28. Danau di Masa Kini

1120 Kata
Lord Yasa memimpin di depan pasukan, membuka jalan bagi prajuritnya yang hendak menelusuri hutan. Mereka sedang mengadakan latihan survival bagi para anggota muda yang bergabung di kelompok bawah tanah yang dibuat oleh Lord Yasa. Kartajaya – yang dikenal dengan nama Aksata di tempat ini adalah salah satu anggota muda yang baru bergabung sejak dua tahun yang lalu.  Dua tahun adalah waktu yang relatif baru dibandingkan dengan para anggota yang sudah ada, karena sebagian dari mereka adalah para senior yang jauh lebih lama bergabung di kelompok ini. Seperti Makula dan Arsen, mereka telah bergabung sejak usia tujuh tahun karena orang tua mereka pun bagian dari kelompok ini. Sementara Aksata – konon ia diselamatkan oleh Lord Yasa di lokasi b***k pertambangan yang hampir ditinggalkan. Aksata ditemukan dalam kondisi sakit dan hampir tewas karena gizi buruk yang dialaminya. Hanya tersisa kulit dan tulang yang terlihat di permukaan tubuhnya, benar-benar sangat mengenaskan. Bahkan tatkala melihat potret saat pertama kali Aksata ditemukan, Kartajaya merasa sangat kasihan dan tidak tega melihat anak muda yang memiliki wajah sama persis dengannya ini. Setelah dua tahun tinggal, memperbaiki gizi dan berlatih di barak prajurit kelompok bawah tanah yang dipimpin Lord Yasa ini, Aksata pun mendapatkan misi bersama beberapa kawannya untuk meracuni Princess Stary di Istana putih. Namun sayangnya misi mereka telah gagal, karena Jenderal Irish telah memergoki salah satu dari mereka di Istana Putih. Beruntung Aksata bisa melarikan diri walau berujung terjerembab di hutan dan pingsan selama berhari-hari setelah ditemukan oleh tim pencari. Sejak saat itulah jiwa Kartajaya berada di dalam tubuh Aksata. Pada momen itu semuanya tak lagi sama. Jiwa Aksata entah berada di mana, mungkin masih ada di dalam tubuh ini, atau mungkin ia sudah tiada. “Entahlah… Kepada siapa aku harus membicarakan semua ini…” pikir Kartajaya. “Aksata, lihat, disana kau ditemukan…” Lord Yasa menunjuk sebuah ceruk yang cukup dalam yang terbentang di depan seluruh prajurit. Kartajaya pun melangkah maju untuk mendekati Lord Yasa, ia menatap penasaran pada area yang ditunjuk oleh pimpinannya. Saat sampai di samping Lord Yasa, Kartajaya pun melongokkan tubuh dengan mata membelalak besar-besar.   Ia pun menyadari jika bagian tanah yang dipijaknya lebih tinggi dibandingkan dengan dasar ceruk tersebut. Terdapat banyak akar pepohonan yang besar dan berumur tua di permukaan dasarnya. Kartajaya semakin melongok ke depan dan memperhatikan lokasi jatuhnya dengan seksama. Ternyata tempat itu serupa cekungan yang sangat luas dan dalam. Terdapat banyak pepohonan yang tumbuh subur di bawah sana. “Tinggi tanahnya sangat berbeda…” gumam Kartajaya. “Betul, Aksata. Tinggi tanahnya memang sangat berbeda. Kau tahu apa yang menyebabkan begitu?” tanya Lord Yasa sambil memandang Katyajaya. Kartajaya menggeleng. “Menurut hasil pengamatan yang dilakukan dengan waktu yang cukup lama, bisa disimpulkan bahwa cekungan yang luas dan dalam ini adalah bekas danau yang kering. Lihat, dari ujung kanan ke kiri. Kontur tanahnya terus menurun ke bawah hingga kemudian kita menemukan dasar yang sudah dipenuhi pepohonan. Jadi mungkin, tempat ini adalah sebuah danau di masa lampau. Danau ini melalui masa bertahun-tahun tanpa air hingga kering lalu tertutup oleh tanah-tanah akibat gempa dan proses alam lainnya. Namun beruntung, kini dasarnya sudah ditumbuhi oleh pepohonan-pepohonan yang sangat lebat dan rindang. Menambah banyaknya pasokan oksigen bagi semua manusia yang ada.” Kartajaya membeku, wajahnya mulai pias.   Dengan terbata-bata ia mulai bicara, “Danau… Tempat ini danau… aku ditemukan terjatuh disini saat melarikan diri dari Istana putih?” “Betul. Kau ditemukan disini… Arsen yang menemukanmu pertama kali.” Kartajaya menoleh ke belakang, tempat Arsen berdiri dengan sikap malas-malasan sambil bersandar pada pohon tinggi di sebelahnya. Kedua tangan terlipat di depan d**a dan dagu mendongak begitu angkuh.   “Terima kasih, Arsen.” Gumam Kartajaya. Arsen hanya tersenyum sinis tanpa berkata apa-apa. Makula muncul dan berdiri di antara Lord Yasa dan Aksata. Ia menatap jauh ke depan dengan pandangan kosong, seolah sedang menerawang. Anak muda itu bahkan melipat kedua tangannya ke belakang punggung dengan sikap sangat bijaksana. “Ini adalah danau pengorbanan…” sela Makula. Lord Yasa dan Kartajaya pada awalnya memperhatikan tingkah Makula, namun pada akhirnya mengangguk dan menatap ke depan sebagaimana yang Makula lakukan. “Danau pengorbanan? Apakah itu sejenis danau tempat nenek moyang kita memberi persembahan kepada alam melalui prosesi upacara tradisional yang pernah kau ceritakan?” tanya Lord Yasa. “Tidak, ini bukan danau sejenis itu.” Makula menoleh menatap Lord Yasa dan Kartajaya bergantian. “Danau ini disebut dengan nama ‘pengorbanan’ karena ia mengorbankan seluruh air yang mengisinya untuk menyuburkan tanah ini. Air magis yang bisa mempertahankan hutan ini tetap lebat dan hijau bahkan ditengah kondisi alam yang ekstrem setelah segala jenis perang yang terjadi. Kau lihat dengan matamu sendiri, bukan, Aksata? Banyak padang pasir yang sangat kering di wilayah Kerajaan Skars? Cuaca panas yang ekstrim, kekeringan dan kelaparan. Namun di hutan ini, suasana sangat sejuk dan damai, pohon tumbuh lebat, akar begitu kuat menancap tanah, oksigen begitu melimpah dan banyak hal lainnya. Itu semua bisa terjadi karena pengorbanan danau ini yang telah melepas hampir seluruh airnya untuk kepentingan alam.” “Ini adalah danau yang benar-benar hebat…” ujar Lord Yasa sambil mengangguk-angguk kagum akan penjelasan Makula. “Danau yang sangat magis…” bisik Makula sambil menatap Kartajaya. Senyum penuh rahasia muncul dari bibir Makula. Kartajaya mengerjap, menatap Makula intens dan penuh tanya, “Apa maksudmu dengan danau magis…” “Sebenarnya danau ini masih menyimpan banyak cadangan air di dasar terdalamnya. Namun cadangan itu diikat oleh kekuatan yang hebat.” Saat Makula mengatakan itu, pikiran Kartajaya langsung tertuju pada tali cahaya berwarna biru yang mengikat dan menenggelamkannya pada danau berkabut yang tak kalah misterius dengan danau ini. “Mungkinkah danau ini…” pikir Kartajaya. Ia menoleh ke samping untuk menatap Makula dan betapa terkejutnya dia saat tiba-tiba saja menemukan tubuh Makula yang mengejang, lalu matanya berubah menjadi biru. Biru yang sangat terang, persis tali cahaya yang pernah dilihat Kartajaya. “Tubuh ksatria agung telah menjadi pengorbanan dan diikat di dasar danau.” Raung Makula. “Tubuh Ksatria agung diikat dan jiwanya dilepaskan. Tubuh Ksatria agung dikorbankan untuk alam…” Makula seperti hilang kendali. Ia tidak terlihat seperti dirinya sendiri. Pria muda itu selalu mengulang-ulang kalimat yang sama, bahkan menyebutkan satu nama spesifik misterius yang dipanggil dengan “Ksatria Agung”. Semua orang panik melihat kondisi Makula yang mengherankan, bahkan Lord Yasa segera menopang Makula agar tidak terjatuh ke dalam danau kering tersebut dan tersungkur pingsan tak sadarkan diri seperti yang dialami oleh Aksata. “Makula!” teriak Lord Yasa. “Makula sadarlah! Apa kau kerasukan makhluk lainnya!?” Semua orang berhamburan untuk membantu Makula yang kejang-kejang agar menjauhi danau, mereka semua tidak menyadari kebekuan yang menjalari seluruh tubuh dan wajah Kartajaya. Pria muda itu membeku dengan wajah yang sangat kaku… Matanya membelalak dan bibirnya bergetar hebat. “Ksatria yang menjadi pengorbanan…” lirih Kartajaya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN