4

824 Kata
"Jadi?" tanya Mbak Rina dengan wajah begitu penasaran. Tampaknya dia sudah tak sadar karena aku terus diam. "Dika, tunggu apa lagi?" ucap Mbak Rina gemas. "Ayo katakan. Melakukannya tidak?" "Apa aku harus mengatakan itu, Mbak?" Aku menggaruk rambut, malu. Mbak Rina mengangguk tegas. "Iya kamu harus mengatakannya pada Mbak, dengan begitu mbak tidak harus merasa bersalah pada Lail karena mbak terus beranggapan jelek padamu. Seperti yang Mbak takutkan, kamu dan Erika tidak pernah melakukan hal itu." "Melakukan," ucapku dengan cepat karena ingin segera menyudahi pertanyaan konyol mbak Rina yang hanya akan membuatku semakin malu saja karena baik ia maupun Mama, terus memandangiku. Aku seperti bocah kecil yang diintrogasi disuruh mengaku. Mata Mbak Rina membola dan seulas senyum menghiasi bibirnya yang seksi. Mbak Rina cantik, dengan tubuh sintal yang membuatnya menarik, sayang galaknya melebihi serigala. "Kamu tidak dusta kan, Dika?" Aku menggeleng tegas. "Tidak." Awalnya aneh melakukannya dengan Erika. Aku merasa aku perempuan, tapi saat melakukannya ternyata tidak ada hambatan berarti(penjelasan tentang ini bisa dibaca di aplikasi Innovel dengan judul Suami Hamil) gratis. "Jadi, bisa," ucapku lagi untuk menyakinkan Mbak Rina. "Baiklah." Mbak Rina mengangguk. Di sebelahnya, wajah mama tampak lega. "Berarti tidak salah Mbak menjodohkanmu dengan Lain. Kamu ternyata tidak bengkok-bengkok banget, jadi tidak akan sulit," katanya sambil mengusap bahuku lembut. Mama juga tersenyum. "Tapi, Mbak ...." kataku, membuat Mbak Rina langsung memandangiku. "Tapi apa Dika?" Tatapnya seolah mengerti keraguanku. "Tapi Lail ternyata adiknya Mas Eri." Aku menghela napas berat. Teringat Mas Eri membuatku kesal. Andai ia bisa jaga diri, tentu tak mungkin hamil. Atau, kalau saja ia hanya dil3c3hkan dan tidak hamil, mungkin aku masih bisa menerimanya. Karena dia dilecehkan bukan melakukannya suka sama suka. Dilecehkan artinya Mas Eri menolak tapi ia tak memiliki tenaga untuk memberontak. Oh Mas Eri, aku sebenarnya sangat menyayangimu, mencintaimu. Tapi mendapatimu hamil, aku menggeleng, sulit sekali menerimanya walau melihat wajah Mas Eri tadi membuatku sedih. Kasihan dia menangis seperti itu terlihat begitu nelangsa. "Memang kenapa kalau Lail adiknya Erika? Kamu hanya terus bersikap seperti tadi, Dika. Teruslah pura-pura tidak kenal dengan Erika. Mbak jujur saja daripada kamu dengan Erika, lebih baik dengan Lain, dia anggun dan tentu saja tidak bengkok." Ucapan Mbak Rina menampar perasaanku tapi aku hanya diam. Dari dulu Mbak Rina jika sudah berkehendak, maka harus dituruti. *** "Dika, ayo, kamu sudah siap?" Tok tok tok. Pintu kamarku diketuk-ketuk. Aku memandangi diri di cermin, merasa aneh dengan kemeja lengan panjang dan celana kain hitam. Ini salah. Seharusnya aku memakai dres cantik, tapi jika melakukan itu sudah pasti kepalaku akan digetok oleh Mbak Rina. "Dika." Tok tok tok Akhirnya aku membuka pintu. Mbak Rina tampil anggun dengan dres cantik dan jilbab senada, ia mengenakan manset dengan celana panjang abu-abu yang tak terlalu ketat di kakinya. Sementara mama, ia memakai gamis kuning lembut yang berkilauan dengan jilbab senada, memandangku dengan senyum terulas di bibirnya. Satu bulan telah berlalu sejak perkenalanku dengan Lain. Ayah Lain tak ingin terlalu lama kami saling mengenal, maka beliau bilang jika aku benar-benar serius, maka aku harus melamar Lail. Ucapan ayah Lail disambut hangat oleh mama dan Mbak Rina. Kakakku dengan antusias langsung mengajakku ke toko perhiasan membeli seuntai kalung yang membuatku jadi teringat, Mas Eri membelikanku kalung dan gelang sebagai maharku dulu. "Gantengnya adik mbak," kata Mbak Rina, ia mendekat lalu memelukku. Mama juga ikut memelukku. Aku yang begitu terharu karena mereka ternyata sangat menyayangiku pun terisak-isak. "Terima kasih masih mau menyayangiku, Mbak. Hiks hiks." Mbak Rina langsung melepas pelukan, matanya melebar. "Dika, jangan menangis!" "Aku menangis karena sedih, Mbak." Tisu ia keluarkan dari tas tangannya, lalu Mbak Rina mengusap air mataku. "Walaupun kamu sangat sedih, tetap tidak boleh terisak-isak," katanya. "Menangis sewajarnya saja karena kamu laki-laki. Ingat, Dika, kamu laki-laki sekarang. Laki-laki!" Tegasnya. Kuanggukkan kepala. "Iya, Mbak." Mama tersenyum lantas mengusap lembut bahuku. Kami pun tanpa membuang waktu segera menuju kediaman Lail. Begitu sampai, aku keluar mobil dengan gugup. Aku tidak pernah melamar sebelumnya, dulu Mas Eri-lah yang melamarku. Apa yang harus kukatakan pada ayah maupun Lail nanti? Lail, maukah kamu menjadi istriku? Sungguh terdengar menggelikan. Harusnya Lain yang bilang padaku, Dik Ika, maukah jadi istriku? "Mbak." Aku berhenti di teras rumah Lail, aku ragu-ragu melangkah mendekati pintu yang sedikit membuka. "Kenapa?" tanya Mbak Rina tampak heran wajahnya. "Apa nanti Lail yang bilang begini, Dik Ika, maukah menikah denganku?" Mata Mbak Rina juga mama sama-sama melebar, lalu tangan Mbak Rina terangkat dan menjitak kepalaku kuat. "S0nt0yolo kamu!" katanya. "Tentu saja kamu yang bilang karena kamu sekarang sebagai lelaki dan Lail perempuan," ucapnya dengan gemas, mama menggelengkan kepala dengan bibir menahan senyum. "Baiklah," ucapku karena tak ingin diocehi Mbak Rina lagi. Aku mendekat ke arah pintu lalu, Tok tok. "Assalamualaikum." "Waalaikum salam." Terdengar sahutan dari.dalam lalu pintu mengayun membuka. Aku terpana melihat perempuan berjilbab kuning lembut berdiri di hadapanku, wajahnya dirias tipis dengan lipstik pink lembut di bibir tipisnya yang membuatnya terlihat ... dia terlihat ... Dadaku semakin berdebar saja rasanya melihat Mas Eri yang juga menatapku berlama-lama. Kami sama-sama diam, berpandangan.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN