titik terang

2370 Kata
Duduk di bawah naungan pohon besar, tempat dimana ia melamunkan sosok yang ia cintai, kini ia rasakan lagi. Namun bukan lagi lamunan, melainkan pikiran hebat apa yang akan ia lakukan setelah ini. Tomi tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi, di hadapkan pada sosok yang selama ini menguasai hatinya. Dia tidak sendiri di sana, duduk beruda dengan seorang yang telah ia lamunkan selama ini, ternyata seperti ini akhirnya. Mungkin jika dirinya memberi tahu semua yang terjadi sejak awal tak akan pernah terjadi hal seperti ini, Kecanggungan melanda keduanya, Bingung harus berkata dan berbuat apa. Semua hanya bisa diam, sibuk dengan fikirannya masing-masing. fikiran mereka berputar lagi mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Kejadian yang tak akan pernah terbayangkan oleh Tomi. "Maaf, mas, maafinaku, aku mohon maafin aku." Eca, berlutut dan tak hentinya berucap maaf, berkali kali ia mengecuk kakk Tomi, bersuara sesenggukan karna tangisnya yang semakin pecah, Tomi diam, melihat semua perlakuan Eca membuat hatinya terenyuh, tak pernah sekalipun terbesit dalam fikirannya, seorang Eca bisa melakukan hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Tanpa Tomi sadari, bulir air mata turun dengan bebasnya, menggambarkan bagaimana perasaanya saat ini, senang dan bahagia membuncah, menghilangkan rasa takut akan kebencian Eca terhadapnya. Hilang sudah semua keraguan yang selama ini mengganggu pikirannya. Tomi menundukan tubuhnya, tangannya terulur memegang kedua pundak Eca, di angkatnya dengan paksa, kemudian berjingkok di depan tubuh Eca hingga tubuh merka saling berhadapan. Senyum tulus terukir di bibir Tomi, kedua tangannya ia pindahkan di kedua pipi Eca, jari lentiknya mengusap air mata yang merusak kecantikan istrinya itu. "Maaf... Maaf... Maafin a-ku mas." suara terisak itu membuat Tomi semakin tak sanggup melihatnya. Tanpa menunggu persetujuan Eca, Tomi merengkuh tubuh Eca kedalam pelukan. Memelik dengan erat, seolah takut akan kehilangan-lagi-sosok yang di cintainya itu. Tangannya mengelus rambut panjang Eca, menghirup aroma yang selama lima tahun ini ia rindukan, semua seolah seperti mimpi. "Sttt... Its ok, kamu gak perlu sampek segitunya, aku udah maafin kamu kok." Mendengar suara serak itu Eca mulai memberanikan diri membalas pelukan Tomi, awalnya hanya sebuah pelukan biasa, namun setelah merasa Tomi akan melepas pelukannya Eca semakin mengeratkan pelukannya, menyembunyikan wajahnya dalam tengkuk Tomi. Menangis dan terus menangis membuat tubuhnya semakin bergetar. Tomi kehabisan kata-kata, semua orang yang ada di ruangan itu terdiam, menyaksikan pemandangan haru, bahkan Tasya ikut sesenggukan dalam pelukan neneknya. "Jadi-" "Mas-" Keduanya saling terdiam (lagi) setelah suara mereka keluar secara bersamaan, Eca menundukan wajahnya sedangkan Tomi sudah larut dalam pesona akan sosok Eca yang semakin cantik. saling menunggu, menunggu salah satu dari mereka mengucapkan kalimatnya. Beberapa menit menunggu tapi hasilnya masih sama, tak ada yang keluar dari mulut mereka, "Kamu-" "Mas-" lagi-lagi mereka mengeluarkan suara secara bersamaan. Tomi tertawa akan kelakuan yang baru saja terjadi, Dalam hatinya ia menggeruru kenapa bisa secanggung ini sih. Tomi memberanikan diri, menyentuh tangan Eca, menggenggamnya dan membawa pada pahanya. Di usaony pelan kemudian ia menganggat dagu Eca perlahan. "Kamu apa kabar?" Tomi mengucapkan itu setelah tatapan mereka saling bertemu. Terdiam binggung memberi jawaban apa, Eca hanya takut jika ia bersuara, tangisannya mungkin akan pecah saat itu juga. "Aku harap semua baik-baik aja selama aku pergi?" Bahkan Eca masih juga belum bisa menjawab pertanyaan tomi, terlalu gugup dan senang membuat mulutnya seolah kaku, hanya anggukan kepala lah sebagai jawaban Eca. "Kok diem aja sih, kamu masih benci ya sama aku?" Mendengar perkataan Tomi, Eca langsung menggeleng kuat, menggigit bibir bawahnya berusaha kuat menahan air matanya. Tomi tau Eca sedang menahan tangisnya, ia hanya tersenyum, jarinya mengelus pipi Eca lembut, ibu jarinya turun di bibir bawah Eca, melepaskan dari gigitannya. Di perlakukan seperti itu tentu saja membuat hati Eca berdesir, akhirnya air mata yang sedari tadi ia tahan kini pecah. Dengan sigap Tomi menarik tubuh bergetar Eca kedalam rengkuhannya. Eca mulai membalas pelukannya, memeluk dengan erat, tangannya mencengkram kuat kaos yang di kenakan prianya. Tomi yang menyadari akan hal itu langsung mengelus punggung Eca, memberi ketenangan di sana. "Hey... Kok nangis lagi sih?" "Jahat-" satu kata yang mampu membungkam mulut Tomi, menelan kembali pertanyaan yang sedari tadi ia tahan. "Maafin aku kalo aku udah jahat sama kamu" Eca menggeleng kuat memindah wajahnya ke d**a Tomi, mengusap, menghirup aroma yang menenangkan baginya. "Maafin aku ya ca, aku tau udah jahat sama kamu, biarin kamu sendiri buat besarin Tasya" "Iya, m-as ja-hat sama a...ku, mas ud-ah biarin aku sendiri selama ini" Tomi mendorong pelan pundak Eca, memandang mata sembabnya, memberanikan diri mengecup kedua kelopak mata indah itu. Jantung Eca langsung berdetak dengan cepat, seolah ini berlari dari tempatnya. Perlakuan Tomi tak pernah ia bayangkan sebelumnya, memejamkan matanya sampai ia merasakan hembusan nafas Tomi mulai menjauh. Perlahan ia membuka matanya, pandangan mereka langsung bertemu, mata hitam pekat milik Tomi seolah menyedot semua perhatian Eca untuk selalu menagapnya. "Maaf-" Eca kembali memubruk tubuh Tomi, memeluk nya erat. "Mas... Harusnya itu aku yang minta maaf, udah pernah jahat sama kamu. Aku nyesel" "Tapi aku juga salah, udah biarin kamu sendirian" ucap Tomi dengan tangan mulai mengusap rambut Eca. Eca mengurai pelukannya, duduk menjauh dari Tomi, membuang mukanya seolah ia tengah marah, tentu saja kelakuannya membuat Tomi kebingungan. "Iya mas emang salah, tega biarin aku sendiri, hidup dengan di temani ketidak pastian. di kira enak apa?!" ucap Eca sinis namun masih terdengar nada penuh kemanjaan di sana. Tomi menggeser tubunya, mendekati Eca, meraih tangannya dan ia genggam. "Iya maaf, maafin aku udah biarin kamu dengan kabar yang gak pasti itu" "Gak mau!" "Loh kok gitu sih ca. Masnya minta maaf loh, masa gak di maafin" Eca masih bersikeras dengn pendiriannya, namun ia juga tak mau melepas genggaman tangan Tomi, "Pokonya gak mau mas. Aku gak mau cuma nerima maaf doang dari mas" "Terus apa dong?" Bujuk Tomi "Ya apa kek, gak romantis bener jadi orang, gak tau orang kangen apa, dasar suami gak pe-", Eca menggrutu pelan, mengeluarkan unek-unek dalam hatinya, namun belum saja kalimatnya selesai, ia merasakan sebuah benda kenyal menempel pada bibirnya. Awlanya hanya menempel, merasa Eca tak memberinya respin dan hanya diam, tomi memberanikan diribuntuk mulai melutat bibir Eca. Enatah keberanian dari mana hingga Tomi nekat melakukan itu, semua ia pertaruhkan di sana, melupakan semua peradaan takut itu, yang Tomi Fikirkan saat ini hanya kerinduan yang begitu menggebu pada sosok di hadapannya ini. Tomi mulai menuntut dalam lumatanya, bahkan ia berani menggigit bibir bawah Eca agar terbuka, dan benar saja, tak lama bibir itu terbuka, Tomi tak menyia-nyiakan kesempatan, ia semakin berani menjelajahi rongga mulut Eca, bahkan lidahnya mengabsen barisan gigi rapih milik Eca. Di luar perkiraan Tomi, Eca yang sedari tadi hanya diam, kini mulai membalas semua perbuatan tomi, bukan Eca tak ingin membalas sejak tadi, hanya saja dirinya masih tak percaya jika ini nyata. Semua berlalu seperti mimpi, namun setelah sadar ia tak akan membiarkan semua berlalu begitu saja, Eca bahkan semakin memburu, tak memperdulikan paru-parunya yang menjerit meminta oksigen, ia terus saja mengecup, menghisap bibir tipis itu, hingga mereka merasa benar-benar butuh udara dan melepaskan cumbuannya dengan rasa kecewa mengukutinya. ➿➰➿ "Kamu kenapa?, dateng kok senyum-senyum sendiri gitu?" Ratna dibuat bingung dengan ekspresi wajah cucunya. Baru saja ia berkata ingin menemui ibunya tapi langsung kembali dengan wajah penuh kebahagiaan. "Eh gak papa kok oma" menjawab dengan menoleh sekilas, melangkah ke ruang depan dengan wajah semakin sumringah. Merasa penasaran Ratna berajak dari dapur, kakinya membawa ke depan pintu yang tertuju pada sebuah taman, dimana menjadi tempat favorit Tomi menghabiskan waktunya. "Pantes aja, Tasya keliatan seneng banget, bapak mamaknya aja kelakuannya kayak gitu" Ratna hanya bergumang, tak ingin jika suaranya mengganggu kedua insan yang tengah melepas rindu itu, memutar tubuhnya dan memutuskan pandangannya, berjalan mengampiri dimana cucunya berada. "Kayaknya kamu bakalan punyak adek sya" ucap Ratna setelah bokongnya mendarat sempurna di kursi sofa. Seketika Tasya langsung menoleh dengan wajah sumringahnya "Beneran oma?" "He'em, asal kamu jangan ganggu mereka dulu, biarin aja, nantikan cucu baru buat cepet tumbuhnya di perut ibu kamu" "Emmm ok deh oma," Setelahnya tawa mereka pecah, membayangkan kelakuan lucu kedua orang yang tengah asik di taman belakang. ➿➰➿ Bibir Tomi kembali bertemu dengan bibir Eca, setelah beberapa saat lalu keduanya melepaskan pagutanya karna paru-paru mereka perlu udara, kini keduanya mulai menyatukannya kembali, melumat dengan lembut, saling menghisap dan memberi kenikmatan pada pasangannya, tangan Eca kini sudah mulai nakal, menjelajahi d**a bidang Tomi, walau terlihat kurus dari sebelumnya, tapi tetap saja, d**a itu seolah gak pernah mati memberi kenyamanan untuk Eca. Jari-jari eca mulai nakal, menjelajahi setiap jengkal d**a Tomi, mengelus pelan membuat Desahan keluar begitu saja di sela pagutan mereka. Tomi melepaskan ciuman mereka, menatap wajah Eca yang kini mulai terengah, dan memancarkan Raut kecewanya. Seulas senyum m***m terbit di bibir Tomi. Tangannya terulu mengelus sudut bibir Eca. "Kalo di terusin aku takut khilaf, ini masih terlalu siang untuk itu" Eca menundukan wajahnya, menutupi semburat merah di pipi, namun sayang rona merah itu sudah terlihat jelas oleh Tomi. "Kamu cantik kalo merona gitu, aku jadi pengen" "Mas...!!" Tomi terkekeh pelan melihat Eca yang tengah merona seolah menghilangkan ketakutan akan kebencian Eca selama ini, mungkin ia terlalu bodoh tak percaya kata sang ibu dan terlalu takut hingga tak berani menemui Eca sebelum ini, Tomi mengangkat mengangkat Eca dengan jari teluntuknya, hingga tatapan mereka bertemu, "Iya sayang, maaf" "Ihhh... Mas ini asal nyosor aja, aku kan masih marah, aku belum maafin mas, ya!" "Lho kok gitu, katanya suruh kasih yang romantis biar di maafin," "Iya romantis, tapi tadi sama sekali gak romantis, masnya malah buat aku kehabisan nafas, kalo aku pingsan gimana?!" Tomi semakin terkekeh, seperti ini rasanya mencintai dan di cintai, seolah kembali pada jaman SMA dulu. "kalo pingsan ya di kasih nafas buatan lah, biar bangun" ucap Tomi dengan tangan mulai menoel dagu Eca. "Mas...!" "Iya deh maaf, masak gitu aja ngambek sih, sini sini peluk dulu" Dengan raut malu dan merona, Eca mendekatkan tubuhnya, memeluk Tomi merasakan kenyamanan yang ia rindukan semala ini Namun beberapa saat kemudian Eca melepaskan pelukannya kala ia mengingat akan sesuatu, kemudian menatap Tomi tajam. Tentu saja kelakuan Eca membuat Tomi bingung. "Sampek lupa kan, mas kemana aja selama ini?, kenapa gak ngasih kabar?, kenapa diem aja saat ibu bilang mas udah gak ada?" Tataoan Eca menyusuri tubuh Tomi dari atas hingga bawah, "terus kenapa sekarang jadi kurus gini?, pasti makan nya gak bener kan?" Tomi terkekeh pelan, tangannya terulur ke wajah Eca, mengelusnya dengan lembut. "Masnya gak tau kalo ibu bilang ke kamu tentang mas udah gak ada, mas juga gak bisa ngasih kamu kabar karna takut ganggu kehamilan kamu," "Maksudnya?" Tanya Eca yang tidak mengerti ucapan Tomi. Tomi menunjukan senyumnya, kemudian mengalirlah semua cerita yang ia alami sejak awal kepergiannya dan semua perjuangannya melawan penyakut ganas yang ia derita. Eca hanya diam mendengarkan itu, menahan semua gejolak dalam dirinya, bahkan tak terasa air matanya kembali keluar saat mengetahui betapa beratnya perjuangan Tomi hanya agar bisa bersama dirinya dsn buah hati mereka. Setelah selesai mendengar cerita dari suaminya, Eca langsung menubruk tubuh Tomi, memeluknya dengan erat. "Kenapa mas gak ngomong sama aku, kenapa mas gak ngebiarin aku di sisi mas, nemenin perjuangan mas" Eca sesenggukan di dalam telukan Tomi, ia merasa sedih dan bersyukur. Sedih karna merasa menjadi istri yang tam berguna, dan bersyukur karna Tuhan masih memberinya waktu untuk bersama dengan suaminya. "Kan tadi mas udah bilang, mas gak mau kamu kefikiran sama mas dan berpengaruh sana kandungan kamu, lagian pas itu juga kamu pergi ninggalin mas, jadi mas mikirnya kamu masih benci sama mas" Eca sadar, dan Eca sabgat ingat, kala dimana ia meninggalkan Tomi setelah perdebatan panjang itu, hanya saja ia tak menyangka jika Tomi memiliki beban seberat itu, dan hanya di tanggung sendiri, lalu aoa gunanya ia menjadi seorang istri. Peradaan bersalah semakin besar dsn merasuki segala rongga dalam tubuhnya, tangisannya semakin pecah, ia semakin mengeratkan pelukannya, tak ingin jika Tomi pergi lagi darinya. "Ma-maaf mas, maaf udah jadi istri yang gak berguna buat kamu" "Sttt. Kamu gak boleh ngomong gitu, senua udah berlalu, sekarang aku udah di sini buat kamu" Tomi membalas pelukan Eca, mengelus rambutnya dengan sayang, bahkan hatinya semakin berdesir mendengar tangisan pilu dari Eca. "jangan nangis lagi ah, jelek nanti loh" Eca hanya mengangguk, kemudian membenamkan wajahnya semakin dalam menghirup aroma menenangkan diri tubuh tomi. Sesaat setelah sesenggukannya reda Eca menggelengkan wajahnya di d**a Tomi, tentu saja untuk menghapus apaoun itu di wajah Eca, air mata kringat bahkan ingus, tak peduli apa respon Tomi nantinya. "Mas..." "Hemmm" Eca melepas pelukannya, berganti posisi, bersandar di d**a bidang Tomi dengan jari yang memainkan ujung kaos Tomi, "Nanti kamu ikut kita pulang ya," Tomi terdiam menatap Eca tak percaya, setelahnya sebuah hembusan nafas pelan keluar dari celah bibirnya. ia menundukan kepala sembari menggeleng pelan. "maaf aku gak bisa, aku masih ingin di sini", Tomi menunduk menatap ujung sepatu yang ia mainkan di atas rumput. Eca menatap nanar, mungkin kah jika Tomi belum berani untuk kembali kerumah mereka karena kenangan lama?, "jangan salah sangka, mas mu ini hanya rindu dengan rumah ini, makanya belum mau pulang" Tomi berucap seraya tersenyum manis, namun dari ucapan Tomi, Eca tah jika Tomi hanya menenangkan nya, di sorot mata coklat itu Eca tau, ada ketakutan di dalam sana. "kamu pembohong terburuk tom" Eca tersenyum tipis, kemudian berdiri menatap langit cerah. "iya deh, tapi bolehkan kalo aku malem ini yang nginep di sini, aku kok ngerasa kangen juga sama suasana rumah ini" pria kurus itu menatap perempuan yang masih bersetatus istrinya itu dengan tatapan heran. mungkinkah jika Eca sudsh menerimanya kini. sebenarnya alasanya Tomi menolak untuk pulang kerumah mereka, hanya karena takut jika Eca belum sepenuhnya menerima keberadaanya. tapi dari jawaban Eca barusan sungguh membuatnya tercengang. Tomi mengangguk sebagai jawaban. Eca berdiri dari duduknya, menatap langit cerah di atas sana. "oh ya, anterin Eca yuk, mau ambil berkas di kantor" Eca menoleh kearah Tomi yang masih saja menunduk sembari memainkan jemarinya, yang langsunh saja mengangkat kepalanya kala Eca selesai berucap. "sebagai ganti karna kamu gak mau pulang dan mengharuskan aku tinggal di sini karena kangen kamu tentunya" Tomi tersenyum, menganggukan kepalanya sebagai tanda jawaban. "kalo itu gak masalah, asalkan aku yang bawa" Eca memincingkan matanya, "emang kuat, badan krempeng juga" "ngeremehin?" tanya Tomi yang sudah berdiri dan bergerak memdekat,eraih pinggang Eca dan menyeretnya dari sana. "kerempeng gini juga masih kuat loh" Eca mencibir namun tak protes, bahkan kini senyumnya semakin melebar tatkala sudut matanya melihat betapa hangatnya tangan Tomi yang berada di pinggangnya kini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN