Episode 7 : Sandy, Seseorang Dari Masa Lalu

1400 Kata
“Apakah pernikahan yang tidak didasari rasa cinta, masih bisa disebut sebagai pernikahan?” Episode 7 : Sandy, Seseorang Dari Masa Lalu **** “Ndy, boleh aku minta bantuan kamu?” “Ya, tentu. Ada apa, Sand?” “Sebenarnya..., mmm, kamu ... kamu mau tidak, jadi pacarku?”  Jantung Windy seolah loncat dari posisinya seiring debar hebat yang ia rasa. Sekujur tubuh yang menjadi lemas, seolah diterbangkan ke awan, hanya karena permintaan Sandy. Masih mengenakan seragam putih abu-abu, ke duanya termangu dalam tautan tatapan intens.  “Ndy, aku serius. Kamu mau, nggak?” lanjut Sandy sesaat kemudian lantaran Windy justru menjadi bungkam. Gadis cantik bersenyum kelewat manis itu tersipu dan terlihat semakin malu-malu. Batin Windy berujar di antara debar kebahagiaan yang nyaris membuatnya menangis. Jadi, untuk ini, Sandy mengajaknya datang ke salah satu taman lengkap dengan bekal es krim contong cokelat kesukaannya? Es krim itu menjadi camilan langganan Sandy ketika sedang bersama Windy.  Windy mengerjap, segera mengelap sekitar bibir karena takut ada sisa es krim yang mengganggu pemandangan di sana. Selanjutnya ia berdeham, mengatur napas lirih untuk menghalau gugup. Terlebih ketika Sandy sampai menahan tangan kiri Windy yang sibuk menyeka sekitar bibir seiring tatapan serius cowok itu yang mengunci ke dua mata Windy. Seketika itu juga, kehidupan Windy terasa lumpuh.  “Please, Ndy. Hanya untuk pura-pura agar semua cewek berhenti mengejarku, terlebih aku ingin serius dengan Manda!” Sandy sungguh memohon. Namun, semua kebahagiaan Windy seketika hancur hanya karena pengakuan tersebut. Windy terluka, sangat dalam meski gadis itu hanya diam, menatap tak percaya Sandy bersama kesedihan yang menyertai. Seperti halnya cinta yang bisa datang secara tiba-tiba, begitu pula dengan luka yang seketika mengempaskan Windy pada jurang kecewa. Sakit, sangat sakit.  Windy mengira maksud Sandy serius. Namun nyatanya, cowok yang sudah dekat dengannya bahkan menjadi sahabat semenjak mereka mengikuti MOS di SMA, justru sebaliknya. Dan meskipun ingin menangis bahkan meledak pada saat itu juga, Windy tidak mau egois pada status persahabatan mereka.  ***** “Ha—!” Windy terbangun dari tidurnya dan sampai bangkit setengah duduk. Ia baru saja mimpi buruk—kejadian yang sebenarnya pernah ia alami tapi tak beda dengan mimpi buruk.  Sandy yang duduk di sofa sebelah ranjang rawat Windy, segera menyisihkan laptop dari pangkuannya. Sandy bergegas mengambil sebotol air mineral dari nakas. Ia menuangkannya ke gelas, kemudian mengangsurkannya kepada Windy. Windy yang jelas belum sepenuhnya memiliki kesadaran bahkan terlihat bingung, sesaat menengadah dan menatapnya. “Minum. Kamu mau aku menyalakan lampu?”  Sandy bertutur lembut sekaligus lirih. Dan yang membuat Windy sempat terkesiap, tak lain karena Sandy melipat lengan kemeja panjang yang dikenakan hingga siku. Itu membuatnya teringat Kevin yang memiliki kebiasaan serupa—dan tentu, Windy jadi merindukan pria itu. Terlebih biar bagaimanapun, kebodohan Windy membuat wanita itu masih berharap kepada Kevin. Ternyata memang mustahil bila empat tahun kebersamaan langsung bisa dilupakan hanya karena keputusan fatal Kevin yang memilih meninggalkannya dengan alasan tidak masuk akal. Padahal, calon pengganti Kevin juga pernah menjadi orang spesial yang mengisi hati Windy di masa lalu. Windy menjadi tidak yakin, apakah pernikahan yang tidak didasari cinta, masih bisa disebut sebagai pernikahan?  Mungkin siang tadi Sandy mengatakan mencintainya. Namun di masa lalu … kejadian yang baru saja menghiasi mimpi Windy beberapa menit lalu membuat Windy trauma. Kejadian yang juga membuat Windy merasakan trauma yang Kevin lakukan. Di mana kenyataan tersebut membuat Windy menjadi merasa tidak yakin pada sebuah pernikahan. Windy takut menikah. Takut kembali kecewa bahkan parahnya lebih. “Ndy?” Sandy semakin membungkuk agar bisa lebih jelas menatap Windy yang tak kunjung merespons.  Windy kembali terkesiap. Ulah Sandy membuatnya kembali ke alam sadar.  “Sore tadi kamu ketiduran setelah minum obat. Mama dan papamu sengaja kuminta pulang agar mereka bisa istirahat. Besok pagi mamamu baru ke sini, karena aku harus ke Surabaya.” Kendati ragu dan tidak dapat menutupi kecanggungannya, Windy menerima bantuan Sandy untuk minum. Pria muda itu memegangi gelas minumnya dengan sabar.  “Besok aku mau pulang saja,” ujar Windy sesaat selesai minum.  Sandy meletakkan gelasnya di nakas yang tadi ia belakangi. “Boleh saja. Asal dokter sudah memberi izin. Tapi jika dokter belum memberi izin, kamu harus di sini dulu sampai benar-benar sembuh.” Fokusnya tertuju pada buah pir dan apel dalam ranjang kecil, sementara ia sudah menggunakan sarung tangan plastik. Windy melirik Sandy. Pria muda itu sedang mengupas buah. Kemudian ketika Windy mengarahkan tatapannya pada sofa, ada laptop dengan layar menyala, bersanding dengan beberapa map berikut dokumen yang cukup terserak, sementara di lantai bawahnya terkapar sebuah tas kerja berwarna hitam. Sandy sudah menjadi orang sibuk—begitulah hasil dari pengamatannya.  Jik dulu sewaktu Sandy belum menjadi siapa-siapa saja sudah banyak wanita yang suka rela memberikan cinta, apalagi sekarang setelah Sandy menjelma menjadi pria mapan dan semakin tampan? Bukankah ke dua paket itu selalu menjadi kriteria utama seorang wanita dalam menentukan cinta sekaligus kriteria pria idaman? Sandy … bagi Windy, pria itu terlampau ‘menyilaukan’ untuknya.  Mendapati Windy melamun, Sandy mengambilkan potongan buah apel dengan garpu, kemudian mendulangkan kepada Windy. “Makanlah. Kamu harus banyak minum dan makan buah agar cepat sembuh.” “Aku bisa sendiri.” Windy mengambil alih garpu tanpa berani menatap Sandy. Sandy menelan salivanya sembari mengerjap beberapa kali. “Katakan kepadaku, apa saja yang harus diurus untuk pernikahan kita?” Windy menghentikan kunyahannya. ‘Pernikahan kita?’ Windy memang masih belum terbiasa jika kata-kata tersebut diucapkan oleh pria lain selain Kevin. Apa kabar pria itu, kenapa Windy masih saja rindu?  “Stop, Ndy. Sekarang Sandy, bukan Kevin. Cobalah belajar menerima kenyataan meski hanya sebentar!” Hati kecil Windy, murka dan bahkan tidak tahan lantaran baginya, Windy teramat bodoh. Bukankah Kevin sudah mencampakkannya? Kenapa ia justru masih saja merindukan pria itu bahkan mengharapkannya? “A-aku akan mengurusnya. Mmm, tinggal persiapan akhir. Ke butik, katering, undangan, cek gedung ….”  “Terus?” Sandy kembali menunggu. Tangan kanannya meninggalkan garpu di antara potongan buah kemudian menahan dagu Windy yang seketika langsung menatapnya dengan terkejut. “Biasa saja, Ndy. Jangan canggung apalagi menjaga jarak. Kamu harus terbiasa menatapku karena mulai saat ini kita akan sering bersama.”  Setelah sempat terkejut, gugup bahkan kebingungan, Windy terisak. Sandy yang memperlakukannya dengan lembut justru kembali membuatnya menjadi nelangsa, terlebih ia sendiri masih belum yakin dengan perasaannya.  “Sudah tidak ada waktu lagi meski aku tahu kamu butuh waktu untuk sendiri, Ndy. Percaya padaku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Atau kalau tidak, katakan padaku, apa yang harus kulakukan agar kamu percaya, kamu bisa bisa mengandalkanku?”  Windy masih tidak menjawab. Yang ada, ia kembali menyimpan wajahnya dan menunduk dalam. Sandy menghela napas lirih dan tampak pasrah. “Lusa orang tuaku baru akan pulang dari luar negeri. Besok pagi aku akan membicarakannya dengan orang tuamu dan meminta restu mereka untuk membawamu ke Bandung. Aku akan mengenalkanmu kepada orang tuaku.” Mendengar mengenai orangtuanya, Windy terpejam pasrah. Orang tua yang menjadi alasan utama Windy melakukan segala sesuatunya dengan sebaik mungkin, agar ia tak mengulangi kesalahan fatal. Iya, segala sesuatunya memang harus dilakukan dengan cepat. Tanggal pernikahannya semakin dekat.  Sandy merogoh saku samping celana yang dikenakan dan mengeluarkan sebuah cepuk hati berwarna merah dari sana. Sebuah cincin berlian dengan batu permata cukup besar menjadi isinya. Sandy meraih tangan kanan Windy, kemudian memasangkan cincin itu di jari manis tersebut.  “Aku sudah membeli cincin itu untukmu sejak lama. Dan kalaupun cincin itu memang tidak bisa menjadi milikmu, aku akan selalu menyimpannya.” Windy masih tidak berkutik. Terlebih yang dirasanya kini tidak hanya bingung, tapi juga serba salah. Pun kendati di keesokan harinya Sandy berhasil mengantongi restu Ardan dan Fania perihal rencana pria muda itu membawa Windy ke Bandung. Termasuk ketika di sore harinya Sandy yang baru pulang dari Surabaya langsung menyempatkan waktu untuk menjemput Windy yang sudah diizinkan pulang. Meski tak berselang lama setelah sampai di rumah Windy, pria muda itu juga harus kembali pergi melanjutkan pekerjaan yang belum selesai. Windy masih belum mendapatkan pencerahan terlebih keberanian atas kenyataan yang harus dihadapi.  Tentang Kevin yang meninggalkannya dan digantikan Sandy yang tiba-tiba datang. Sandy rela menjadi mempelai pengganti dan berjanji akan melakukan semuanya untuk Windy. Juga, tentang pernikahan yang serba mendadak termasuk hati berikut kehidupan Windy yang harus ditata ulang. Namun, siap tidak siap, itulah yang harus Windy lakukan. Sandy, pria itu akan menjadi satu-satunya pria yang harus ia tatap tanpa ada yang lain. Pria dari masa lalu yang akan menjadi mempelai pengganti, menggantikan Kevin untuk selama-lamanya. Mampukan Windy melanjutkan semuanya di tengah ragu yang membuatnya tidak baik-baik saja? ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN