MTPBB 1

1347 Kata
Mahesa baru saja sampai di sekolah. Dengan pandangan biasa ketika melihat guru yang beralulalang yang akan mengajar di kelas masing-masing, sembari menatap ke arahnya dengan menggelengkan kepala. "Kenapa ya? Guru-guru di sekolah ini kalau liat gue suka banget geleng kepala. Aneh bener," ucapnya dengan bingung. Sudah akan mendekat dengan kelasnya. Tiba-tiba Mahesa mendengar suara teriakan yang sudah menjadi cemilan sehari-hari. "MAHESA PRADIPTA NUGRAHA." Mahesa pun memberi hormat pada guru yang berada di hadapan nya. Guru itu menatap tajam pada Mahesa. "Siap bu bos!" katanya sembari tangan menghormat sekilas. "Ada apa nih? manggil-manggil cowok ganteng, mau ngasih uang jajan ya? Duh Ibu baik banget deh, kebetulan bu saya lagi boke, alias nggak punya duit. Nih coba Ibu liat." Mahesa merogoh dompet dalam saku seragam sekolah, lalu membuka dan memperlihatkan isi dompet itu pada guru yang bernama Hana. "Sedih banget ‘kan Bu, saya cuman punya uang lima ratu perak. Mana cukup buat ngajakin cewek makan, duh sedih banget hidup gue," keluhnya. "Masa kamu nggak punya uang?" Mahesa kembali memasukan dompet ke dalam saku celana seragamnya. "Maklum Bu, saya kan masih abegeh, belum kerja. Punya uang dari mana coba." Tuti meneliti penampilan Mahesa dari atas sampai bawah. "Udah, kamu jangan bahas uang, lagian saya juga nggak akan ngasih kamu uang. Dan kamu mau sekolah atau mau maen?" tanyanya ketus. Mahesa berdecak. "Nah ini, pertanyaan ini yang salah Bu. Saya sekarang lagi di mana?" "Di sekolah, lalu?" "Nah berarti saya sekolah dong Bu. Duh Ibu gemes banget deh, lucu tapi lebih lucu barbie imut." Mahesa memasang wajah puppy eyes "Selalu sabar ngadepin kamu." "Ciee, tandanya Ibu baperan." Mahesa dengan cengiran. "Oh ya Bu, saya mau cerita nih. Ibu tau nggak? Mang Mamat penjaga gerbang sekolah kita yang ada di depan?" "Kamu tanya sama saya, jelas saya tau Mahesa. Udah deh kamu sekarang kelapangan." titahnya. "Dengerin saya dulu dong Bu. Mang Mamat ‘kan lagi patah hati tuh. Gara-gara di putusin sama ceweknya. Nah karna Ibu dan Mang Mamat sama-sama patah hati, gimana saya batuin kalian deket, gimana Bu." Mahesa menaik turunkam kedua alisnya. Menunggu reaksi dari Bu Hana. "Kalau Ibu setuju dengan usul saya, sekarang juga saya kasih deh nomer Mang Mamat biar Ibu bisa calling-calling." Bu Tuti sudah menahan amarah yang siap akan meluapkan nya pada Mahesa. "MAHESA PRADIPTA NUGRAHA!!" Dengan cepat, Mahesa berlari menuju kelasnya. Sampai di kelas, ia sudah melihat teman-teman kelas nya tengah belajar. Dan juga sudah ada guru di kelasnya. Mahesa berdehem sembari merapihkan rambutnya. "Assalamualaikum ya akhi ya ukhti. Salam-salam hai saudaraku, semoga Allah merahmatimu. Salam-salam wahai semua, semoga hidup jadi bahagia." Mahesa menyapa dengan menyanyikan lirik lagu. Ia masih mematung menyenderkan di pintu sembari melipat ke dua tangan. Seisi kelas langsung mempertawa tingkah konyol Mahesa. "Malah pada ketawan, jawab salam gue woi, wah k*****t semua." ujarnya. "Waalaikumsalamwarohmatullahiwabarokatuh." sahut mereka serempak. Mahesa masuk ke dalam kelas. "Pagi bu, tumben Ibu ikut ketawa?" tanyanya. Mahesa lalu duduk di bangku depan paling pojok. "Sudah jangan bahas. Sebaiknya kamu buka buku paket, halaman 58." perintahnya. "Halaman itu di depan bu, bukan di dalam kelas," ucap Mahesa. "Sudah Mahesa kamu jangan banyak tanya." ketusnya. "Iya, Ibu iya." Mahesa melihat buku paket dari teman sebangkunya. "Coba aja Ibu masih muda pasti saya pacarin, Bu." gumamnya. "Kamu bicara apa Mahesa?" "Ini bu, si gendut masa bilang kalau ibu mirip kayak tirex." Mahesa menunjuk sahabat sebangkunya. "Lo jangan fitnah, jangan dengerin Bu. Ibu tau sendiri ‘kan kalau dia emang gila akut." bela Arthur. Sebenarnya Arthur tak gendut malah ia terbilang cowok manis, juga tampan. Mahesa memang seperti itu pada sahabatnya sendiri. Namun Arthur tak memasukinya dalam hati atas candaan Mahesa. "Kalian berdua nggak ada bedanya." ucap gurunya. Mahesa dan Arthur hanya terkekeh mendengarnya. Setelah bel istirahat. Mahesa tengah menyusuri koridor untuk menuju kantin. Pasalnya perut Mahesa sudah keroncongan karena cacing di perutnya sudah meminta makanan. "Mahesa, noh pacar lo yang ke 1000 nyariin lo!" teriak Arthur. "Teriak mulu lo." ujar Mahesa yang tengah mengunyah permen karet. Arthur merogoh permen karet dari saku celana seragam sekolah Mahesa. Mahesa menyentil telinga Arthur dengan keras. "Sakit bego." Arthur mengelus-elus telinganya. Mahesa hanya biasa menanggapinya. Matanya menatap siswa siswi yang beralu-lalang. Sesekali ia berisul ketika melihat siswi yang cantik yang menatap ke arahnya. "Hampir semua cewek di sekolah kita lo pacarin," ucap Arthur. "Belum cukup mantan pacar lo udah 1000 gitu, masih aja mau nyari mangsa, udah gituh, si Sarah minta tanggung jawab sama lo." "Tangggung jawab apa?" tanyanya cuek. "Dia nggak rela lo campakan bagaikan debu." "Halah, lagian gue nggak suka sama dia," Tak lama mereka sampai di kantin. Mahesa tak perlu repot-repot untuk memesan makanan. Yang berjualan di kantin sudah tau apa yang Mahesa pesan. "Makasih ceu." ucap Arthur. Yang di sebut sebagai Ceu mengangguk sembari memberikan makanan pada Mahesa dan Arthur. Mereka sama-sama menikmati makanan nya. Namun meski wajahnya terlihat sangar Mahesa tak menyukai pedas. "Gila nih cacing di perut gue, kagak sabaran amet. Padahal kalau laper tinggal keluar aja ya dari perut gue, kagak usah nunggu gue makan," ucap Mahesa di sela-sela makan nya. Arthur terkekeh. "b**o lo," Mahesa meenepuk bahu Arthur dengan kuat. Membuat Arthur yang tengah meminum tersedak oleh ulah Mahesa yang menyebalkan bagi Arthur. "Lo pengen ya? Gue mati, gara-gara lo," pekik Arthur. "Enggak lah. Kalau lo mati, terus yang ngabisin permen karet bekas gue siapa." kata Mahesa. "Lo pikir gue sampah," "Sampahai kau menjadi tuyulilin," gurau Mahesa sembari tertawa. Arthur menampar pipi Mahesa. "Sakit," ringis Mahesa. Arthur hanya memberikan cengiran pada Mahesa. Jam pulang sekolah sisa 15 menit lagi. Tetapi Mahesa dan Arthur sudah pulang lebih dulu, pasalnya tak ada guru yang mengajar. Jadi tak perlu menunggu hanya untuk mendengar bel pulang di bunyikan, pikir Maahesa. Mereka sudah berada di parkiran sekolah. Mahesa menyalakan satu batang benda beracun di ikuti juga oleh Arthur. "Gue balik duluan ya," ucap Arthur sesekali menghembuskan asap rokok. Lau membuang putung itu. "Pasti jemput adek lo?" "Iya, biasa." Mereka sama-sama menaiki motornya. Sampai di gerbang sekolah, Arthur pamit. Mahesa melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Tiba-tiba ia menghentikan motornya di sisi jalan. Mahesa melihat beberapa anak sekolah cowok yang berdiri di sisi jalan. Namun yang lain tengah menyalakan mesin motor beberapa kali. Mahesa berhenti tepat di samping mereka. Membuat mereka meliaht ke arah Mahesa. "Napa motor lo?" tanyanya. Mereka saling padang. Pasalnya mereka tak mengenal siapa Mahesa. "Malah bengong, gue tanya, kenapa motornya?" tanya Mahesa kembali. "Kagak tau gue, tiba-tiba aja susah di nyalain." sahut salah satu dari mereka. Mahesa mencoba menyalakan mesin motor itu. Tak lama motor itu pun nyala atas Mahesa. "Lo lebay banget jadi cowok, nyalain motor doang pake rame-rame bantuin." ejek Mahesa. "Tadinya gue mau bilang maksih, tapi lo malah ngatain gue lebay ah k*****t emang lo!" "Masih mending gue bantuin, malah ambekan banget lo." ujar Mahesa. "Lo siapa?" tanya salah satu yang lain nya. "Ternyata cowok kepo juga ya," ucap Mahesa sembari terkekeh. "Oke, oke, nama gue Mahesa, kata orang gue ini cowok terganteng seindonesia, tapi kalau kata gue sih, gue ini yang paling ganteng sedunia," ucapnya sembari tertawa. Mereka mendengar ucapan Mahesa seperti mengingatkan akan seseorang yang telah pergi meninggalkan mereka untuk selama-lamanya. Mahesa menautkan ke dua alisnya. Karena ia menyadari ekspresi mereka seperti ada kesedihan. Masing-masing mereka saling memperhatikan penampilan Mahesa yang ada di hadapan mereka. "Oke, kalau gue salah ngomong, gue minta maaf ya." Mahesa kembali menaiki motornya. "Jangan liatin gue mulu, lo semua pada doyan cowok ya, anjir serem juga gue." Mahesa cepatcepat memakaikan helmnya. Tak lama ia pun pergi dengan motor miliknya. "Dylan." ucap Lano. Mereka mengangguk. "Dia mirip Dylan, tapi bagi gue Dylan yang nggak pernah tergantikan oleh siapapun." timpal Gilang. "Semoga Dylan bahagia di sana." balas Rey. Azka sedari tadi hanya menundukkan kepalanya. Ia benar-benar telah menyesal sudah berbuat jahat pada Dylan. Hanya ada kata penyesalan dalam hatinya sekarang. Namun ingin menebus kesalahan nya, Azka selalu mengunjungi makam Dylan setiap hari minggu, tanpa di temani oleh siapapun. Gilang menoleh ke arah Azka. "Gue tau apa yang sekarang lo rasain, penyesalan. Tapi gue minta jangan terlalu terpuruk kayak gini, mungkin Dylan akan bahagia melihat lo bareng-bareng sama kita lagi." Azka tak menjawab melainkan ia pergi meninggalkan mereka lebih dulu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN