Jujur

1809 Kata
“Sudah dibilang jangan ngomong tentang suami istri di area kampus!” pekik Inara tertahan dengan mata membeliak. Ia lalu menurunkan tangannya. “Tutup lagi mulutku, Na.” “Ogah banget.” Inara bergidik. Ia mengusap tangan yang digunakan untuk membungkam bibir Syabil pada celana laki-laki di sebelahnya tersebut. “Tanganku kena ilermu, nih.” Syabil tergelak melihat ekspresi Inara. Ia sengaja datang ke indekos karena rindu dengan istrinya. Memandang wajah gadis itu, membuat hatinya terasa diliputi kebahagiaan. Lapar hanyalah sebuah alasan yang diciptakan untuk bisa berjumpa. “Wajahmu kenapa merah gitu, Bil?” tanya Inara heran sambil memperhatikan laki-laki di sampingnya. Padahal saat datang tadi, muka Syabil biasa saja. Syabil menjadi salah tingkah. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kejadian barusan, sukses membuat darahnya berdesir dan pipi ikut memanas. “Aduh aku laper, nih." Syabil mengalihkan pembicaraan. Beruntung, Inara yang biasanya bawel tidak peduli lagi dengan pertanyaannya sendiri. “Ya udah, aku pesenin dulu.” Inara mulai sibuk berselancar di aplikasi. Ia pun memilihkan lalapan ayam geprek dengan sambal paling pedas untuk Syabil. Inara tersenyum jail. Rasakan pembalasanku, Gendut! “Na, kamu kaya gini ya, kalau di kos?” Inara menautkan kedua alisnya. Ia menatap Syabil heran. Laki-laki itu terus memperhatikan kepalanya. “Kenapa? Ada yang salah sama kepalaku?” “Kerudungmu mana?” Syabil balas bertanya. “Di kamar.” Syabil terus menatap Inara, tanpa senyuman. Gadis itu heran dengan perubahan sikap teman masa kecilnya tersebut. Beberapa detik yang lalu wajah Syabil terlihat semringah. Namun, sekarang berubah seperti orang yang sedang diliputi kekecewaan. “Ambil sekarang.” “Ngapain?” “Ya, dipake nutupi auratmu.” Inara berdecak. Syabil mulai membuatnya jengkel kembali. “Aku kan, nggak keluar, Bil. Biasanya di rumah juga gini, ‘kan?” “Tapi ini di kos. Lihat tuh, pagar kebuka. Kamu nggak akan tau kalau dari seberang sana ada laki-laki yang melihat auratmu. Gimana?” Inara mendengkus kesal. Syabil sudah mulai mengatur hidupnya. Gadis bertubuh langsing itu mengerucutkan bibir sambil menyilangkan kedua tangannya. Syabil menghela napas. Ia harus lebih bersabar dalam menghadapi istrinya. “Ya udah, kalau nggak mau ambil kerudung. Gini aja.” Syabil memakaikan kupluk dari hodie yang dipakai Inara. Gadis itu terkejut tetapi membiarkan saja apa yang dilakukan Syabil terhadap rambutnya. “Kalau udah nikah, perilaku seorang istri jika buruk itu yang menanggung dosanya si suami. Auratmu itu hanya aku yang boleh memandang. Laki-laki lain haram meskipun hanya sehelai rambut yang keluar.” Inara bergeming. Ia membenarkan perkataan Syabil dalam hati. Meskipun tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren, ia juga paham tentang batasan aurat. Biasanya, ia tetap memakai kerudung saat menerima tamu laki-laki. Namun, Inara tidak terpikir untuk menutup rambutnya karena Syabil yang datang. Laki-laki yang secara agama sah sebagai suaminya walaupun belum mendapatkan tempat spesial di hatinya. “Cerai pilihan terbaik biar kamu nggak nanggung dosaku,” ucap Inara lirih. Syabil memijit pelipisnya. Istrinya masih saja bersikukuh untuk bercerai. “Na,” panggil Syabil sambil memegang bahu Inara. Namun, belum sempat ia melanjutkan ucapannya, pengemudi ojek online yang membawakan pesanan makanan datang. Inara pun beringsut menemui bapak itu. Ia kembali ke tempat semula dengan membawa kantong plastik berisi menu yang dipesan tadi. “Aku capek ngurusin ospek. Kamu makan di kontrakan aja.” Syabil mengangguk. Ia pun menerima bungkusan nasi itu dari Inara. Wajah gadis itu terlihat lelah. “Makasih, Na. Selamat istirahat,” ucap Syabil sambil keluar dari pagar. Inara mengangguk tanpa senyuman. Ia bergegas mengunci pagar besi bercat putih tersebut. Suasanan hatinya menjadi buruk. Ia kembali memikirkan cara agar rahasia pernikahannya tersimpan rapi dari lingkungannya di kampus, terutama Arfa. *** Perkuliahan tahun ajaran baru sudah berjalan selama satu minggu. Sepanjang itulah Inara menghindar dari pertemuan dengan Syabil. Namun, laki-laki itu selalu bersemangat mengirimi Inara makanan ringan. “Na, sepupumu itu baik banget, ya.” Resta membuka kantong plastik putih dengan lambang maskot lebah milik salah satu swalayan. Matanya membeliak melihat camilan yang menggiurkan. “Aku kok, baru tahu kamu punya sepupu kuliah di sini juga?” Inara menghentikan aktivitasnya yang sedang mengetik di laptop. Ia heran, Resta terus-terusan menyebut kata sepupu. “Sepupu apa, sih?” “Yang seminggu ini sering ngirimi kamu makanan. Kata Yasmin, namanya Mas Ganteng.” Inara sontak tertawa mendengar penjelasan Resta. Ia memang belum bercerita pada Resta. Ia bingung mau memulai dari mana. Gadis berwajah bulat itu menghela napas pendek. “Ta, kamu mau dengar ceritaku, nggak?” Resta menautkan kedua alisnya. Selama mengenal Inara, belum pernah gadis di hadapannya itu bertanya apakah dirinya mau jadi pendengar atau tidak. “Kadang aku lagi nggak mau dengar pun, kamu tetep cerita. Kenapa mesti nanya?” “Aku bingung mulai dari mana?” “Kayanya nih, masalah serius,” tebak Resta seraya memegang dagu. “Kamu jadian sama Arfa?” Inara menggeleng lemah. Resta semakin penasaran dengan cerita yang ingin dibagi mahasiswi Fakultas Keguruan tersebut. Ia terus mendesak Inara untuk segera bercerita. Namun, gadis itu hanya memperlihatkan cincin emas bertahtakan berlian berwarna putih. “Cuma mau pamer cincin baru? Nggak seru kamu, nih.” “Bukan, Ta. Kamu tahu kan, aku itu nggak pernah suka pakai perhiasan? Anting aja aku lepas.” Resta manggut manggut. Ia sempat merasa aneh melihat sahabatnya itu memakai cincin bertahtakan berlian pula. Ia pun menunggu Inara melanjutkan ceritanya. “Aku terpaksa pakai ini karena Mbak Marisa gagal nikah.” “Apa?!” Resta begitu tercengang mendengar penuturan Inara. Sepengetahuannya, kakak Inara itu sudah mempersiapkan pernikahan sejak jauh-jauh hari. Bahkan, Inara pun begitu bersemangat menjadi bagian dari hari bahagia saudara kandungnya itu. Salah satunya dengan berburu MUA yang bagus di Malang. Inara rela mengeluarkan tabungannya untuk memberi hadiah istimewa pada Marisa. “Kenapa kamu nggak cerita?” “Maslahanya itu, aku nggak sanggup cerita. Semua terjadi tiba-tiba.” “Pasti syok banget orang tuamu. Apalagi Mbak Marisa, ya? Di sekarang gimana?” “Pastilah. Sudah ada jalan keluar sebenarnya.” “Syukurlah.” Resta menghela napas lega. “Terus, hubungannya sama cincin apa?” “Ini cincin pernikahan Mbak Marisa.” Resta mengernyitkan keningnya. Ia tengah menganalisa cerita Inara. “Kenapa kamu pakai? Apa kekecilan pas hari H?” Dengan wajah memelas, Inara menggelengkan kepalanya. Ia bingung menyusun kata-kata yang tepat untuk memberitahu Resta. “Intinya pernikahan tetap terjadi, tapi Mbak Marisa nggak jadi nikah.” Resta membelalakkan matanya. Kalimat yang diucapkan Inara membuatnya tercengang. “Apa cincin itu artinya kamu gantikan Mbak Marisa nikah?” Inara mengangguk lemah dengan raut wajah diliputi kesedihan. Resta menggelengkan kepalanya berkali-kali. Ia tidak percaya ada kisah seperti itu di hadapannya. Menjadi pengantin pengganti? Sungguh seperti cerita di n****+ saja. “Jadi, kamu nikah sama calon kakak iparmu sendiri?” Inara menggeleng kuat. Resta jadi bingung. Inara pun menceritakan semuanya. Dari awal terjadinya musibah yang menimpa kakaknya hingga pengakuan kedua orang tuanya bahwa ia ternyata akan dijodohkan dengan Syabil saat sudah wisuda nanti. “Luar biasa complicated kisahmu. Tapi, aku bayangin keren loh, Na. Nikah muda. Ya Allah, rasanya gimana itu?” Inara berdecak kesal. “Aku mau cerai pokoknya.” “Ngawur kamu. Nggak usah mikir kayak gitu. Jalani dulu aja. Cinta itu bisa datang karena terbiasa.” “Aku nggak mau sama Syabil. Aku maunya sama Arfa." Resta mengehela napas panjang. Ia bisa memaklumi perasaan Inara. Gadis itu sudah sejak lama mengagumi Arfa. Apalagi mereka baru saja dekat. Tentu pernikahan tiba-tiba ini menjadi dilema tersendiri bagi sahabatnya tersebut. “Kapan mau ngenalin aku sama suamimu?” “Suami?” tanya Yasmin yang tiba-tiba muncul di depan pintu kamar Inara. Inara memberi kode pada Resta untuk menyimpan rapat rahasianya. “Suami? Siapa ngomong suami?” tanya Resta balik. Yasmin mengnagkat bahunya. Ia lalu ikut nimbrung di ranjang Inara. “Sepupumu emang baik banget, ya. Udah punya cewek belum?” “Kenapa? Kamu mau sama Syabil?” “Oh, namanya Syabil. Pantesan ganteng.” Inara menatap Yasmin tidak percaya. Teman satu indekosnya itu masih saja menganggap pemuda itu rupawan. Resta hanya bisa tertawa melihat respon Inara. “Kamu mau ke mana, Yas?” tanya Resta yang memperhatikan penampilan rapi teman satu indekosnya itu. Celana denim ketat dengan kaos lengan panjang yang membentuk tubuh langsingnya. “Biasa, nemenin Ivan ngerjain skripsi.” “Di kontrakannya?” tanya Inara memastikan. Yasmin mengangguk sambil mencomot keripik kentang yang dipegang Resta. “Nggak pakai kerudung?” “Pakai, Nenek Cerewet.” Yasmin mencubit pipi chubby Inara. Ia memang kerap menyebut nama sahabatnya dengan nenek cerewet karena Inara kerap kali berbicara layaknya orang tua yang sibuk menasihati. “Jangan pulang malem-malem,” titah Inara mengingatkan Yasmin. Namun, gadis itu sudah berlalu sambil melambaikan tangan. “Yasmin ini udah mengkhawatirkan.” “Nggak perlu diurus lagi, kalau dia nggak mau kita nasihati, Na.” “Nggak bisa kayak gitu, Ta. Kan, aku sudah pernah bilang. Teman itu juga dimintai pertanggungjawabannya di akhirat nanti.” Resta hanya manggut-manggut. Ia kadang jengkel dengan Inara yang begitu perhatian dengan Yasmin. Bukan cemburu, tetapi ia kasihan karena gadis ramah itu acapkali diabaikan ucapannya. “Kenapa dia harus mengenal Ivan? Aku rindu Yasmin yang rajin mengajak kita ikut kajian rutin mahasiswi di kampus. Yasmin yang rajin salat tepat waktu. Yasmin yang begitu anggun dengan gamis dan kerudung lebarnya. Sekarang semua berubah hanya karena cinta.” “Bukan cinta, Na. Nafsu lebih tepatnya.” Inara sontak menoleh ke arah Resta. Satu kata itu yang sangat ia takutkan jika benar Yasmin hanya mengejar nafsu sesaat. Gadis itu menggelengkan kepalnya kuat, menghalau pikiran buruk singgah di kepalanya. *** Inara sudah tiba di markas KOPMA. Baru ada Arfa dan dua temannya yang datang. Mereka akan membahas tentang rencana kegiatan untuk menyemarakkan UKM Party. Satu acara wajib yang diadakan untuk menyambut mahasiswa baru. Ajang pencarian kader untuk UKM di kampus Surya Gemilang. “Mana, nih, bandeng presto?” tanya Arfa begitu Inara duduk. Inara menepuk keningnya. Ia lupa mempersiapkan oleh-oleh untuk teman-temannya di Kopma. Terutama Arfa, tentu saja. “Lupa, Mas. Maaf, ya. Hectic banget di rumah seminggu itu.” “Aku cuma bercanda, Na. Oh, iya. Minggu depan ada undangan seminar di Surabaya. Jadwalnya humas yang berangkat. Gimana, siap?” “Aku sama siapa?” tanya Inara yang menjabat sebagai ketua bidang Humas. “Sama Pak Ketua, dong.” Arfa tersenyum manis sambil menatap lekat Inara. Pipi putih gadis itu bersemu. Mahasiswa jurusan Akuntansi itu lega, akhirnya ia mempunyai kesempatan untuk bisa bersama dengan Inara. Anggota yang lain mulai berdatanagan. Rapat pun segera dimulai. Mereka membagi tugas untuk UKM party. Inara mendapat tugas berjaga di depan tenda. Teman-temannya sudah tidak meragukan kemampuan berbicara mahasiswi pendidikan bahasa inggris tersebut. “Makan di belakang kampus, yuk, Na?” ajak Arfa setelah selesai menutup rapat. Inara mengiyakan tawaran ketuanya itu. Ia juga sudah lapar. Mereka pun menuju kedai bakso belakang kampus. Warung yang tidak terlalu luas itu cukup ramai. Inara dan Arfa mengambil posisi meja yang ada di pojok belakang. Gadis itu duduk di depan ketuanya yang menghadap luar. “Assalammualaikum.” Inara tersentak. Ia begitu hapal dengan pemilik suara tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN