“Aku mengalah untuk mengatahui kekuatan angin, dan mengambil keuntungan yang lebih besar dari uang-uangnya.” Jawab Yura dengan lembut membuat Julian tertawa seketika mengetahui kelicikan Yura yang mengandalkan kekuatannya untuk mengetahui isi jumlah dadu di dalam kotak.
“Aku suka kelicikanmu” tawa Julian semakin keras dan terhibur.
Julian meletakan lagi gelasnya di meja dan mengambil piring makanan yang belum dia sentuh dengan makanan yang hangat. “Kau ingin melakukannya lagi?.” Tawar Julian begitu melihat kesenangan pada diri Yura yang telah bermain dengan Adhulpus.
Julian bisa mengajari Yura dengan senang hati untuk melatihnya dan mengajari bagaimana caranya untuk tidak terlalu terlena. Sangat banyak orang sukses hanya dengan menjadi penjudi professional, namun ada banyak juga yang hidup melarat terlilit hutang karena tidak bisa mengontrol diri dan mengambil keputusan yang tidak di perkirakan.
Sebuah gelengan kepala menjadi penolakan Yura, tangannya bergerak memotong daging empuk di piring. “Kemenanganku dalam berjudi itu bisa menjadi keberuntungan, dan keberuntungan tidak datang selamanya. Aku tidak ingin terlena. Banyak orang yang jatuh miskin karena judi.”
Jawaban Yura sama sekali tidak dapat Julian pahami karena pemikiran berbeda. “Kaya tidak berguna jika kau tidak memiliki waktu untuk menikmati hasilnya.”
“Sebelum aku menikmatinya, aku harus memahami bagaimana mengelolanya.”
Julian mengangguk kecil mendengarnya, Yura bukanlah wanita yang suka berpesta-pesta seperti dirinya, dia hanya mengikuti alur untuk berjalan. Julian berpikir jika dia harus lebih mendorong Yura berani melangkah dan mengambil banyak hal-hal baru untuk menikmati hidupnya.
Yura tidak berbicara lagi, dia hanya tertunduk menikmati makanannya, sekilas dia melihat kebawah melalui jendela. Pandangannya mengedar melihat ke lautan, Yura terdiam menelan makanannya perlahan.
Pikirannya berkelana teringat janjinya Raymen jika dia akan membawa Yura pergi terbang di langit Eropa dan membawanya ke Venesia jika nanti Raymen setelah lulus sekolah penerbangannya.
Dan beberapa hari yang lulu Yura sudah terbang di langit Eropa, dia sudah terbang di langit Venesia. Namun tidak bersama Raymen, melainkan dengan Julian yang kini sudah menjadi suaminya.
Ada segunung rasa sakit di dalam diri Yura yang masih merasa menyesal dengan perasaan merasa seperti menghianati Raymen. Kini Yura sudah mampu membuka lembaran barunya bersama Julian meski sering kali dia melihat sosok Raymen berada dalam diri Julian. Hingga membuat Yura harus menahan ucapannya karena takut salah memanggil agar tidak melukai hati Julian.
Yura mengusap dadanya yang berdetak cukup cepat merasakan bagaimana jantug Raymen berdetak di dadanya dan menemani kehidupan Yura meski raganya yang utuh sudah tidak ada.
Sudah tidak ada kesedihan lagi di dalam diri Yura ketika dia mengalami luka berat di pantai karena Nately. Zuko telah menolong dirinya.
Dan entah ke mana Nately sekarang, simpang siur Yura mendengar kabar Nately meninggal dalam kecelakaan.
Yura merasakan sedikit kebebasan dan kesenangan bagaimana dia menikmati hidupnya meski belum sepuhnya mencintai Julian. Namun saat bersama Julian, Yura merasa menjadi lebih hidup karena sifat Julian yang warna warna mempermainkan semua emosi yang ada di dalam dirinya.
Melihat keterdiaman Yura yang terlihat melamun, Julian ikut memikirkan sesuatu yang sempat dia rencanakan. “Aku belum menanyakan sesuatu kepadamu” ucapnya membuat Yura kembali mendapatkan kesadarannya. “Apa yang ingin kau lakukan di masa depan?.”
Yura terdiam sejenak, “Aku ingin membangun panti anak.” Jawabnya dengan tidak tertuga.
***
Julian Pov
“Aku ingin membangun panti anak.”
Jawaban tidak terduga itu terdengar jelas di telingaku, namun aku tidak paham apa tujuannya. Yu sangat tidak terduga, dia terlalu sederhana dalam dunia yang besar ini. Namun hal-hal kecil dan sederhana itu lebih besar terlewatkann oleh banyak orang.
Andaikan dia meminta pekerjaan, aku bisa memberikan salah satu perusahaan cabang di Neydish untuk dia pimpin dengan jabatannya sebagai CEO. Dia akan sangat menakjubkan menjadi seorang boss kecil yang jahat dan memiliki pendirian yang kuat dan ambisi yang besar.
Namun aku salah menilai, karena Yu bukanlah wanita yang seperti itu, dia menyukai hal-hal yang dia dapatkan dengan tangannya sendiri. tapi, panti anak?
Aku paham jika masa kecilnya di penuhi dengan kekacauan, namun apakah motivasi itu cukup untuk membuat dia memikirkan langkahnya kedepan?.
Haruskah aku menanyakan tujuannya?. Tapi aku berhak tahu karena sekarang aku suaminya.
Dia juga asetku, hartaku.
Aku harus menjaganya dan mengetahui apapun perkembangan yang ada pada dirinya.
“Kenapa kau ingin membangun panti anak?.” Tanyaku pada akhirnya.
Dia menatapku dengan aneh?. Tangannya menjangkau piring di depanku dan memotongkan daging itu dengan baik lalu memberikannya lagi padaku.
Pandangan kami bertemu, aku merasa sangat gugup hingga bisa mendengarkan detak jantungku karena tatapannya, bibirku sedikit terbuka melihat bibirnya yang akan mengatakan sesuatu.
“Makanlah”
Apa?. Apa aku salah dengar?. Bisakah aku merekam ucapannya?.
Jantungku berdegup semakin cepat, seumur hidupku, tidak ada yang pernah memotongkan daging untukku dan memberikan perhatian seperti itu.
Kenapa dia melakukannya?. Apa dia sudah sepenuhnya jatuh cinta padaku?.
Lihat itu!
Dia memotongkan Tenderloin untukku dengan bentuk yang sangat artistic, bukankah itu sangat menakjubkan?. Bukankah itu bentuk perhatiannya padaku?.
Mimpi apa aku semalam hingga aku mendapatkan hadiah yang menakjubkan seperti ini.
Apa yang harus aku lakukan sekarang?. Aku menjadi tidak tega untuk memakannya, mungkin aku bisa memesan daging setiap kali kita makan bersama agar Yu memotongkan dagingnya lagi untukku.
Mungkin aku harus menandai tanggal di kalender jika hari ini Yu memberikan perhatian yang membuatku sangat bahagia.
Tenangkan dirimu Juls.. jangan berbuat konyol agar tetap terlihat keren!.
Sial, mataku memanas.
Aku mengambil garpu dengan sedikit gugup dan menusuk daging itu untuk di makan, makanan yang aku kunyah di dalam mulutku terasa berbeda karena suasana hatiku yang senang.
Apa aku terlihat konyol?. Aku harus tetap terlihat keren dan menyembunyikan gemuruh di hatiku.
Sebelum menemukan Yu dan menyadari jika aku mencintainya. Aku adalah pria kaya, namun hatiku kesepian. Orang bilang aku kaya, mereka mengagumi kekayaan dan keberhasilanku dalam karir. Namun mereka juga menertawakan kesepianku.
Mereka menertawakan kesepianku yang sering kali membayar beberapa orang untuk menjadi teman bayaran, karena itu aku memandang rendah mereka yang miskin moral.
Saat ibuku meninggal, aku tumbuh sendirian dan harus merasakan bagaimana keras dan menyedihkannya menjadi seorang penerus juga anak dari tua bangka itu. Tua bangka itu menyiksa mental dan kejiwaanku hingga membuatku gila seperti sekarang.
Setelah aku selesai wajib militer di usia delapan belas tahun. Aku langsung kabur ke Amerika sendirian dan mengembara dalam kesepian dan tidak kenal rasa takut lagi. Di sanalah aku mendapatkan ilham untuk menjadi orang yang sukses dari generasi Giedon manapun.
Betapa lamanya aku merasakan kesepian itu hingga akhirnya aku menemukan Yu di usia tiga puluh tahun. Begitu lamanya aku menunggu kebahagiaan itu hingga perlahan hatiku yang dingin kembali menghangat karena ada dia di sisiku.
“Aku ingin membangun panti anak di perbatasan dengan orang-orang professional” Yu mulai bercerita, aku mendengarkannya dengan baik dan memperhatikan ke seriusannya. “Mereka memiliki banyak kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di masa depan, mereka harus tumbuh dengan tenang dan bahagia tanpa memikirkan beban apapun.”
Aku mengunyah dengan pelan dan berpikir keras memikirkan beberapa hal yang ada di masa lalu yang sering kali menggangguku. Halusinasiku masih sering datang, namun aku tidak membutuhkan obat penenang lagi.
Kembali pada ucapan Yu . . .
Aku akan mendukung apapun yang dia inginkan, dia pantas terbang dengan tinggi dan menunjukan semua yang ada pada dirinya.
Makanan di piring sudah hampir habis, aku sedikit panik dan melihat ke belakang. Aku harus memesan Tenderloin lagi agar Yu mau memotongkan daging lagi untukku dengan tangan cantiknya.
Aku mengambil gagang telepon dan di sisi kursi dan mengubungi bagian dapur. “Aku ingin Tenderloin lagi. Cepat.” Perintahku ketika seseorang mengangkatnya.
Apa yang sebenarnya aku lakukan, kenapa aku melakukan ini?. Apa aku sehaus ini akan perhatian Yu dan ingin mendapatkan cintanya seutuhnya?.
Aku tidak tahu jika memiliki seseorang yang aku cintai bisa sebahagia ini. Andaikan aku menemukannya lebih awal, mungkin aku bisa sembuh.
“Aku sudah selesai, aku ingin istirahat.” Ucapannya menyentak lamunan indahku. Yu beranjak dan pergi ke kamar.
Tunggu, kenapa dia pergi?. Aku baru memesan Tenderloin dan siapa yang akan memotongkan daging untukku?.
***
Lantai marmer mengkilap menciptakan bayangan kaki Yura yang melangkah menuju kamar mandi, terbang berada dalam pesawat dari Italia ke Thaiand tidak dia rasakan sama sekali. Yura merasa berada di rumah karena kehebatan pesawat yang memiliki kamar dan kamar mandi yang luar biasa.
Namun rasa lelah terasa cukup menguras tenaganya, apalagi makanan di dalam pesawat membuat indra perasa Yura menjadi tidak peka pada rasa manis dan asin. Kaki Yura terasa sedikit lunglai, dia ingin segera tidur dan beristirahat.
Hari ini cukup melelahkan untuk Yura, dia membutuhkan istirahat karena perjalanan mereka masih panjang dan Yura belum terbiasa dengan semuanya. Yura membuka pintu kamar mandi dan mendekati cermin memandangi perubahan pada dirinya dengan cepat.
Yura tersenyum mengusap wajahnya, tidak ada lagi beban di matanya yang harus memikul banyak masalah dengan bahunya sendiri. Dalam diamnya dia memandangi cermin hingga sebuah ucapan keluar dari mulutnya. “Aku bahagia, meski ada miliaran manusia di dunia ini, namun hanya ada satu orang yang mencintaiku. Aku bahagia hanya dengan itu. Aku sudah kehilangan Raymen dengan luka pada hatinya. Jangan ambil Julian dariku, sekarang dia kekuatanku. Aku ingin membalas cintanya seperti dia mencintaiku.” Ucapnya seperti merapalkan do’a.
Yura tertunduk memandangi telapak tangannya, lalu dia kembali melihat cermin. “Aku ingin terus seperti ini.”
Tubuh Yura kembali pulih dengan cepat, wajahnya terawat dengan baik, rambutnya yang seputih mutiara itu sedikit memanjang. Yura meraih kancing di depannya dan melepaskannya, Yura menanggalkannya hingga menyisakan dalaman.
Kaki telanjangnya sedikit mundur dan melepaskan semua pakaiannya sebelum masuk ke dalam shower dan mandi.
Air turun perlahan membasahi tubuh Yura, dia berdiri dan membilas tubunya perlahan. Rupanya sangat melelahkan hidup bersama Julian, entah ke mana nantinya Yura akan memutuskan untuk pulang.
Yura ingin menetap setelah berbulan madu. Dia lelah berpindah-pindah.
Yura sedang belajar menerima Julian dalam kehidupannya, Yura tidak akan membahas kesempurnaan Julian dalam wajah yang tampan, tubuh yang indah, wibawa yang tinggi, keluarga yang terpandang, kesuksesan dia yang tidak perlu di bicarakan lagi. Namun dari setumpuk kesempurnaan itu, Julian memiliki kelainan sifat yang benar-benar berbeda dari yang lainnya.
Yura perlahan sudah bisa menerimanya, semua ucapan mes*m prontalnya, kesombongan dan sifat pecicilan seperti anak-anak. Yura sudah bisa menerima semuanya.
“Astaga!” Yura terpekik kaget karena pintu di buka oleh Julian dan pria itu berdiri di ambang pintu membawa sepiring Tenderloin dengan ekspresi suram di wajahnya.
“Apa yang kau lakukan Julian!” Teriak Yura memeluk tubuh telanjangnya dengan malu karena tatapan mes*m Julian yang memperhatikan tubuhnya dari atas hingga bawah.
“Potongkan daging untukku” ucapnya dengan tatapan polos tanpa dosa sambil memberikan sepiring tenderloin yang masih mengepul hangat. “Cepatlah, aku lapar.”
Yura hanya melongo tidak percaya, pria itu datang mengganggu acara mandinya dengan membuka pintu seenaknya hanya untuk meminta di potongkan daging olehnya.
“Julian, berhenti bersikap aneh” geram Yura hendak menutup pintu namun Julian menahannya dengan lebih kuat.
“Setelah aku pikir-pikir, daging yang kau potongkan tadi mengandung sihir yang membuatku lebih kuat lagi, jadi potongkan lagi agar aku lebih kuat lagi. aku masih lapar” katanya dengan serius. “Ayo..” desaknya menyodorkan piring di tangannya pada Yura.
“Biarkan aku menyelesaikan mandiku dulu Julian.”
“Baiklah.”
“Awas Julian” Yura hendak menutup pintu, namun kaki Julian menahannya di ambang pintu.
“Tidak perlu, ayo mandi saja” jawabnya dengan santai dan senyuman senanganya memperhatikan ketelanjangan Yura. “Aku bisa menunggu sambil menonton. Siapa tahu kau m********i saat mandi.”
Sekali lagi Yura melongo kaget dengan apa yang Julian ucapkan. “Julian, kapan kau akan berhenti mes*m?” geramnya dengan kesal.
Julian mengusap tengkuknya yang tidak gatal. “Mungkin saat gunung Everest meleleh, kutub utara menjadi kota.” Jawabnya dengan cengiran.
Tanpa terduga Yura mengambil air di telapak tangannya dan menampungnya, dia melemparkannya kepada Julian. “Keluar!” teriaknya.
“Oh astaga, kau sangat jahat. Wajah tampanku jadi basah” gerutu Julian pada akhirnya menurun kakinya dan sedikit mundur membiarkan Yura menutup pintu. Pria itu berdiri di depan pintu dan sesekali melirik Tenderloin di tangannya.
Dengan tidak sabaran Julian mengetuk pintu di depannya, “Kau sudah mandinya?. Aku sangat lapar.”
“Kau bisa memotongnya sendiri Julian” teriak Yura membuat Julian cemberut tidak setuju.
Dengan tidak sabaran, sekali lagi Julian menarik pintu dan membukanya. “Kau tidak mau memotongkan daging untukku lagi?. Lihatlah tanganku yang lemah ini, bahkan untuk memegang pisaupun aku takut terluka. Kau tega membiarkan pria lemah sepertiku melakukan ini sendirian?” tanya Julian dengan kebingungan.
Yura membuang napasnya dengan perlahan mencoba untuk tetap tenang dan sabar, dengan sedikit kesal dia mendekat dan memotongkan kembali Tenderloin dengan tubuh yang masih telanjang, mengabaikan tatapan aneh Julian yang tersenyum lebar penuh kebanggaan.
“Puas?” tanya Yura dengan sedikit pelototan kesalnya.
Julian mengedikan bahunya dan menusuk daging, memakannya dengan kepala mengangguk puas. “Lanjutkan saja mandimu, sepertinya sambil menontonmu mandi menjadi lebih lezat.”
Dalam satu gerakan Yura menarik pintu dan menutupnya lagi mengacuhkan Julian yang masih berdiri di depan pintu memakan Tenderloin dengan senyuman senangnya. “Kenapa kau malu-malu?. Kau tahu, malu-malu adalah topeng dari keagresifan.”
***
Gelombang awan terlihat pekat di balik jendela, Yura duduk di atas ranjang mengarsir gambar di buku terlihat menikmati waktunya untuk menggambar.
Pandangan matanya yang tajam itu bergerak mengikuti ke mana tangannya bergerak mengendalikan hitamnya pensil membentuk patung dewa Poseidon beberapa jam yang lalu dia lihat di Trevi Fountain. Yura memiliki kemampuan eidetic (mengingat visual) dengan sangat baik.
Karena itu Yura bisa menggambarkan apa yang telah di lihatnya dengan sangat detail.
Tangan Yura sedikit gemetar merasakan getaran di tangannya, pikirannya berkelana teringat bayangan Raymen yang entah kenapa menyakiti hatinya.
Semenjak menikah dengan Julian, sering kali Yura merasakannya seakan mendapatkan penolakan Raymen mengenai pernikahannya dengan Julian. Yura sering kali merasa sakit di jantungnya setiap kali teringat Raymen, terkadang pula dia melihat bayangan sedih Raymen di wajah Julian.
Yura menutup buku gambarnya dan membuang napasnya dengan berat, “Aku bahagia Ray, tidakkah kau merasakan hatiku. Mencintainya bukan berarti melupakanmu Ray.” Bisik Yura memandangi jendela dan menatap keberadaan Negara Italia yang sudah tidak berada dalam pandangannya.
“Kau sedang apa?.”
Yura kembali membuka buku gambarnya dan melanjutkan menggambarnya ketika melihat Julian yang kini mendekat dan berdiri di sisi ranjang. “Aku hanya menggambar” jawab Yura tanpa membalas tatapan Julian.
Perlahan Julian naik ke ranjang dan merangkak mendekati Yura untuk melihat apa yang di gambarnya, kening Julian mengerut tidak setuju sekaligus kagum dengan daya ingat Yura yang sangat kuat dengan apa yang di lihatnya hingga bisa menuangkan apa yang telah di lihatnya dengan detail.
“Tubuhku lebih indah dari dewa, kenapa kau tidak melukisku saja?” protes Julian seketika.
“Mereka artistic dan berseni Julian.”
Bibir Julian sedikit mengerucut menggerutu karena tersinggung, dia mundur sedikit dan melepaskan satu persatu kancing kemejanya, melemparkannya ke lantai. “Aku bisa melakukan beberapa pose yang artistic, kau bisa menggambarku dalam semua gaya. Kau tidak lihat aku juga seperti pahatan patung.”
Celotehan Julian memaksa Yura untuk melihatnya, mata Yura memicing menahan senyuman gelinya karena kini Julian terbaring miring menumpukan kepalanya pada tangan dan mencari pose terbaik miliknya.
“Ayo gambar aku.” desaknya dengan tangan kaki yang sudah berpose membuat otot di perutnya terlihat lebih jelas, rambut Julian di buat sedikit acak-acakan, tatapan di mata hijaunya berubah intens layaknya model majalah playboy.
Bibir Yura berkedut kecil menahan senyuman geli sekaligus kekaguman menyadari jika Julian memiliki aura yang sangat kuat dan terlihat tampan dalam sisi manapun.
“Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Julian dengan seringai sombongnya. “Aku tahu aku tampan, kau tidak perlu menatapku seperti itu. Aku milikmu, kemarilah, kau bisa melakukan apapun padaku. kemarilah ayo” Julian menepuk-nepuk kasur di depannya.
Seketika Yura tertawa, Julian hanya tersenyum kecil merasa senang melihat Yura yang sering tersenyum hingga tertawa di depannya. “Kau sangat narsis Julian.”
Julian kembali bangkit dan duduk, pria itu terlihat berpikir keras untuk melakukan sesuatu. “Aku ingin melukismu.” Ucapnya tidak terduga. Julian merangkak menjangkau Yura yang berada di depannya.
Pensil di tangan Yura terjatuh ke permukaan ranjang ketika Julian merebut buku gambar di tangannya.
“Julian..”
“Berbaringlah dengan cantik” selanya tidak memberikan Yura waktu untuk berbicara. Julian mengambil pensil yang tergeletak dan memperhatikan Yura yang tidak melakukan apapun. Julian mendorong bahu Yura untuk terjatuh dan terbaring di depannya.
Yura tertawa geli dengan sikap Julian yang selalu terlihat serius dalam keadaan apapun, bahkan ketika dia berbicara ngaco dan bertingkah konyol. Yura tergelitik untuk mengetahui apakah pria itu benar-benar bisa melakukannya mengingat bagaimana pria itu selalu tidak terduga.
Tanpa protes Yura langsung terbaring terlentang, satu kakinya di tekuk membuat ujung gaun roknya terangkat hingga pahanya, kedua tangan Yura terlentang, dia tidak merapikan rambutnya yang sedikit berantakan dan menyapu wajahnya. Yura memejamkan matanya dan hendak tertidur.
Julian menelan salivanya dan bergeser sedikit, pegangannya pada pensil sedikit mengerat. Pria itu tidak menduga hanya dengan terbaring seperti itu, Yura bisa menggodanya dengan sangat kuat hingga membuat Julian sedikit kehilangan akal hanya dengan terbaring tanpa melakukan apapun.
Mata Yura perlahan terbuka sedikit dan memperhatikan Julian yang terlihat serius menggores sesuatu di buku. Yura kembali menutup matanya, namun tidak berapa lama dia terusik dengan pergerakan Julian yang kini berada di atas perutnya.
Julian melemparkan buku gambarnya ke sisi dan membungkukan tubuhnya semakin rendah mengungkung Yura. Pria itu kehilangan banyak fokus dan tujuannya yang sudah di depan mata hanya dengan melihat Yura yang semakin hari semakin menyita semua pikiran Julian.
Kedua mata Yura terbuka seketika dan mandapati Julian yang menatapnya dengan intens. Mata hijaunya yang indah itu terlihat menggelap melukiskan percikan gair*h yang tidak dapat di tolak, napas Julian berubah sedikit lebih cepat mengusap wajah Yura dalam renungan.
“Aku pikir lebih menyenangkan jika aku menyentuh tubuhmu untuk merasakannya lebih nyata agar menghasilkan lekukan arsiran yang bagus.” Bisik Julian mengusap paha Atas Yura dan mengaitkan jarinya pada tali celana dalam yang di kenakannya.
Wajah Yura memerah, kini dia tidak memiliki alasan lagi untuk menolaknya karena Julian sudah sah menjadi suaminya. Yura tidak bisa mengatakan apa yang di lakukan Julian sekarang ini adalah pelecehan terhadapnya, terlebih sekarang mereka tengah menikmati masa bulan madu mereka.
Senyuman lebar menghiasi wajah tampan Julian, pria itu semakin banyak menebar senyuman dan terkadang menjadi lebih konyol dari biasanya.
Warna matanya yang hijau cerah itu selalu membuat Yura nyaman, hijau mata itu dan tatapannya membuat Yura selalu merasakan kehadiran Raymen yang selalu dia rindukan.
Tubuh Julian menegang seketika, tanpa dia duga Yura meraih wajahnya dan mengusapnya, meresapi setiap lekuk wajah Julian dalam ingatan. Detak jantung Julian memompa dengan cepat hingga darahnya yang mengalir terasa memanas karena tatapan lembut penuh cinta Yura yang tidak dapat di artikan.
Tatapan itu membuat Julian merasa berharga dan di inginkan keberadaannya, meskipun jika itu sebuah dusta. Julian akan tetap mempercayai jika itu nyata.
Tubuh Julian semakin membungkuk hingga ujung rambutnya menyapu kening Yura, dia menyingkirkan helaian rambut yang menghiasi wajah Yura dan berakhir dengan ciuman di bibirnya dengan lembut.
Kaki Yura melurus perlahan karena tubuh Julian semakin menindihknya, kepala Yura sedikit terangkat dalam tarikan Julian yang semakin memperdalam ciuman mereka, lidahnya menyapu lembut setiap sudut mulutnya Yura dan membuat wanita itu perlahan memeluk bahu Julian untuk berpegangan.
Julian mengusap sisi tubuh Yura dan menarik gaun tidurnya melewati bahu, sangat menyenangkan untuknya menerima kepasrahan Yura yang tidak berpengalaman membalas ciumannya menambah gair*h Julian untuk mengajarinya melakukan banyak hal dengannya secara intim.
Bibir Yura yang sudah membengkak kini setengah terbuka mengambil napas dalam-dalam bersama lenguhan kecilnya karena Julian pindah menciumi lehernya, menyapu lembut permukaan kulitnya sepanjang bahu dan menarik semakin turun pakaiannya bersamaan dengan branya.
Pinggang Yura melentik, napasnya tertahan merasakan basahnya ujung lidah Julian mencumbunya tanpa celah membuat Yura kehilangan banyak kesadaran pikiran. Julian terlalu mahir, pria itu berhasil mempermainkan hasrat Yura yang mulai terbakar hanya dengan mulutnya.
Julian memperhatikan pada setiap perubahan ekspresi Yura, menikmati pemandangan yang dapat dia lihat tanpa bosan.
“Jangan menahan suaramu” bisik Julian sebelum meniup lembut permukaan kulit Yura dan kembali mencumb*nya.
To Be Continue . . . .