sadar bila pria pilihannya itu tipikal cuek dan jauh dari kata romantis. Tidak seharusnya menjadikan pembatalan pernikahan sebagai bahan candaan hanya karena ingin mendapatkan kesan romantis!
Fokus Fania terenggut pada contoh undangan yang berantakan, bahkan sebagian terjatuh pada lantai dekat meja rias. Ia segera meraih sekaligus merapikan semuanya. “Undangan pernikahan kalian cantik-cantik banget. Jadi, kalian mau pake yang mana? Biar bisa secepatnya Mama sebarin. Kemarin udah banyak yang nanya-nanya tentang pernikahan kalian. Bahkan mereka antusias banget, waktu tahu Kevin itu pemilik rumah produksi film.”
Windy tersenyum atas kebahagiaan Fania. Tapi sekarang ia khawatir bila kebahagiaan itu akan digantikan luka. Gadis bermata sendu itu mendengkus sembari terus berharap bila semuanya akan baik-baik saja. Ia bertekad akan segera meminta penjelasan pada Kevin.
***
Windy hadir di kantor dengan mengenakan kacamata demi menutupi kebengkakan kedua matanya akibat menangis semalaman. Setidaknya, di sini ia dapat bertemu Kevin. Ia berniat memperjuangkan nasib cinta sekaligus kelanjutan persiapan pernikahannya dengan pria yang juga merupakan atasannya. Ia memang bekerja di balik layar untuk beberapa acara yang sebagian besar di antaranya selalu mendapat rating memuaskan. Boleh dibilang, gadis bertubuh semampai yang selalu tampil menarik tanpa harus membuatnya berpenampilan terbuka itu merupakan salah satu produser muda dengan karier cemerlang. Sementara Kevin, pria itu merupakan pemilik rumah produksi tempat Windy bernaung dan tak jarang akan turun lapangan secara langsung untuk menangani setiap programnya.
Di mata Windy, Kevin merupakan tipikal pekerja keras yang menghabiskan sebagian besar waktunya hanya untuk bekerja tanpa memedulikan hal lain termasuk bersenang-senang, seperti pria lajang sukses pada kebanyakan. Pun untuk urusan kencan, mereka hanya memanfaatkan waktu luang di tengah kesibukan bekerja.
Tak butuh waktu lama untuk bisa menemukan Kevin. Pria yang berpakaian formal dengan kemeja dan dasi itu tengah berjalan tergesa keluar dari ruangannya. Ruangan yang kebetulan berada pada seberang koridor keberadaan Windy. Menyadari itu, Windy segera menambah kecepatan langkah terlebih Kevin juga tampak menjadikannya sebagai fokus tujuan. Tak lama berselang, keduanya bertemu pada satu koridor di depan anak tangga yang menghubungkan ke lantai atas. Seperti biasa, Kevin melipat kemeja panjang yang dikenakan hingga siku, membuat tampilannya menjadi terlihat cukup santai, sekalipun kali ini sorot kedua matanya tampak sangat tajam.
Windy cukup mendongak demi menyeimbangi pria berberewok tipis yang memiliki bola mata indah berwarna biru di hadapannya. “Kev, kita harus bicara!” sergahnya.
Kevin mengangguk dan tampak menelan ludah secara kasar. “Ya, kita memang harus bicara. Bagaimana kelanjutan proyek film satu minggu lalu? Bukankah seharusnya sudah dikumpulkan?” Ada gurat kesal yang terpancar dari wajahnya.
Windy tergagap. “Keev!”
“Ndy, jangan bilang kalau kamu belum membereskan proyek itu!” Kedua matanya semakin tajam menatap Windy yang masih tergagap dan terkesan akan memberinya balasan namun diyakini sekadar alasan. “Aku tidak mau, ya, kamu jadi tidak profesional begini. Pokoknya kamu harus segera membereskan proyek itu hari ini juga, bagaimanapun caranya!”
“Kev.” Kevin nyaris berlalu, namun Windy berhasil menahan salah satu lengan pria itu. Kedua mata bulat sendu Windy yang sudah bengkak tampak sangat memohon.
Kevin berbalik sembari mengenyahkan tangan Windy dari lengannya. Detik itu juga, linangan air mata kembali luruh dari kedua ujung mata Windy seiring perih yang menyergap seluruh penggerak kehidupannya. Dosa apa yang membuatnya harus menghadapi kenyataan buruk seperti sekarang? Padahal, selama ini, sebisa mungkin dirinya selalu menghindari pertikaian dengan pihak mana pun. Dan kini, untuk kesekian kalinya, ia harus melepas punggung Kevin.
***
Sudah berjam-jam Windy terjaga di depan komputer kerjanya. Sialnya, tidak ada satu pun tulisan yang ia hasilkan. Otaknya masih tidak bisa diajak untuk berpikir sementara linangan air mata terus saja mengurai cerita. Bahkan ia juga sampai terisak terlebih ketika pihak dari butik tempatnya memesan pakaian pernikahan, sibuk memberinya kabar. Windy tidak lupa bila hari ini merupakan agenda fitting. Tapi, ia tidak tahu harus bagaimana.
Dengan kedua tangan gemetaran, Windy membaca setiap pesan dari pihak butik. Sesekali ia yang terisak juga akan sibuk menyeka asal air mata dan memijat pelipis tanpa melepas kacamata. Windy merasa bila kepalanya nyaris meledak, terlebih Kevin belum memberinya kepastian.
Dari luar, seseorang menerobos pintu kerja ruangan Windy dengan kasar. Membuat Windy refleks menoleh karena terjaga. Ternyata Kevin. Pria itu kembali melayangkan tatapan tajam dan Windy paham bila situasi sudah begitu, pasti semuanya tidak baik-baik saja. Tapi Windy tidak peduli untuk urusan lain kecuali apa yang tengah ia hadapi melalui ponselnya.
“Kev, pihak butik udah nanyain terus.” Suaranya gemetaran. Windy bangkit dan berniat menunjukkan pesan-pesan di ponselnya pada Kevin.
“Ndy, aku kan udah minta kamu buat profesional. Urusan yang lain, ya nanti!”
Balasan Kevin sungguh membuat Windy tidak habis pikir.
“Semua biaya akan kuganti!”
“Kamu ini kenapa, sih? Aku ngajak serius malah marah-marah terus? Aku juga tahu sekarang memang sedang di kantor, tapi pernikahan kita tinggal dua puluh sembilan hari lagi, Kev!”
Kevin tidak membalas. Pria itu terdiam dalam tunduknya.
Windy mendengkus. “Andai kamu ada di posisiku. Andai kamu jadi aku, Kev!” Ia kembali pada meja kerja dan menyambar tas sebelum berlalu meninggalkan Kevin. Pria yang empat tahun dianggapnya dapat dipercaya itu mendadak berubah menjadi pribadi arogan dan sangat tidak ia kenal.
“Ndy, kamu mau ke mana? Kerjakan dulu proyek yang kemarin!”
Dan seharusnya, Windy juga menyadari bahwa tidak hanya cinta yang bisa datang secara tiba-tiba. Sebab hal yang sama juga akan terjadi pada luka. Luka yang bisa saja datang tanpa diduga layaknya apa yang menimpanya sekarang. Bukankah awalnya semuanya baik-baik saja ketika ia yang tadinya sangat sulit membuka hati, bisa dengan mudah mencintai seorang Kevin?
***
“Ndy, kamu kenapa?”
Sapaan Fania membuat Windy terlonjak. Wanita itu melangkah mendekati Windy yang baru saja meninggalkan pintu beberapa langkah. Kemudian Fania melongok jam klasik tidak terlalu besar yang berdiri di sebelah lemari hias di belakangnya.
“Tumben jam segini kamu udah pulang?” Baru jam dua siang dan kenyataan itu memang belum pernah terjadi.
Windy menggeragap dan tidak berani mengangkat wajahnya.
“Kok ngelamun gitu?”
Kali ini gadis itu nyengir. “Seharusnya tadi aku nggak langsung pulang!”
Fokus Fania terus tertuju pada mata Windy. Karena meski anak gadisnya mengenakan kacamata, kebengkakan pada mata Windy tetap tidak bisa ditutupi bahkan lebih parah dari pagi tadi. “Kamu ada masalah?” lanjutnya seraya merangkul punggung Windy. Kali ini ia berhasil menatap wajah sang putri jauh lebih dekat. Penepisan di antara keresahan terpancar jelas dari kedua mata Windy yang terus bergerak liar. “Ma-sa-lah pekerjaan?”
“Nggak ada masalah kok, Ma.”
“Masalah persiapan pernikahan?” Fania masih menduga-duga.
Windy terkesiap kemudian menelan ludah pelan.
“Sudah menjadi hal yang lumrah bila masalah selalu ada, Ndy. Terlebih, kamu dan Kevin sama-sama sibuk, sementara kesibukan cenderung rawan menimbulkan masalah.”
“Kevin memang sedang sangat sibuk, terlebih proyek film go internasional juga masih menunggu keputusan final.”
“Yang mati saja masih sering dipermasalahkan, apalagi yang masih hidup?”
“Masihkah harapan itu ada? Kevin memang terlihat emosional … sangat lelah … dan, dia juga belum memberiku keputusan yang jelas. Dia bahkan belum membicarakannya dengan Papa dan Mama.” Windy terdiam menimang rasa. Sungguh, ia masih akan berusaha demi memperjuangkan sekaligus mempertahankan hubungannya dengan Kevin yang sudah tinggal menjalani hari ‘H’.