Peringatan Nana

1111 Kata
Nana benar-benar sakit hati karena ucapan Shakira. Namun, saat ia ingat sesuatu, ia tersenyum dan mengatakan hal yang membuat Shakira terdiam. "Shakira, aku hanya ingin mengingatkan satu hal. Kamu bisa menikah dengan Kenzi, tapi ingat, orang yang mudah berkhianat sekali, akan mudah berkhianat lagi. Semoga kamu kuat menghadapi kenyataan itu." Shakira terdiam, terkejut mendengar kata-kata Nana yang penuh makna. Nana meninggalkan dapur dengan perasaan lega, sementara Shakira terpaku di tempatnya, merenungkan ucapan kakaknya Shakira lalu berkata, "Idih, orang sirik! Ga mungkin lah Kak Ken selingkuh, aku kan pandai merawat diri. Apalagi Kak Ken nanti yang akan membiayai perawatanku." Shakira berlalu berjalan ke kamarnya dengan angkuh. Sementara itu, Nana sudah duduk di tepi ranjangnya. Ia meneguk air dari gelas yang dipegangnya dan berkata pelan, "Shakira belum tahu karakter Kenzi sebenarnya. Dia belum tahu jika Kenzi orangnya sangat perhitungan, ia pribadi yang super hemat tak beda jauh dengan orang yang pelit. Tapi sepertinya kalau aku katakan pada Shakira juga, paling dia menyangka aku iri padanya. Lebih baik aku diam saja." Nana menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Biarlah Shakira belajar dari pengalamannya sendiri," bisiknya, memutuskan untuk fokus pada masa depannya yang baru. Keesokan harinya, Nana dan keluarga Ganang sarapan bersama. Ada Nana, Ganang, Emanuela, dan juga Shakira. Shakira tampak ceria pagi itu, sementara Nana, seperti biasa, terlihat kalem dan tak banyak senyum. Saat Ganang melihat Shakira sudah menghabiskan sarapannya, dia minum lalu melihat ke arah Shakira, "Shakira, bagaimana skripsimu? Apa sudah selesai?" Shakira dengan percaya dirinya menjawab, "Belum ayah. Nanti aku akan lanjutkan setelah nikah ya!" Ganang bertanya lagi, "Lah memangnya sudah sampai mana?" Shakira menjawab, "Sudah bab tiga. Aku kan mau bayar orang buat kerjakan skripsiku tapi ayah melarangku. Ya sudah nanti saja. Aku juga kan sibuk mempersiapkan pernikahanku. Masih lama kok sidangnya, tiga bulan lagi. Masih bisa kekejar. Nanti juga aku kan nikah sama Kak Kenzi, pasti dia mau bantu aku, dia kan pintar, ayah." Ganang pun mengangguk, "Baiklah." Sementara Nana hanya diam seribu bahasa saat Shakira memuji Kenzi pintar. Dia menahan perasaan yang bercampur aduk di dalam hatinya, sambil mencoba untuk tetap tenang di depan keluarganya. Shakira lalu berkata, "Aku berangkat dulu." Emanuela bertanya, "Kamu mau ke mana?" Shakira menjawab, "Bertemu teman-teman, aku mau mengundang mereka ke pernikahanku sekalian beli kain untuk seragam bridesmaid-nya." Ganang bertanya, "Lah, memangnya kamu ada uang?" Shakira menjawab dengan tenang, "Ada ayah, kan dari Kak Kenzi." Emanuela pun berkata, "Sayang, kamu sudah minta tambah mahar. Apa tidak keberatan Kenzi-nya?" Ganang membenarkan, "Iya Shakira, kamu jangan berlebihan ah." Shakira menjawab, "Nggak akan, Bu, Ayah. Kak Kenzi itu sayang sama aku, dia akan memberikan apa yang aku mau. Pasti. Sudah ya, aku berangkat dulu." Setelah mencium kening Emanuela, Shakira berangkat. Nana melihat Shakira pergi dengan perasaan campur aduk, sementara Ganang dan Emanuela saling bertukar pandang, tampak sedikit khawatir. Ganang lalu bertanya pada Nana, "Nana, apa kamu tidak mau membantu Shakira menyusun skripsinya?" Nana menjawab, "Aku tidak bisa, Ayah. Tema skripsi Shakira tidak banyak referensinya. Jurusannya juga sangat beda denganku." Ganang mengerti, "Baiklah." Setelah beberapa saat hening, Nana memberanikan diri untuk bertanya, "Ayah, Ibu, bolehkah aku bertanya sesuatu?" Emanuela menatap Nana dengan penuh perhatian, "Tentu saja, sayang. Apa yang ingin kamu tanyakan?" Nana menghela napas sebelum bertanya, "Dimana aku diadopsi? Dari mana asal-usulku?" Ganang dan Emanuela saling pandang sejenak sebelum Ganang menjawab, "Kamu diadopsi dari panti asuhan di daerah Puncak." Nana mengangguk pelan, merasa sedikit lega meskipun hatinya masih penuh dengan pertanyaan. "Terima kasih, Ayah, Ibu." Emanuela mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Nana, memberikan dukungan dalam diam. Nana lalu berkata, "Ibu, boleh aku tahu dimana alamat panti asuhannya? Aku ingin mencari tahu siapa orang tua kandungku." Emanuela menjawab, "Tentu saja, sayang." Dia lalu memberikan alamat panti asuhan tersebut pada Nana. Nana tersenyum, merasa sedikit lega, "Terima kasih, Ibu." Ganang menatap Nana dengan penuh harap, "Nana, kami harap meskipun nantinya kamu bertemu orang tua kandungmu, jangan sampai kamu melupakan kami ya?" Nana mengangguk, "Iya Ayah, tentu saja. Aku tidak akan melupakan kalian. Kalian tetap keluargaku." Setelah mendapatkan alamat panti asuhan dari Emanuela, Nana kembali ke kamarnya. Dengan cepat, ia mengemasi barang-barangnya. Dia mengambil tas ransel dari lemari dan memasukkan beberapa pakaian, perlengkapan pribadi, dan dokumen penting. Saat jam menunjukkan pukul delapan pagi, Nana turun ke lantai bawah. Ganang dan Emanuela sudah menunggunya di ruang tamu. "Aku pamit dulu ya, Bu, Yah," kata Nana sambil tersenyum. Ganang mengangguk, "Hati-hati di jalan, Nak. Jangan lupa kabari kami kalau sudah sampai." "Iya, Ayah," jawab Nana. Emanuela menambahkan, "Semoga perjalananmu lancar, Nana. Kami disini mendoakanmu." Nana mengangguk dan melangkah keluar rumah. Di luar, dia langsung menuju halte bus terdekat. Ia menaiki bus yang akan membawanya ke terminal utama. Di sepanjang perjalanan, Nana berusaha tenang, meskipun hatinya berdebar-debar. Sesampainya di terminal bis, Nana membeli tiket menuju Puncak dan menunggu keberangkatan bis. Tidak lama kemudian, bus yang ditunggunya tiba. Nana naik, mencari tempat duduk yang nyaman, dan duduk dengan tenang. Sambil menatap keluar jendela, Nana merencanakan apa saja yang akan ia tanyakan pada pengurus panti asuhan. "Aku harus tahu siapa orang tua kandungku dan mengapa mereka meninggalkanku," pikir Nana. Perjalanan panjang itu memberinya waktu untuk merenung dan mempersiapkan diri. Meski perasaannya campur aduk, Nana merasa yakin ini adalah langkah yang tepat untuk mencari tahu asal-usulnya. Perjalanan ini adalah awal dari pencariannya untuk menemukan kebenaran tentang dirinya. Di tempat lain, Davin berjalan keluar dari rumahnya yang megah. Mobil sport hitam kesayangannya sudah siap di depan. Dengan langkah ringan, ia mendekati mobil itu dan tersenyum. "Ah, akhirnya aku bisa ke Puncak dengan tenang sekarang setelah Ayah dan Ibu berangkat ke kantor," katanya pelan. Davin membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Dengan satu gerakan halus, ia menyalakan mesin dan melajukan mobilnya keluar dari pekarangan rumah. Suara mesin mobilnya menderu lembut, menambah semangatnya untuk perjalanan hari itu. Di perjalanan, teleponnya berdering. Davin melirik layar dan melihat nama yang tertera. Ia segera menjawab panggilan itu. "Halo, Davin di sini," katanya. Suara di ujung telepon terdengar berbicara cepat, dan Davin mendengarkan dengan seksama. "Ya, aku sudah dalam perjalanan menuju kesana. Harusnya tidak akan lama lagi sampai," jawab Davin sambil tetap fokus pada jalan. Percakapan berlanjut beberapa saat sebelum Davin menutup teleponnya dan meletakkannya kembali di kursi penumpang. Ia menatap jalan di depannya dengan penuh antusiasme. "Aku harap perjalanan ini akan berjalan lancar," pikirnya sambil melajukan mobil dengan kecepatan stabil. Davin merasa lega karena akhirnya bisa melaksanakan perjalanan yang sudah lama direncanakannya. Dengan mobil sport hitamnya, ia meluncur menuju Puncak, siap menghadapi apapun yang akan ditemui di sana. Setelah sampai di daerah puncak dari kejauhan ia melihat ada bis berhenti di tepi jalan dan banyak sekali orang di sekitar bus. “Sepertinya bus nya bermasalah,” pikir Davin. Penasaran, ia memperlambat laju mobilnya. Dan mata dia berhenti pada sosok seorang perempuan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN