2. The Day I Lost You

1912 Kata
Awal Mula 363 AD - Jauh sebelum Aksata lahir di bumi tahun 2121. Hari Penobatan Raja Prabu Sagara Samudera Kartajaya Rajasa (Raja Dewawarman IX) Dikenal Sebagai Dewa Perang – Jenderal Rajasa Dikenal Sebagai Putra Mahkota Kartajaya dari Kerajaan Salaka. Putra Pertama Yang Mulia Raja Dewawarman VIII. Tahun kepemimpinan 363 AD. Kartajaya bergerak keras dan kencang, matanya mengerjap-ngerjap merasakan kenikmatan penyatuan yang dilakukannya bersama Dewi Lintang, istrinya. Wanita itu adalah seluruh hidupnya, jiwanya, segala-galanya. Ia sangat mencintainya. Baginya, penyatuan tubuh ini bukanlah sekedar hubungan persebadanan saja, tetapi penyatuan kedua hati yang saling mendamba. Saling membutuhkan. Saling tak terpisahkan. Wanita ini adalah cinta pertama dan ia telah berjanji akan menjadikannya yang terakhir. Kartajaya memiliki harapan yang sangat bersar untuk bisa hidup selamanya bersama Dewi Lintang yang jelita ini. Dewi Lintang mengerang kenikmatan di bawahnya, wanita itu memejamkan mata dan membukanya berulang-ulang. Wanita itu rentan dan rapuh di bawah kuasa tubuhnya yang sedang menghentak keras. menyalurkan kenikmatan hingga tubuh wanita itu mengejang-ngejang. Menghisap tubuh Kartajaya yang tegang hingga berkedut-kedut memuntahkan benih yang kelak akan bertumbuh menjadi keturunannya, putra-putrinya. Keduanya mengerang keras. Kenikmatan yang tiada dua jika dilakukan dengan orang yang kamu cinta. Kartajaya ambruk di atas tubuh istrinya. Semua ketegangan yang ia alami telah sirna, otot-ototnya melemah dan menyisakan ketenangan yang menyenangkan. Damai… situasi yang sangat damai. Itulah yang terjadi setiap kali bersama Dewi Lintangnya yang lembut dan penuh kasih. Lelaki itu menopang tubuh dengan kedua tangannya. Ia bergerak menjauh untuk menatap Dewi Lintang. Mata wanita itu sayu. Kecantikannya tak padam bahkan setelah lelah yang dirasakannya. Keringat-keringat yang membasahinya berkilauan begitu indah. Sama seperti namanya, lintang yang berarti bintang yang bersinar terang, mata Lintang yang sayupun memancarkan sinar yang sama terangnya. Begitu indah. Begitu menggugah hati siapapun yang melihatnya. Pandangan Kartajaya turun menikmati kemolekan tubuh istrinya. Kulit mulus Sang istri begitu memanjakan indra perabanya. Mulus dan menggairahkan. Mulut Kartajaya turun untuk menggoda istrinya sekali lagi, menghisapnya keras, menggigitnya berkali-kali. “Sudah menjelang terbitnya matahari, Yang Mulia. Sebaiknya kita berhenti supaya engkau bisa bersiap-siap untuk upacara kenaikan tahta hari ini.” “Tidak ada yang lebih penting dari kamu di dunia ini, Dewi-ku. Berikan aku satu kenikmatan lagi. Satu kepuasan lagi, sebelum matahari itu terbit dan mengganggu pergumulan ini.” Tangan Dewi terulur dan mengelus pipi suaminya, bibir ranumnya menghadiahkan kecupan lembut yang menggetarkan. “Satu kali lagi saja?” senyum menggoda muncul dari mulut manisnya. Sementara alisnya terangkat sangsi. “Berkali-kali lagi.” *** Kartajaya sudah selesai mengenakan jubah kerajaannya. Ia terlihat gagah dengan segala aksesoris yang melekat. Ada senjata tajam yang sangat terkenal bernama Keris Nogo Geni yang sudah tersampir dipunggungnya. Ada pedang yang tersembunyi dalam tongkatnya, dan ada kain khas Kerajaan Salaka yang tersampir di pundaknya. Ia sudah benar-benar siap menerima Tahta yang sudah menjadi Hak lahirnya. Hari ini adalah hari yang sangat spesial. Walau matahari bersinar cerah, namun angin sejuk terus menerpa setiap masyarakat yang menantikan kehadirannya di pinggir jalan. Kartajaya keluar dari istana pribadinya, lalu menaiki tandu yang akan mengaraknya di sepanjang jalan menuju aula utama istana kerajaan Salakanagara yang berjarak beberapa kilometer saja. Jalanan sudah ramai dipenuhi oleh masyarakat Salakanagara. Mereka bersorak sorai menyambut kehadiran Raja barunya. “Hidup Raja Dewawarman! Hidup Kerajaan Salaka!” Bahkan ada yang meneriakan nama jalanannya, “Hidup Jenderal Rajasa! Hidup Jenderal Rajasa!” Di tengah masyarakat Salakanagara, Kartajaya memang lebih dikenal sebagai Dewa Perang Rajasa. Berkali-kali ia memenangkan pertempuran melawan kerajaan-kerajaan yang hendak menaklukan kawasan Salakanagara. Kawasan Salakanagara adalah kawasan strategis yang memiliki peradaban tinggi. Lokasinya sangat tepat, di antara kawasan pegunungan dan lautan. Kenyataan itu membuat Kerajaan ini memiliki wilayah strategis yang membuatnya mudah mendapat sumber bahan pangan dan memiliki pelabuhan besar. Salakanagara dikenal dengan kemampuan masyarakatnya yang mampu mengembangkan teknologi pengolahan logam. Produk-produk yang terbuat dari logam yang berasal dari wilayah ini terkenal dengan kualitas dan tingkat seni yang tinggi. Itulah yang membuat negeri ini makmur, tidak ada kesulitan yang bisa dijadikan alasan untuk hidup dalam kesusahan. Gunung punya. Pantai dan lautpun ada. Masyarakatnya damai sejahtera. Itulah alasan utama yang membuat banyak wilayah menjadi iri dengan kerajaan ini. Banyak upaya penyerangan dan peperangan terhadap Kerajaan Salaka. Tapi semua itu berhasil dihentikan dan dikalahkan oleh Kartajaya dan pasukannya. Semua orang mengagungkan Kartajaya –Jenderal Rajasa lebih dari mereka mengagungkan Raja Dewawarman VIII itu sendiri. Kartajaya memiliki bakat kepemimpinan yang mumpuni, memiliki kerendahan hati yang patut dikagumi. Ia menguasai berbagai macam kemampuan bela diri, ia pun dianugerahi dengan berbagai ilmu mistik yang diturunkan oleh moyangnya. Semua masyarakat yakin, Salakanagara akan berada dipuncak peradaban jika dipimpin oleh Kartajaya. Rombongan Kartajaya berhasil mencapai teras Aula utama. Mereka semua disambut suka cita oleh seluruh Abdi istana. Kartajaya turun dari tandunya, menyapa para tetua yang ada dan berjalan menuju singgasana barunya. Hari ini adalah hari penobatan. Hari bersejarah. Walau begitu, tanpa upacara penobatan itu semua, Kartajaya sudah Sah menjadi Raja kerajaan ini di hati masyarakat. Kartajaya menyibak kain yang tersampir menjulur dari pinggangnya dan duduk dengan anggun di atas singgasana yang agung. Matanya menelusuri seluruh ruangan, namun keningnya mengernyit heran. Ia tidak menemukan istrinya dimanapun, padahal Dewi Lintang berangkat terlebih dahulu ke Aula Istana utama karena wanita itu akan bergabung dengan Para Wanita istana. Kartajaya pun tidak menemukan pengawalan Ayahandanya, Raja Dewawarman VIII. Seharusnya para pengawal itu datang terlebih dahulu untuk melakukan pemeriksaan, sebelum Raja Dewawarman VIII datang kemari. Tatapan Kartajaya jatuh pada Wicaksana, pengawal setianya, memberikan isyarat untuk mendekat. “Yang Mulia.” Sapa Wicaksana. “Kemana Dewi Lintang dan Pengawalan Yang Mulia Ayahanda?” Wicaksana mengedarkan pandangan, tak menemukan apa yang dicari oleh Raja barunya. “Saya akan memastikan semuanya untuk anda.” Ujar lelaki itu. Wicaksana rupanya menyadari kejanggalan yang ada sama seperti yang Tuan nya rasakan. Setelah mendapat anggukan setuju dari Kartajaya, Wicaksana berlalu meninggalkan aula. Seorang pelayan menyuguhkan segelas minuman di depannya, “Selamat atas kenaikan Tahta, Yang Mulia.” Kartajaya menjawabnya dengan anggukan dan senyuman. Tangan kanannya menjulur meraih gelas itu dan membawanya mendekat ke mulutnya. Saat gelas itu telah mencapai bibirnya, Mata sakti Kartajaya menangkap kehadiran sosok transparan yang bersinar. Sosok yang tidak akan bisa dilihat oleh siapapun yang tidak memiliki kesucian hati. Mahaguru Janggan Smarasanta! Beliau adalah Guru Spiritual Kartajaya yang tinggal di sebuah gunung yang tersembunyi. Orang-orang yang menjadi muridnya bukanlah manusia sembarangan, mereka adalah manusia terpilih yang kemudian diajari berbagai macam ilmu alam maupun spiritual. Kartajaya merasa beruntung saat beliau datang kepadanya dan mengundang Kartajaya untuk menjadi muridnya. Ia telah menjadi murid beliau sejak berusia tiga belas tahun. Ayahandanya, Raja Dewawarman VIII mengetahui hal itu dan mengijinkan Kartajaya untuk pergi ke gunung itu di usia yang sangat belia demi mendapatkan ilmu darinya. Sejak menjadi murid beliau, Kartajaya tahu pasti bahwa Mahaguru sangat tak suka pada acara Kerajaan seperti ini, beliau selalu menghindari setiap hal yang berkaitan dengan politik kekuasaan. Tapi anehnya, hari ini Mahaguru berkenan hadir dalam bentuk astralnya. Bentuk transparan yang hanya bisa dilakukan dengan kemampuan ilmu tinggi yang manusia miliki! Kartajaya menangkap gelengan kecil dari kepala Mahaguru, “Banyak masalah yang akan timbul dari mulut dan kesucian pikiran, Nak.” Ujar Mahaguru dengan suara batinnya. Kartajaya yang merupakan murid setia dan patuh pada Sang Mahaguru, mampu mendengar suara batin itu. Segera saja ia meletakkan minumannya ke meja. “Ada apa, Yang Mulia, apakah Anda tidak menyukai minuman ini?” tanya pelayan. Tanpa menatap pelayan itu, Kartajaya menjawab, “Saya tidak akan memasukan apapun ke dalam mulut hari ini.” Mata Kartajaya masih menatap Mahaguru penuh tanya. Mahaguru hanya tersenyum dengan mata nanar penuh iba. “Ada apakah, Mahaguru? Apa yang terjadi hingga engkau datang ke mari?” Lagi-lagi, Mahaguru tersenyum sambil menggeleng kecil. Kartajaya mengedarkan matanya, ada firasat buruk yang menghinggapinya. Ia mencari keberadaan sang istri dan Ayahandanya. Dalam kekalutan yang semakin besar setiap detiknya, Kartajaya kembali mendengar suara batin Mahaguru. “Engkau layaknya langit. Menaungi bumi tanpa pamrih. Tapi, bumi mu tidak sekedar Salakanagara. Bumi mu jauh lebih luas, Kartajaya. Jauh lebih membutuhkan naunganmu.” Kartajaya merenungi kalimat Mahaguru. Saat ia sedang jatuh dalam pemikiran yang mendalam, sebuah suara teriakan menggelegar mengembalikan kesadarannya. Pria itu membeku saat menatap pintu utama Aula kerajaan. Dari luar sana terdapat ratusan pasukan kerajaan yang memasuki aula istana dalam kondisi siap dengan persenjataan lengkap. Wajah pasukan itu sangat serius, sebagian mereka menatap takut-takut pada Kertajaya, Raja baru mereka. Kartajaya berdiri, tongkat senjatanya ia tumbukkan tiga kali hingga membuat keramaian desas-desus menjadi hening. “Apa yang dilakukan oleh pasukan perang di Aula kerajaan, ditengah persiapan kenaikan Tahta?” tanya Kartajaya. Seharusnya pasukan perang tidak diizinkan masuk ke Aula utama, kehadiran mereka sudah diwakili oleh Pasukan khusus pengawal Raja. Seorang pria membelah Pasukan dengan pongah. Adik Ipar Wiryasukma? Lelaki pongah itu adalah adik iparnya, pangeran Kerajaan Tarum yang menikahi Adik perempuan Kartajaya, Yang Mulia Puteri Purbaningrat, anak yang dilahirkan oleh Selir Prabawati, Selir yang mahsyur akan kecantikan dan sikap dengkinya! “Kakanda!” teriak Wiryasukma. “Ada apa adik ipar? Kenapa kau membawa pasukan perang ke dalam aula di tengah acara penobatan tahta?” “Kami membawa barang bukti yang nyata atas perbuatanmu semalam!” “Perbuatan macam apa yang kau bicarakan!!?” “Kau telah membunuh Ayahanda Yang Mulia Raja Dewawarman VIII, demi Tahta ini, bukan?” “A-Apa kau bilang, membunuh Ayahanda? Bagaimana mungkin kau berkata yang tidak-tidak, Wiryasukma!” “Dini hari tadi Istana Raja diserang oleh pasukanmu hingga Ayahanda meninggal di tempat!” “Kenapa kabar ini baru sampai padaku sekarang!?” “Karena kau lah pelakunya, semua bukti sudah mengarah padamu!” Seorang pria diikat dan diseret masuk ke dalam aula, pria itu adalah salah satu anggota pasukan perang Kartajaya. Kondisinya sangat mengenaskan, ia babak belur dengan banyak darah menetes dari seluruh tubuhnya. Ia mungkin telah disiksa dengan keji oleh Wiryasukma. “Begundal ini sudah mengakui semuanya. Kaulah yang memerintahkan penyerangan itu karena ingin mengambil alih semua kekuatan dan menyerahkannya pada Kerajaan Lintang! Kerajaan istrimu!” “Itu adalah Fitnah! Fitnah yang sangat keterlaluan. Mana mungkin aku menyerahkan Kerajaan ini kepada orang lain!” “Tidak usah banyak membantah! Kami sudah menghukum semua pasukanmu dan juga istrimu atas pengkhianatan yang kalian lakukan!” “Apa kau bilang? Menghukum pasukan dan istriku, atas dasar apa kau melakukannya? Kau tidak berhak melakukannya. Kau tidak memiliki hak politik sampai bisa menghukum orang di Kerajaan ini!” “Aku memiliki hak. Istriku menyerahkan seluruh Hak nya kepadaku! Pengawal! Bawa Kepala pengkhianat itu kemari!!” Seluruh tubuh Kartajaya seolah disiram oleh air pegunungan pukul tiga pagi. Ia membeku, wajahnya memucat. Kepala pengkhianat katanya? Seorang pengawal membelah kerumunan lagi, ia membawa sebuah kotak kayu yang tertutup dan menyerahkannya pada Wiryasukma. Pangeran Kerajaan Tarum itu membuka kotak dan mengeluarkan sebuah kepala dari dalamnya. Dengan angkuh, tak berperasaan, Wiryasukma melemparkan kepala itu hingga menggelinding ke depan singgasana. Kartajaya dan semua orang terkesiap. Mata pria itu nanar menatap kepala yang terjatuh di kakinya. Dewi Lintang Arum Sari ku… Istriku... Ia berlari turun dan merengkuh kepala itu dalam dekapannya. Raungan dan tangisan lolos darinya. Ia menangis begitu sedih. Hatinya hancur melihat akhir mengenaskan yang harus dilalui sang istri. Bagaimana mungkin ia lengah dan membiarkan hal ini terjadi pada istrinya? Bagaimana mungkin ia melemahkan pengawalan di sekitar istrinya? “Istriku… Istriku… Sayang…” raung Kartajaya. Ia menatap wajah istrinya yang pucat pasi. Darah sudah habis dari kepalanya. Rambutnya berantakan. Wajahnya penuh air mata. Tapi bibirnya dihiasi senyuman. Bahkan disaat terakhirnya, masih sempat-sempatnya wanita berhati baik ini tersenyum! "Kartajaya kau telah gagal menyelamatkannya, apa yang kau lakukan saat dia diserang dan disiksa? Kau malah sibuk dengan persiapan kenaikan tahta! Suami macam apa kau ini!!!!" Kartajaya menangisi kelalaiannya. Matanya yang merah menatap Wiryasukma. “WIRYASUKMA!! AKAN KUBALAS KAU!” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN