“Aku bukan pengemis.”

1480 Kata
Seperti biasa, setelah menjual jamu, Nayra pulang ke rumah, istirahat sejenak menjelang pukul sebelas, lalu lanjut makan siang. Kemudian, bersiap-siap lagi menyusul ibunya yang bekerja di laundry pakaian. Tidak begitu jauh dari rumah. Bahkan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. ______ "Ya sudah. Kamu besok tagih saja ke Pak Guntur langsung. Itu pembantu memang sudah kelewatan kalo begitu. Jangan kamu kasih utang lagi." "Sebenarnya sih, bukan jumlah uangnya. Cuma duapuluh lima ribu. Yang bikin kesel itu cara Mbok Min yang tega bohongi aku, Bu." "Iya. Ibu ngerti, Nay." Nayra tampak cekatan membantu ibunya menyetrika pakaian yang sudah kering. Nayra memang sangat rajin membantu ibunya bekerja. Dia membantu bukannya mendapat upah, akan tetapi dia ingin meringankan tenaga ibunya agar cepat pulang ke rumah. Karena tenaga ibunya sudah tidak sekuat sebelumnya. Namun, terkadang sang pemilik Laundry juga suka melebihkan upah ke Nayra. Nayra pun dengan senang hati menerimanya. *** Dan pagi selanjutnya, Nayra benar-benar melaksanakan perintah ibunya. Setelah jamu-jamunya sudah habis terjual, Nayra sudah berdiri di samping sepedanya, menunggu mobil Pak Guntur ke luar dari garasi. Selang beberapa menit, tampak pintu garasi mobil rumah Pak Guntur terbuka secara otomatis. Dan mobil SUV mewah berwarna hitam itu mulai perlahan ke luar dari pekarangan rumah asri tersebut. Nayra langsung berlari menuju sisi kanan mobil yang masih lambat berjalan. "Ya. Ada apa?" Untung si pengendara melihat Nayra. "Maaf, Pak. Saya Nayra. Hm ... boleh saya ngobrol sebentar?" Pria empat puluh satu tahun itu mendengus kasar. "Langsung saja. Apa mau kamu?" tanyanya dengan nada malas. Benar kata Nayra. Pak Guntur memang terlihat menyebalkan. "Saya mau nagih hutang pembantu Bapak. Mbok Min," balas Nayra yang sedikit kesal dengan sikap pria tampan itu. "Loh? Kenapa nggak kamu tagih dia langsung? Kok nagih ke saya?" "Sudah saya tagih, Pak. Mbok Min sepertinya nggak minat bayar. Duapuluh lima ribu, Pak." Bukannya mendengar kata-kata Nayra, Pak Guntur malah menjalankan mobilnya perlahan menjauh dari Nayra. Nayra hanya menghela kesal. Ingin menangis rasanya. Dengan perasaan sedih bercampur jengkel, Dia melangkah menuju sepedanya dan mengendarainya menuju arah rumahnya. Sementara itu Pak Guntur tampak melihat Nayra yang sedang mengendarai sepedanya dari rumahnya lewat kaca spion mobilnya. Matanya terpejam sejenak. ____ Nayra kaget. Ada mobil hitam yang melaju di depan. Lalu berhenti tepat di hadapannya. Begitu tahu mobil itu milik Pak Guntur, Nayra mengayuh sepedanya perlahan dan menghentikannya tepat di sisi pengendara mobil. "Nih ... sisanya kamu ambil saja," kata Pak Guntur seraya menyodorkan uang biru ke Nayra. Wajahnya terlihat malas. Nayra tidak langsung mengambil uang biru itu. Dia malah merogoh tas pinggangnya dan mengais uang dua puluh lima ribu. "Ini, Pak. Makasih," ujar Nayra. Diraihnya uang dari tangan Pak Guntur dengan cepat, lalu dengan cepat pula dia letakkan uang yang diambilnya dari tas pinggangnya ke tangan Pak Guntur yang masih tersodor ke arahnya. Nayra cepat-cepat mengayuh sepedanya kembali. "Aku bukan pengemis," gumam Nayra sambil menahan tangis. Sungguh pagi yang menjengkelkan bagi Nayra. Tadinya dia berharap Pak Guntur membayarnya langsung tanpa harus memberinya drama dengan pergi menjauh terlebih dahulu. Dia merasa terhina di hadapan pria kaya itu. Dan Pak Guntur terkesima melihat Nayra yang sedang mengayuh sepeda. Sejenak diperbaikinya kaca spion, lalu kembali melajukan mobilnya. *** Malam itu Nayra tampak tidak begitu b*******h. Dia tidak banyak bicara saat mempersiapkan rempah-rempah yang akan dijadikan ramuan jamu buat dia jual keesokan harinya bersama ibunya. Dan ibunya tentu saja heran melihatnya. "Ada apa ini?" tanya Bu Ola hati-hati. "Sudah aku tagih, Bu. Langsung ke Pak Guntur. Tadinya dia cuekin gitu. Terus tiba-tiba dia mungkin berubah pikiran. Dia nyusul aku, dan bayarin hutang Mbok Min." "Lha? Bagus dong. Trus, kenapa kamu masih murung begini?" "Kesel caranya. Nggak suka liat wajahnya, Bu. Kayak ngeremehin gitu." Bu Ola tergelak. Nayra memang gadis yang perasa, namun sebenarnya sangat menyenangkan. "Udah. Namanya juga orang punya pangkat, berduit pula. Ujung-ujungnya memang suka-suka dan nggak mikirin perasaan orang lain." Nayra hanya menghela napas kecewa mendengar pendapat ibunya. "Biarin, Nay. Yang penting tanggung jawab Mbok Min sudah berkurang. Lain kali, kamu nggak perlu lewat rumah itu lagi kalo jual jamu. Nggak usah kamu tawari lagi," lanjut Bu Ola berusaha menenangkan. "Ok, Bu." Bu Ola mengusap-ngusap punggung Nayra. Dia tatap gadisnya itu penuh rasa simpati. Bagaimana tidak, Nayra adalah gadis yang selalu menuruti perintahnya, dan tidak pernah melawan. Nayra juga selama ini banyak membantu dirinya bekerja. Dia gadis yang tidak pernah menyusahkan. Sejak duduk di bangku kelas empat SD, Nayra juga membantunya menjualkan kue-kue buatannya di sekolah-sekolah. Dan Nayra dengan semangat mengantar kue-kue tersebut tanpa mengeluh sedikitpun. Tiba-tiba muncul Farid, adik Nayra. Remaja tanggung itu lalu duduk di tengah-tengah mereka ikut membantu memilah-milah rempah-rempah jamu. "Udah belajarnya?" tanya Nayra. "Udah, Kak," jawab Farid pendek. "Ada yang kamu butuhin buat sekolah kamu?" tanya Nayra lagi. "Hm ... belum ada sih. Paling bulan depan. Aku perlu hape baru, Kak. Yang lama sudah lemot banget." Nayra tersenyum. Disenggolnya bahu adiknya itu. "Mau aku perbaiki dulu, Kak. Trus dijual. Jadi nggak perlu uang banyak untuk beli yang baru," ujar Farid kemudian. "Ok. Bagus kamu bilang dari sekarang. Jadi aku bisa persiapkan dananya dari sekarang," balas Nayra penuh semangat. "Makasih, Kak Nay," ucap Farid sambil terus membantu kakaknya. Bu Ola menatap dua anaknya yang sangat akrab itu. Nayra yang sayang Farid dan rela melakukan apa saja demi Farid, juga Farid yang sayang kakaknya, yang selalu menanyakan Nayra jika telat pulang ke rumah. Bu Ola memang tidak lupa mengingatkan keduanya untuk saling sayang. Karena hanya kasih sayang yang mampu membuat hidup jadi bahagia dan berharga. *** Sepertinya Nayra sudah melupakan rasa kesalnya. Pagi ini, semangat membantu ibunya pulih kembali. Apalagi semalam adiknya sudah memintanya untuk membelikan ponsel baru buat keperluan sekolah. Nayra akan berusaha mengumpulkan uang untuk mewujudkan keperluan sekolah adiknya. Dan Nayra benar-benar tidak melewati rumah Pak Guntur pagi itu. Bukan segan atau takut. Tapi dia tidak ingin Mbok Min berhutang lagi. Repot nagihnya, batinnya, bikin susah hati, lanjutnya masih membatin. Tapi, ternyata ketika dia ingin membelokkan sepedanya dari rumah Pak Guntur, ada yang memanggilnya. Mbok Min. Duh. Dan Nayra terpaksa menghentikan sepedanya. "Kamu kok nggak lewat sini? Apa karena aku nggak bayar hutang?" tanya Mbok Min dengan gaya soknya. "Ya iya, Mbok Min. Masa aku nawarin jualan aku ke orang yang nggak mau bayar hutang? Nambah-nambah hutang, nambah-nambah bete. Susah nagih orang sibuk kayak Mbok Min," rutuk Nayra. Dia masih sebal. Bukan terhadap Mbok Min, tapi juga majikan Mbok Min. "Lha. Ini aku mau bayar hutangmu. Plus hutang-hutang jamuku dulu. Berapa? Dua belas ribu? Keciiiiil." Nayra memiringkan bibirnya melihat Mbok Min yang menjentik-jentikkan jari-jarinya di depan wajahnya. "Iya ... yang gaji gede mah. Keciiiil. Hutang aja susah bayarnya," sergah Nayra dengan wajah sebal. "Nay... nay. Nih, duitnya." Mbok Min menyerahkan uang duapuluh ribuan dua lembar ke hadapan Nayra. Dan lagi-lagi, Nayra tidak segera meraih uang itu. "Udah, Mbok. Mbok Min bayar yang dua belas ribu aja. Cicilan daster udah dibayarin sama majikan Mbok Min," jelas Nayra. Dia sedikit mendorong tangan kasar Mbok Min. Mbok Min mendelik heran. "Ha? Kamu nagih ke dia?" tanyanya. Perasaannya seketika ingin marah. "Iya. Soalnya susah nagih ke Mbok," jawab Nayra ketus. "Duh kamu malu-maluin aku aja." "Emang Pak Guntur nggak ngomong ke Mbok?" Mbok Min menggelengkan kepalanya. "Kamu berani-berani lancang, ya?" gerutunya dengan wajah masam. "Suka-suka dong. Uang aku. Soalnya aku tau Mbok baru beli hape kan di konter Koh Huan? Bayar hutang aja nggak bisa," tukas Nayra. Wajahnya tak kalah masam. Hampir saja Mbok Min mau memarahi Nayra. Tapi ketika Nayra mengatakan dirinya enggan membayar hutang, dia langsung kicep. "Oh ... hehe. Maaf," ucapnya. "Ya udah. Mbok. Bayar yang dua belas ribu aja. Mbok nggak usah bayarin sisanya." Mbok Min menarik uangnya dan menukar uang kertas yang jumlahnya lebih kecil. Diserahkannya ke Nayra. "Makasih Mbok Miiiin," ucap Nayra. Wajahnya berubah manis seketika. "Nah. Yang ini gratis buat Mbok Min," ujarnya lagi seraya menyerahkan plastik berisi jamu buat Mbok Min. "Besok aku mau beli jamu kamu lagi, Nay. Jangan lupa mampir. Dan maaf yah. Hehe...." "Iya. Besok aku mampir. Tapi bayar ya?" Mbok Min sedikit merasa bersalah saat melihat Nayra menjauh dari rumah majikannya. Diamatinya gadis manis berambut pendek itu tengah mengayuh sepeda dengan susah payah. Tak lama kemudian, dia kembali ke rumah majikannya. Mbok Min dan Nayra sangatlah akrab. Meski usia beda jauh, Mbok Min 40, Nayra 20, mereka saling menganggap teman. Nayra tidak segan-segan menyatakan perasaannya jika jengkel, pun Mbok Min. Hanya memang, terkadang Mbok Min yang suka usil, jarang mau bayar jamu yang dijual Nayra, misalnya. Meski akhirnya dia bayar juga. Mbok Min juga sering curhat dengan Nayra. Janda dua anak ini kerap mengeluhkan sikap mantan suaminya yang acuh tak acuh dengan anak-anaknya. Mau tidak mau dia harus bekerja keras, dengan meninggalkan dua anaknya bersama ibunya di kampung halaman. Dan dia dia selalu menyuruh Nayra singgah di rumah majikannya, jika Nayra sudah hendak pulang. Biar dia bisa ngobrol-ngobrol cantik dengan gadis manis itu. Hanya karena insiden hutang piutang saja hubungan keduanya sedikit renggang beberapa hari ini. Tapi sepertinya ada kedamaian di antara mereka sekarang. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN