Sesuai dengan pernyataannya kemarin, mulai detik ini Indira akan merawat Regar hingga lelaki itu dapat berjalan dengan normal kembali. Tak hanya merawat Regar, Indira bak ibu rumah tangga yang juga merawat Paula.
"Paula, A dulu Sayang.."
"Daddy! Kenapa sih Kak Rara yang suapi Paula!? Paula nggak mau! Titik."
Gadis kecil yang lebih sulit dibujuk dari pada Fela--keponakannya sendiri itu sungguh menyebalkan. Jika bukan karena merasa bersalah dan harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Indira tidak akan mau mencoba menempatkan dirinya menjadi baby sister dadakan seperti ini.
"A dulu dong Sayang.." Indira masih mencoba memajukan sendok yang berisi nasi dan lauknya itu. Ia melebarkan senyumnya dan berharap Paula luluh dengan wajah imutnya.
Prangg!!
Sendok dan mangkuk yang Indira gunakan untuk memberi makan Paula itu jatuh ke lantai. Itu semua karena kemarahan Paula. Indira masih terkejut dengan sikap Paula yang tidak sesopan biasanya. Ada apa dengan anak ini?
"Paula!!" bentakan keras itu membuat Paula seketika menunduk dalam. Indira terkejut untuk yang kedua kalinya. Bisa-bisanya Regar yang tengah duduk di kursi roda itu berani membentak putri kesayangannya.
"M-mas-"
"Minta maaf sama Kak Rara!!"
"...." Paula masih terdiam di posisinya yang berdiri. Ia berharap si mbak yang biasa merawatnya akan datang dan memeluknya. Namun, beberapa menit tak ada yang datang kepadanya.
"Paula! Sejak kapan berani membangkang pada Daddy!?"
Indira yang sudah tak tahan dengan sikap Regar yang berapi-api itu pun, segera membawa tubuh mungil Paula ke pelukannya. Ia mengusap pelan rambut gadis kecil yang sungguh ketakutan karena emosi sang ayah. "Mas..sudah."
Regar mengusap kasar wajahnya dan melajukan kursi rodanya menjauh. Meninggalkan Indira yang masih memeluk Paula dengan erat. "Sssstttt..sudah ya Paula, jangan takut. Ada Kak Rara di sini.." Begitulah ucap Indira yang mencoba menenangkan Paula.
"Non Paula? Kenapa.." Mendengar suara si mbak, Paula pun segera melepaskan dirinya dari pelukan Indira. Ia memeluk erat si mbak dan mengadukan semuanya.
"...gara-gara Kak Rara!! Semua gara-gara Kak Rara!!"
"Non Paula, tidak boleh seperti itu.." peringat si mbak mencoba menenangkan Paula yang menunjuk-nunjuk Indira dengan tangannya.
Sungguh diluar dugaan Indira apabila Paula bandel atau nakal. Sepertinya ini tidak benar. Pasti ada alasan tersendiri tentang perubahan sikap Paula terhadapnya. "Mbak..tolong bawa Paula ke dapur. Dia belum mau makan tadi."
Si mbak menjawab, "Baik Non Indira. Mohon maaf ya atas sikap Paula. Saya juga tidak tahu, biasanya Paula tidak pernah bersikap seperti ini."
Indira mengulas senyumnya dan berkata, "Tidak apa-apa. Mungkin dia lelah." Tangan gadis itu hendak menyentuh kepala Paula lagi, namun gadis kecil itu menghindar.
"Jangan sentuh-sentuh Paula! Gara-gara Kak Rara, Daddy sakit! Gara-gara Kak Rara, besok pentas piano Paula, tidak ada yang hadir. Mama sibuk! Daddy sakit dan tidak mungkin datang!"
Usai meluapkan emosinya yang terpendam, Paula pun berlari ke dapur. Si mbak tentu saja menyusulnya. Meninggalkan Indira yang kini telah mengerti penyebab dari perubahan sikap Paula yang terkesan sangat kesal terhadapnya. Jadi, ini semua karena dirinya? Astaga...
Indira kini melangkahkan kakinya menuju kamar Regar. Ia hanya ingin berpamitan dengan lelaki itu untuk berangkat ke kampus. Saatnya ia kuliah.
Hanya mendapati jawaban berupa deheman, Indira pun pasrah dan beranjak begitu saja. Namun ia tak akan tinggal diam melihat Paula yang menyalahkannya karena keadaan ini. Ia akan membuat Paula bersemangat di acara pentas piano besok. Ia akan pastikan Regar datang. Entah harus dibopong atau bagaiamana pun caranya.
Menjalani aktivitas kuliah seperti biasanya. Entahlah semangat Indira tak berapi-api seperti biasanya. Bahkan dosen kesayangannya yang tampan rupawan bak artis korea bernama Pak Indra itu pun diacuhkannya. Kenan yang sudah tak bisa lagi menahan rasa penasarannya pun kini bertanya, "Kenapa sih lo Ra?
"Nggak apa-apa. Aku pulang duluan ya Nan."
Indira terlihat terburu-buru. Kenan pun hanya mengangguk pasrah. Tak menawari tumpangan untuk pulang, karena jika sudah seperti ini Indira akan menolak. Entahlah.. ada apa dengan teman perempuannya itu.
Seperti yang sudah Indira janjikan pada Paula bahwa ia akan membuat Regar tetap menghadiri acara pentas pianonya. Meskipun mungkin hanya sebentar dan hanya menonton putrinya saja. Tak apa. Setidaknya Paula mengerti akan kehadiran Regar. Dan ia akan kembali bersemangat.
Malam ini juga Indira akan mendatangi rumah Regar lagi. Dengan membawa cemilan kentang goreng buatannya sendiri, berharap semoga Paula sedikit luluh karenanya.
"Ra..mau kemana?" Langkah Indira terhenti sebelum menuju pintu utama rumah megahnya. Di sana Mama dan Papahnya sedang menonton televisi.
"Eee-e mau ke rumah Mas Regar Ma.." jawab Indira sedikit gugup. Pasalnya Mamanya itu sangat protektif jika Indira keluar di malam hari.
Papah seketika menoleh dan menaikkan alisnya, "mau ngapain Ra? Sama siapa?"
"Mau ngasih ini ke Paula." Indira mengangkat paper bag yang di dalamnya berisi sekotak kentang goreng.
"...sendiri aja Pa-"
"Nggak Ra. Kamu minta antar..." ucap Papah menggantung.
"Le!?" teriak Mama tiba-tiba ketika Ridho baru saja melintas hendak memasuki kamarnya.
Ridho mendekat dan menunggu ucapan Nyonya Rajasa. "Kamu tolong antar adikmu Indira ke rumah calon suaminya. Nggak baik malam-malam seperti ini sendirian," pinta Nyonya Rajasa pada Ridho.
Ridho pun hanya mengangguk. "Ayo Ra," ajaknya.
Indira hanya bisa menurut seraya menghela napasnya pasrah. Memangnya siapa orang yang bisa membantah Papahnya? Memang benar-benar menyebalkan menjadi anak perempuan di keluarga Rajasa. Meskipun keluarga ini terkenal dan modern, akan tetapi tetap saja. Masih sedikit kolot jika mendidik anak perempuannya.
Sesampainya di rumah Regar. Ridho tak langsung pergi. Ia tentu saja menunggui Indira di dalam mobilnya. Sementara itu Indira masuk ke dalam rumah setelah si Mbak membukakan pintu tersebut.
"Kak Rara ngapain ke sini!?" Indira sedikit terkejut ketika melihat Paula ternyata sedang berada di ruang tamu bersama dengan ayahnya--Regar. Dengan posisi anak itu sedang duduk di bawah, menyelesaikan pekerjaan rumah yang diberikan gurunya. Sedangkan Regar menemaninya dan masih terduduk di kursi rodanya.
"S-selamat malam Mas.." sapa Indira dengan senyum kikuknya. Tak lupa ia juga melambaikan tangannya.
Aneh, Regar hanya tersenyum dan menaikkan sebelah alisnya. Sepertinya lelaki itu tahu, maksud kedatangan Indira bukan hanya untuk sekedar memberikan paper bag berisi cemilan itu saja. Ada maksud lain. Keyakinan Regar semakin kuat ketika Indira memintanya untul berbicara empat mata.
Di depan rumah, tepatnya di taman bunga yang sengaja di rawat oleh tukang kebun rumah Regar. Indira mendudukkan dirinya di kursi taman setelah mendorong kursi Regar tadi.
"Kamu ke sini diantar siapa?" Pertanyaan Regar membuat Indira urung membicarakan niat kedatangannya.
Indira memberikan isyarat agar Regar menoleh pada mobil hitam yang ada di depan gerbang rumah besar ini. "Siapa? Ridho?"
"Iya Mas."
"Mau bicara apa? Sampai ngajak saya kencan di taman bunga saya." Indira yang mendengar perkataan Regar hanya mengernyit heran. Duda beranak satu ini tetap saja bersikap menyebalkan, terkadang.
Indira pun mulai menceritakan semuanya. Mulai dari ketika Regar tadi siang marah dan meninggalkan Paula dengannya. Bukan maksud Indira untuk mengadu. Ia hanya mencoba meluruskan dan memperbaiki kesalahan yang sebenarnya pun bukan salahnya.
"Jadi, Paula kesal dan menyalahkan kamu atas kondisi saya?"
"Bisa dibilang seperti itu Mas. Tapi, Paula tidak salah. Toh memang benar ini semua gara-gara saya." Indira menunduk dan memilin ujung bajunya.
Namun kemudian ia mengangkat lagi kepalanya, "Mas? Besok Mas harus datang ke acara pentas piano Paula. Mas bisa 'kan? Nanti sama saya juga nggak apa-apa. Besok jam kuliah saya kosong."
"Sebentar. M-maksud kamu? Pentas piano? Paula?" Regar tampak kebingungan. Hal tersebut pun juga membuat Indira semakin tak mengerti. Apakah Regar benar-benar tidak tahu menahu soal ini?
"Mas nggak tahu?" Regar seketika menggelengi pertanyaan yang Indira lontarkan. Kedua bahu Indira pun merosot dan ia menyender di kursi taman.
"Saya benar-benar tidak tahu. Lagian sebelum insiden, yang mengurusi Paula dan sekolahnya hanya Mamanya saja. Saya hanya memantau ia ketika di rumah. Kok si mbak juga nggak bilang apa-apa ya ke saya?"
"Apa mamanya Paula nggak ngabarin Mas?"
"....." Regar lagi-lagi hanya menggeleng.
Indira hanya menghela napasnya. Sepertinya ini hanya sebatas kesalahpahaman saja. "Ya sudah. Yang penting sekarang Mas sudah tahu. Besok kita datang ya?"
"Pasti Ra.." Indira sangat lega saat ini. Untung saja ia memutuskan untuk datang dan menjelaskan secara langsung. Ia pun juga memberitahukan perihal pentas Paula secara langsung. Jika tidak, maka Regar akan semakin kebingungan dibuatnya.
"Ya sudah saya pulang dulu ya Mas," pamit Indira dengan membenahi tas serempangnya dan berdiri.
"Ra.."
"Y-ya Mas?"
"Kamu nggak tanggung jawab banget ya.." celetuk Regar dengan raut wajah kesalnya. Sedangkan gadis yang berada di depannya itu hanya menaikkan sebelah alisnya. Ia tak mengerti.
"Kamu antar saya ke dalam dulu."
Dengan menggigit bibir bawahnya, Indira benar-benar merasa bodoh. Ia pun segera mendorong kursi roda Regar untuk masuk kembali ke dalam rumah. Paula sudah tak ada lagi di ruang tamu. Mungkin sudah masuk ke kamarnya.
"Ya sudah Mas, saya pulang."
"Tunggu dulu. Kenapa sih buru-buru?"
"Nggak enak sama Mas Ridho di depan nungguin lama." Indira mengusap tengkuknya.
Regar tiba-tiba memberikan tangan kanannya. Sementara Indira masih terpaku di tempatnya berdiri. Ia tak mengerti mengapa Regar memberikan tangan kanannya.
"Salim dulu! Masyaallah calon istriku kok polos banget ya.." kesal Regar yang sudah berada di ubun-ubunnya.
Indira tersenyum lebar hingga gigi-giginya terlihat. Ia pun langsung mencium tangan Regar. "Dibiasakan ya Ra, mulai sekarang."
***