MTPBB 9

1867 Kata
Cowok itu mencapit hidung gadis di hadapan nya. "Cie! Jadi, siapa yang gombal." "Kok gombal," "Tadi kamu gombalin aku 'kan?" "Bagi cowok ketika cewek ngucapin kata manis, pasti bilangnya sebagai bahan gombalan. Sedikit pun aku nggak ada kata untuk gombalin kamu sayang," ucap cewek itu dengan tertawa renyah. "Cie ngikutin." "Bukan nya kamu sama aku sehati." Cowok itu memeluk kekasihnya itu dengan erat dan cewek itu membalas memeluknya. "Gimana kalau aku ninggalin kamu ya. Mungkin akan sulit untuk aku lupain kamu, kamu yang berhasil ngebuat aku bener-bener jatuh dalam lautan hati dan cinta kamu." "Jangan sakali lagi kamu mengucapin kata yang membuat aku merasa takut. Rencana Tuhan kita nggak tau. Tapi aku yakin, Tuhan akan selalu menyatukan cinta kita." Lalu mereka melepaskan pelukan nya. Cowok yang memiliki iris mata yang indah, alis yang tebal. Menatap kekasihnya penuh dengan rasa sayang dan cinta. Lalu ia mengecup kening kekasihnya beberapa detik. "Apa kamu percaya dengan hati dan cinta yang aku punya itu cuman buat kamu." Gadis itu mengangguk sembari tersenyum manis pada kekasihnya. "Aku percaya, aku bisa liat dari mata kamu dan aku percaya. Kamu juga harus percaya, kalau aku pun punya rasa sayang dan cinta buat kamu, lebih." "Dylan kepunyaan nya Maudy." "Maudy kepunyaan nya Dylan." Flashback off. "Hei!" Juna sedari tadi mencoba menyadarkan Maudy dari lamunan nya. "Maudy, ada Shasa di bawah." Juna menpuk-nepuk bahu Maudy. Sampai Maudy pun tersadar dari lamunan nya. Tak sadar air mata yang keluar cukup deras. Bagaimana ia tak menangis. Bayangan dan memori akan tentang kekasih yang sangat ia cinta masih saja terbayang. "Lo inget dia lagi?" tanya Juna hati-hati. Sembari menatap wajah adiknya dengan rasa kasihan. Maudy menghabur ke dalam pelukan Juna. "Kenapa harus dia kak. Dia udah janji sama gue. Kalau dia nggak akan pernah ninggalin gue, tapi dia sendiri yang ngingkari janji nya sama gue," ucapnya disela-sela isak tangis Maudy. Juna membalas memeluk adik yang ia sayangi. "Karna rencana Tuhan kita enggak tau. Bahkan dia pun nggak tau kalau dia sendiri yang akan ninggalin lo. Jangan salahin siapapun, karna gue tau, sebenarnya dia nggak mau ninggalin lo untuk selamanya." "Kenapa gue harus kehilangan dia?" Juna melapaskan pelukan Maudy. "Dia udah bahagia dan takdir yang menentukan bukan kita yang menentukan hidup atau mati." Shasa sedari tadi sudah berdiri di depan pintu kamar Maudy. Ia merasa sedih pada sahabatnya, tak hanya merasa sedih. Tetapi ia pun menangis melihtnya. Ia secepatnya menghapus air mata nya dengan kasar. "Maudy." panggil Shasa. Maudy dan Juna menoleh. "Sebaiknya lo berangkat sekolah, nanti kalian telat." kata Juna sembari menghapus air mata Maudy. Maudy mengangguk. "Jangan nangis terus. Karna gue takut kalau air mata lo kering," gurau Juna sembari terkekeh. Maudy tersenyum kecil pada Juna. "Cantik banget," ucap Juna. Maudy memukul pundak Juna. "Ayo gue gendong lo sampe bawah," ucap Juna. Maudy pun mengangguk. Sedangkan Shasa membawa kursi roda Maudy. Sesampainya di bawah. Juna mendudukan Maudy di depan kursi samping pengemudi. Shasa duduk di belakang. Kali ini Juna mengantarkan mereka kesekolah. butuh waktu lama untuk Juna sampai di sekolah SMA Pelita. Juna membantu Maudy keluar dari dalam mobil. "Kalian sekolah yang rajin ya," ucap Juna. Sesekali Juna mencuri pandang pada Shasa. Membuat Shasa mendundukan kepalanya karena malu. "Iya," sahut Maudy. "Udah sanah masuk gih," titah Juna. Shasa pun mendorong kursi roda Maudy. Sebelumnya ia pamit pada Juna. Ketika Shasa mendorong kursi roda Maudy. Namun seseorang menahan nya. Shasa menengok ke sebelah kanan. "Ezra," ucap Shasa. Ezra hanya tersenyum kecil. "Biar gue aja ya," Shasa mengangguk. Sebelum mendorong, Ezra berdiri di hadapan Maudy. "Sahabat gue kenapa jadi pindiem gini?" "Ezra! Gue.." Ezra menggeleng. Ia menangkup kedua tangan Maudy. "Maafin gue ya, karna gue udah buat lo jadi kayak gini. Dan karna gue juga lo harus kehilangan dia." "Enggak! Ini udah takdir," ucap Maudy. Maudy tak menyalahkan Ezra atas apa yang terjadi padanya. Karena Maudy tahu, jika semua ini sudah rencana Tuhan. Ezra memeluk Maudy dengan erat. Jika saja waktu itu ia tak berkata bohong pada Maudy. Mungkin Maudy akan bahagia dengan Dylan. Ezra benar-benar merasa bersalah dan sangat terpukul. Ezra pun melepaskan pelukan nya. "Gue anter lo ke kelas ya," Maudy mengangguk. Shasa hanya mengikuti langkah Ezra dari samping. Di tempat lain. Mahesa tengah sarapan pagi bersama keluarganya. "Pah, mah. Melvan boleh ya pindah ke sekolah SMA Pelita." "Jangan!" timpal Mahesa dengan tegas. Melvan mendang kaki Mahesa. "Kenapa kamu pengen pindah ke sekolahnya tempat Mahesa?" tanya Bella. "Biar aku bisa awasin Mahesa, mah. Biar dia nggak terus manjat pagar kalau terlambat." kata Melvan. Mahesa tak begitu perduli. Ia masih menikmati makanan nya. "Ada bener nya juga sih! Tapi nggak sekarang ya, papah masih sibuk sama pekerjaan papau di kantor, kalau udah selesai papah urus perpindahan kamu ke tempat sekolah Mahesa ya," kata Vino. "Makasih ya pah." Vino mengangguk. "Ngapain sih lo ngikutin gue mulu." ujae Mahesa pada Melvan. "Gue pengen ketemu seseorang," bisik Melvan. "Lo punya pacar di sekolah gue?" tanya Mahesa. Melvan menggeleng. "Terus apa?" "Apa aja bolenong," tawa Melvan. Mahesa mendelik melihatnya. Lalu ia beranjak. "Aku berangkat pah, mah." "Hati-hati ya." kata Bella. Mahesa mengangguk. Lalu nyelonong keluar dari rumah. Seperti biasanya Mahesa mengendarai motor kesayangan nya. 7 menit sudah sampai di sekolah. Lagi-lagi Mahesa kembali mesti memajat pagar belakang sekolah. "Telat deui! Padahal gue udah bangun pagi, tapi masih aja telat." keluhnya. Sebelumnya Mahesa mesti menitipkan motor miliknya di warung ceu Imas. Sekarang Mahesa berada di depan pagar. "Kenapa ya, kerjaan gue tiap hari tuh kalau masuk area sekolah pasti mesti panjat pagar dulu. Bikin ribet gue aja," ucapnya pandangan matanya mencari cela agar bisa memanjat. "Tapi anehnya yang lain kok bisa masuk area sekolah dengan santai. Sedangkan gue mesti manjat dulu." Mahesa mengambil ancang-ancang agar dapat memanjat pagar. Sebelum memanjat, ia melihat situasi di dalam. "Aman kayaknya." Ia pun kembali mengambil ancang-ancang. "Jago juga gue, kalau soal panjat." tawanya. Ia mulai melangkah dari gigi ke gigi pagar lainnya. Dalam satu loncantan Mahesa sudah berada di area sekolah. "Berhasil-berhasil hore!" serunya. Lalu ia melangkahkan kakinya dengan santai. Di jam pelajaran Maudy meminta ijin untuk pergi ke toilet. Dan Shasa mengantar Maudy ke toilet. Mereka pun di ijinkan. "Sha," ucap Maudy. "Kenapa?" "Sebenernya gue nggak mau ke toilet." "Gue tau, Dy. Pasti lo lagi nggak fokus belajar 'kan?" Maudy mengangguk kecil. Sesekali Maudy memberikan balasan senyum ramahnya pada siswi yang menyapa dirinya. Meski pun bel sudah bunyi 30 menit yang lalu. Tetapi masih ada juga siswa siswi yang berada di luar, di karenakan mereka ada pelajaran olahraga. "Bentar deh," ucap Shasa. "Kenapa Sha?" tanya Maudy. Shasa mendorong kursi roda Maudy mendekat ke arah belakang pintu sekolah. Shasa pun berhenti tak jauh dari sana. "Dia lagi," batin Maudy. Setelah ia melihat cowok yang ia kenal. "Ya ampun Mahesa lo telat lagi," ucap Shasa. Mahesa berbalik badan mengarahkan pandangan nya pada Maudy dan Shasa yang tengah melipat kedua tangan di depan d**a. "Lagi dan lagi gue tercyduk oleh bidadari cantik." sahutnya sembari melirik ke arah Maudy. "Malah bercanda sih lo, Mahesa," kata Shasa. Mahesa nyengir. "Abisnya gue tuh langsung terpana oleh keimutan muka Maudy," "Lebay banget lo ah." Maudy menggeleng kecil. "Gue ikhlas kalau di laporin ke guru. Karna gue telat, lagian telat nya gue tuh semalem mimpiin dia sampe nggak mau bangun," ucap Mahesa dengan tertawa terkekeh. "Gimana Maudy suka sama lo Mahesa. Kalau lo nya lebay kebangetan kayak gitu," kata Shasa. "Shasa," ucap Maudy. "Jadi maksudnya kalau gue nggak lebay. Maudy bakalan langsung suka sama gue gitu ya?" "Serah lo aja Mahesa," keluh Shasa. "Mending kita pergi aja." Shasa mendorong kursi roda Maudy. "Gue aja ya." Mahesa mencoba mendorong kursi Maudy. "Nggak mau," tolak Maudy. "Lo tenang aja. Gue mah orangnya baik kok, muka gue emang sangar. Tapi kalau hati gue karna lo paling lemah," Shasa mencubit lengan Mahesa. "Nggak bosen apa mulut lo selalu ngegombal," "Nggak lah. Apalagi kalau urusan ngegombal Maudy, lahir batin gue mah gombalnya ikhlas." Mahesa menepuk pucuk kepala Maudy. Maudy menepisnya secara halus. "Sha kita ke kelas lagi aja yuk," ajak Maudy. Shasa menganggak. "Ayok," "Yaudah lo masuk kelas aja ya. Karna maaf gue nggak bisa masuk kelas. Karna gue tau, pasti guru di kelas ngehukum gue," "Iya lah. Lo kan telat dodol," ketus Shasa. Mahesa terkekeh. Sampai akhirnya Maudy dan Shasa kembali ke kelas. Mahesa terus melihat kepergian Maudy. Ia memberikan seulas senyuman. Meskipun Maudy tak melihatnya. Mahesa pun kembali melangkahkan kakinya, bukan menuju kelasnya tetapi dia pergi menuju rooftop. Dia menyalakan satu batang benda beracun itu, lalu menghisapnya. "Gara-gara tuh cewek jantung gue kaya lagi dangdutan." gumamnya. Sekarang sudah jam nya istirahat. Maudy dan Shasa sudah berada di kantin. "Lo mau pesen apa?" tanya Shasa. "Apa aja Sha," Shasa mengangguk. Ia pun pergi untuk memesan makanan. "Hai cantik nya aku," sapa Mahesa tepat di hadapan Maudy. Maudy sempat terkejut. Tapi ia menetralkan rasa terkejutnya. "Udah pesen makanan nya belumu?" tanya Mahesa. "Udah," "Pesen makanan nya jangan yang pedes ya, gue nggak mau lo sakit perut," Maudy tersenyum tipis pada Mahesa. Tak lama Shasa kembali menghampiri Maudy. Ia membawa dua piring nasi goreng. Shasa memberikan satu piring pada Maudy. "Makasih ya Sha," "Iya," "Tunggu!" Mahesa mencicipu nasi goreng milik Maudy. "Ya ampun ini pedes, Shasa. Lo kenapa pesenin makanan buat dia pedes," omelnya. "Dia emang biasanya pesen kayak gitu," sahut Shasa. "Iya harus nya nggak boleh. Ntar cantiknya gue sakit perut gimana," ucap Mahesa sembari menatap pada Maudy. "Mahesa kenapa lo ganggu gue terus," kata Maudy. "Gue mah ngikutin kemana kaki gue aja melangkah cantik," balas Mahesa. Gilang dan yang lain nya baru saja datang. Dan mereka bergabung juga bersama mereka. Gilang menoyor Mahesa. "Kenapa sih lo, doyan banget ganguin sahabat gue," "Yang ganguin 'kan gue. Lagian dia lucu banget sih!" "Lebay lo ah. Pengen banget ya gue ceburim lo ke got depan sekolah kita," kata Rey. "Lo aja," timpal Mahesa. Mereka tertawa meski tak begitu lucu. "Maudy," panggil Ezra. Mereka saling memandang Ezra. "Ezra," Ezra menghampiri Maudy. "Lo udah makan?" Maudy menggeleng. "Kenapa belum. Gue pesenin ya," Mereka hanya diam memperhatikan Ezra dan Maudy. Berbeda dengan Mahesa yang tak suka melihat Maudy bersama cowok yang tak ia kenali. "Dia siapa nya lo?" tanya Mahesa pada Ezra. "Sahabat," balas Maudy. "Sahabat yakin nih. Kok cowok nya kayak punya perasaan lebih gitu ya sama lo," selidik Mahesa. "Zra, kita duduk di sana yuk," ajak Maudy. Ezra mengangguk. Ia mendorong kursi roda Maudy ke tempat duduk yang lain. Mahesa terus memperhatikan mereka. Azka menepuk bahu Mahesa. "Udah nggak usah cemburu gitu," "Siapa yang cemburu," "Masih aja ngelak lo," sindir Lano. "Diam lo ah! Gue mau lanjutin makan." Mahesa melanjutkan makanan milik Maudy. Mereka pun menikmati makanan yang sudah mereka pesan. Mahesa diam-diam memperhatikan Maudy terus menerus. Ia melihat Maudy yenga tersenyum pada Ezra. "Aneh banget, sama gue nggak mau senyum. Pas lagi sama cowok lain, dia senyum." batin Mahesa jengkel. Waktu istirahat. Lano memberikan usjlan pada mereka, ketika pulang sekolah pergi untuk menonton film dan mereka setuju. Mahesa mengajak Maudy untuk menonton film di bioskop. Mestipun beberapa kali Maudy menolak. "Yayang, lo sama gue ya." Mahesa berdiri tepat di hadapan meja bangku Maudy. Maudy masih memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. "Gue nggak mau." ujar Maudy. "Harus mau. Karna ada gue yang akan selalu jagain lo." "Gue kagak nyangka ternyata lo punya tingkat pedenya lebih tinggi." cibir Rey. "Cembukur ya boskuh." ejek Mahesa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN