Pria Itu Bernama Ikhsan

1107 Kata
Nama lengkapnya adalah Ikhsan Putra Admaja. Pria berusia 25 tahun itu kini bekerja sebagai karyawan kontrak di sebuah PT yang bergerak dibidang manufaktur. Arini sudaH mengenal Ikhsan sejak mereka masih duduk di bangku SMA. Hubungan mereka pun berlanjut ketika keduanya sama-sama dierima di Universitas yang sama. Ikhsan itu bertubuh atletis dengan rambut ikalnya yang selalu dibiarkan terlihat semerawut. Sebenarnya Ikhsan itu memiliki wajah yang cukup tampan. Dia memiliki senyum yang manis dan tatapan mata yang teduh. Selain itu, Ikhsan merupakan tipikal pria humoris dan selalu bertingkah narsis. Banyak orang yang menyayangkan sikapnya itu. Mereka menilai sikapnya itu jadi melunturkan pesona wajah tampannya, namun bagi Arini sendiri itulah pesona Ikhsan yang sudah membuatnya jatuh cinta. Arini menerima sosok Ikhsan apa adanya. Dia nyaman dengan apa adanya Ikhsan, tapi seiring waktu berlalu Arini juga mulai merajut harap agar Ikhsan bisa bersikap lebih dewasa, baik dalam sikapnya dan juga pemikirannya tentang kelanjutan hubungan mereka berdua.   Jarum jam sudah menunjukkan pukul 08.00 malam. Aneka jenis masakan sudah tertata rapi di atas meja makan. Kepulan asap masih mengepul di antara beberapa jenis hidangan. Aroma nikmat pun memenuhi ruangan itu.  Kedua orang tua Arini juga sudah bersiap menanti kedatangan Ikhsan. Sang ayah yang biasanya hanya mengenakan sarung di malam hari kini terlihat rapi dengan baju kemeja dan celana dasar yang sudah disetrika rapi. Beliau duduk di sofa dan terus memandang ke arah pintu dengan sedikit gelisah. Sementara, sang ibu masih sibuk menata kondenya yang selalu terlepas. Malam ini ibu Arini pun terlihat lebih cantik dengan polesan make up minimalis di wajahnya. “Kenapa dia belum datang juga, sih?” bisik Arini.  Arini melangkah bolak-balik di dalam kamarnya. Malam ini dia terlihat cantik dalam balutan dress warna merah berlengan panjang yang terlihat kontras dengan kulit putihnya. Rambut panjangnya yang biasa terikat kini dibiarkan tergerai. Make up  warna nude ditambah lipstick warna merah pekat membuat penampilan Arini terlihat cantik natural, tapi tetap terlihat mewah.    “Ikhsan sudah sampai di mana?” sang ibu tiba-tiba masuk ke dalam kamar Arini. “D-dia sepertinya masih di jalan, Buk,” jawab Arini terbata, “Suruh dia buruan ... nanti sup buntutnya terlanjur dingin kalau kelamaan.” “I-iya, Buk. Sebentar lagi dia pasti datang, kok.” Begitu sang ibu keluar kamar, Arini kembali mencoba menelepon Ikhsan. Dia terus mencoba menghubunginya berulang-ulang, namun Ikhsan tetap saja tidak mengangkat panggilannya. Arini pun berubah panik. Butiran keringat mulai mengucur pelan di dahinya. Jemarinya sibuk mengetik pesan yang dikirimnya terus- menerus.  Sesekali dia juga mengintip dari jendela kamarnya melihat ke arah halaman. “Kamu ke mana, sih ....” Waktu pun terus berlalu. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.00 malam. Arini duduk terpekur di sofa bersama kedua orang tuanya. Sang ayah diam membisu dengan kepulan asap cerutu di wajahnya. Sang ibu yang duduk di sebelahnya juga tidak lagi bersuara. Dia melapaskan tatanan kondenya, lalu beranjak ke meja makan untuk menyimpan semua makanan yang sudah tersaji. Arini pun hanya bisa menahan getir melihat pemandangan itu. Rasa bersalah kini menjalar cepat di hatinya. lebih dari itu, kekecewaan dan amarahnya kepada Ikhsan juga mulai terasa menyiksa. “M-maafin aku, Pak ....” Arini berusra lirih. Sang ayah hanya melirik sekilas, kemudian bangun dari duduknya. Ketika sampai di ambang pintu kamar, langkah kaki pria paruh baya terhenti dan dia pun berucap tanpa memandang Arini sama sekali. “Sepertinya kamu harus berpikir ulang untuk menjadikan laki-laki seperti itu sebagai pendamping hidup kamu.” Deg. Arini tersentak mendengarkan kalimat itu. Padahal sebelumnya sang ayah sangat menyukai Ikhsan. Mereka sering menghabiskan waktu untuk bermain domino bersama.  Bahkan ketika Arini dan Ikhsan bertengkar, sang ayah sering memarahi Arini dan membela Ikhsan. Tapi,  malam ini sang ayah benar-benar terlihat sangat kecewa. “Ibuk istirahat dulu, ya.” sang ibu menyentuh pundak Arini pelan. “Buk ....” “Apa?” Arini menatap sang ibu dengan mata yang sudah basah. “Maafin aku, Buk ....” Sang ibu yang tadinya hendak pergi duduk di samping Arini dan memeluknya erat. Arini pun langsung menumpahkan tangisnya dalam dekapan sang ibu. “Sudah ya ... lebih baik sekarang kamu tidur aja. Biar ibuk yang nanti bicara sama Bapak kamu.” Arini mengangguk pelan dan di antar oleh sang ibu menuju kamarnya. Dia mengunci pintu, lalu menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Arini pun memejamkan matanya dengan helaan napas yang masih terdengar sesak. Sesekali lelehan air matanya masih mengucur dari mata yang terpejam itu. Tak lama kemudian Arini kembali membuka matanya. Tatapan sendu itu  beralih pada sebuah figura yang terletak di dekat lampu tidur. Potret itu menampilkan Ikhsan dan Arini ketika perayaan kelulusan mereka sewaktu SMA. Tepat di sebelahnya juga ada figura lain yang berisikan potret mereka ketika di wisuda. “Kita sudah sejauh ini ... kita sudah selama ini ... tapi, kenapa kamu tidak pernah mengerti....?” ****  Waktu sudah menunjukan pukul 21.00 malam. Arini baru saja selesai siaran dan sedang menunggu ojek online yang sudah dia pesan. Raut wajah gadis itu terlihat kuyu. Hari ini dia bahkan membuat kesalaham ketika siaran sedang berlangsung. Kekesalannya pada Ikhsan sudah merusak harinya. “Hei ...!” Arini terkejut menyadari sosok Ikhsan yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depannya. Lelaki itu mengenakan seragam bolanya dengan sekujur tubuh yang masih dipenui oleh keringat. Ikhsan tersenyum canggung, Arini pun hanya menatap sekilas dan langsung melangkah pergi. “Kamu mau ke mana?” Ikhsan langsung meraih tangannya. Arini bungkam dan beusaha menarik tangannya dari genggaman Ikhsan. Ikhsan menarik Arini lebih kuat hingga gadis itu terpental ke dalam pelukannya “Kamu marah sama aku?” “Lepasin ...!” Arini berusaha melepaskan diri dari dekapan Ikhsan. Ikhsan mendekap Arini lebih erat, sedangkan gadis itu terus meronta dengan air mata yang sudah menetes di pipinya. “Maafin aku.” Ikhsan berucap pelan. Arini mendorong tubuh Ikhsan hingga dia bisa melihat wajah pria itu. “Maaf kamu bilang?” Ikhsan menelan ludah. “A-aku—” “Aku benar-benar kecewa sama kamu!” pekik Arini. Ikhsan terdiam. “Kamu tahu nggak ... Ayah sama Ibuk itu sudah nungguin kamu!” “Oke. Aku memang salah ... tapi, kamu juga salah karena bikin acara yang mendadak seperti itu, Rin,” ucap Ikhsan. “Mendadak kamu bilang? aku udah ngabarin kamu sejak malam itu dan di telepon kamu juga bilang akan segera datang. Tapi apa?”  Ikhsan tidak menjawab. Dia mengalihkan pandangannya pada jalanan yang dipadati lalu lalang kendaraan. Arini pun tersenyum kecut, lalu menyeka air mata di pipinya. “Sudahlah ... semua nggak ada gunanya lagi.” Ikhsan terkesiap dan menatap nanar. “Maksud kamu apa ngomong kayak gitu?” Arini menghela napas panjang. “Aku capek ... aku benar-benar capek dengan semua ini. Jadi sekarang aku ingin menenangkan diri. Jadi jangan ganggu aku dulu....” ****        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN