Chapter : 8

1860 Kata
Di depan ruang penyimpanan beberapa mutan mondar mandir menunggu mangsa keluar dari persembunyian mereka. Sementara di dalam sana dengan bantuan perawat seorang wanita hamil tua tengah menutup mulut menahan sakit di perut. Niatnya ingin memeriksakan kandungan bersama sang anak malah terjebak disana. “Bu tahan bentar ya, Julian yakin tim bantuan atau polisi bakal datang kesini.” “I-ibu udah gak kuat nak!” ‘Astaga suster, air ketuban ibu saya pecah!!’ “Apa!! Salah satu perawat disana begitu khawatir, bagaimana pun dia hanya seorang perawat yang butuh perintah dari dokter. Sementara disana hanya ada pasien dan juga pengunjung yang berhasil selamat. “Suster tolong ibu saya, jangan diam aja!!” Julian pemuda kisaran 18 tahunan itu tanpa sengaja menaikkan notasi suaranya membuat yang lain terkejut sampai takut di luar sana para mutan mendengar nya. “Hei anak muda, bisa kamu diam? kalau mereka dengar gimana? Kamu mau jadi santapan monster sialan itu, hah!” seorang bapak-bapak terlihat kesal pada Julian. Yang lain malah mengangguk. Julian mengepalkan tangan menatap tajam mereka. “Jangan menatap kami seperti itu, jika tidak ingin di lempar keluar dari sini.” lontar bapak tadi terlihat menentang. Melihat situasi menegangkan ibu dari Julian menahan sang anak untuk diam saja jangan membalas mereka. “U-udah nak, ibu baik-baik aja ughh... “ bohong kenyataan bahwa sekarang pegangan tangannya pada sang anak mengerat sembari memejamkan mata. Meski kasihan mereka tidak tahu harus melakukan apa selain diam menatap si ibu. Suster yang berada di belakang sang ibu berkata, “Mungkin kita bisa mengeluarkan bayinya.” Mencari sesuatu di rak rak penyimpanan. “Dek, pindahin ibu nya disini.” Menyiapkan tempat tidur untuk si ibu. “Kalian gila ya! Bagaimana kalau dia berteriak keras sehingga mutan di luar masuk kemari? Kalau ingin mati jangan ikutkan kami.” Julian geram mendengarnya berdiri menarik kerah baju bapak-bapak tadi, “Anda orang tua dan seorang laki-laki, tidak bisakah mengerti sedikit?! Ibu saya kesakitan ingin melahirkan, apa salahnya anda mengasihaninya sedikit!” sungutnya. Si bapak malah mendorong Julian sampai menubruk rak membuat beberapa obat terjadi. Brugh!! “Dasar tidak sopan, berani kamu sama orang tua hah!” bapak tadi malah nyolot, yang lain masih terkejut dengan tindakan si bapak. Julian meringis memegang punggungnya terasa nyeri, ia kembali melempar tatapam tajamnya pada si bapak tadi. “J-julian sudah nak, kemarilah jangan meladeni orang egois sepertinya.” Melihat sang ibu mengulurkan tangan membuat Julian mau tak mau beranjak ke arah wanita kesayangannya. “Cih, lebih baik bungkam mulutmu itu jangan sampai berteriak malah mengundang manusia menjijikkan di luar sana.” Lontar si bapak-bapak tadi mengundang tatapan sinis dari orang-orang disana. “Lebih menjijikkan anda daripada mereka!” gumam Julian namun masih terdengar oleh si bapak. “Anak sialan ini!” si bapak hendak menghampiri Julian sebelum ibu Julian lebih dulu melemparnya botol obat. “Jangan berani menyentuh anakku, dasar pria tua tak punya hati. Anda kira kami mau di posisi sekarang, tidak pak. Gak ada yang mau seperti ini apalagi keadaan saya yang kayak gini.” Dasarnya keras kepala, si bapak tadi hanya berdecak kesal menjauh dari mereka dengan ucapan. “Tutup saja mulutmu!” sungutnya tak mau kalah. Si suster hanya menenangkan si ibu lalu menutup horden, Julian membuka jagetnya untuk sang ibu gigit. “Ibu gigit ini ya,” ujarnya di angguki sang ibu. “Suster, kayaknya ada bantuan di bawah sana.” Sahut salah satu pasien disana. Mendengar hal tersebut, suster meraih kertas dan juga pulpen di saku nya menulis sesuatu. Berbeda dengan si bapak tadi, dia malah menerobos hingga salah satu dari mereka terdorong mengenal si ibu kalau saja Julian tidak cepat menahannya. “M-maaf bu, saya gak sengaja. Bapak itu ngedorong gitu aja!” “Ughh..sshh.. g-gapapa mbak.” “b******n!” Julian kehilangan kesabaran menarik si lengan bapak tadi mengangkat kepalang tangan. “J-julian akhh...!” ibu Julian memegang erat besi ranjang rumah sakit, perutnya benar-benar sakit sekarang. Julian mendorong di bapak menjauh dari sana kemudian beralih sama sang ibu. “Mbak, tolong berdiri di sana mudah-mudahan mereka lihat.” Suster tadi meminta mbak pasien disana untuk berdiri di jendela. “Baik sus.” “Bu, kita mulai sekarang ya,” ujarnya menghirup nafas panjang sebelum memberikan instruksi pada si ibu untuk mengejang. “Ibu pasti bisa hiks... “ Julian begitu takut melihat sang ibu berada dalam keadaan seperti ini. Pikiran buruk terus berdatangan, belum lagi di situasi sekarang semakin menambah pikiran buruknya. “Lagi bu, satu... dua... tiga... iya bu terus.. kepalanya sudah keliatan!” ujar suster begitu antusias. “Ibu dengar itu, adek sudah terlihat jadi Julian mohon bertahanlah sebentar lagi.” Julian terus mengecup tangan sang ibu berharap keduanya selamat. Melihat wajah anaknya si ibu mengangguk perlahan kembali mendorong bayi nya keluar. “Semangat bu, mereka baru saja masuk kemari.” Ujar si mbak tadi. semua yang disana tersenyum senang menyemangati si ibu tapi tidak dengan si bapak malah memikirkan cara bagaimana keluar dari sana tanpa membawa mereka bersama tidak peduli bantuan telah datang. Bara memimpin dengan baik, mereka berhasil masuk tanpa ada yang gugur, tanpa tau bahwa rekan mereka sudah banyak yang gugur di luar sana. Dengan keahlian masing-masing karena memang yang ikut dengan Esther adalah orang-orang yang berpotensi daripada anggota lain, sayang Ali harus bersama kapten mereka. “Mereka dimana tadi?” tanya Bara. “Ruang rawat kalau gak salah.” Jawab Aidil, sepertinya suster tadi salah memberikan tempat karena jelas-jelas dia berada di ruang penyimpanan obat. “Oke, bergerak sekarang! Tetap jaga diri.” “Yes jendral.” Dalam hati Bara begitu kecewa terhadap tindakan Esther gadis yang ia puja, apapun alasannya tidak semestinya dia meninggalkan tim apalagi setelah mendapat tanggung jawab untuk memimpin disini. Mereka menyelusuri ruang rawat tapi mereka tak bertemu sampai terdengar suara jeritan dari ruang paling atas. Bara berlari di ikuti anggota lain, terlihat di ujung sana mutan saling dorong dari dalam. Melepaskan tembakan, apalagi selain itu. Setelah semua tumbang, orang-orang yang berada di dalam sana bernafas lega semakin lega melihat bala bantuan datang. “Kalian gapapa?” tanya Bara melihat mereka di dalam, tim yang lain berada di luar berjaga. “Harusnya masih aman pak, tapi orang tua egois itu yang bikin kita emosi.” Ujar salah satu dari mereka. Oek... oek... suara tangisan bayi membuat mereka secara otomatis tersenyum. Julian membantu suster memegangi adiknya. “Adiknya cewek bu seperti yang ayah sama Julian mau hiks.. “ sang ibu yang masih lemas mendengar kata sang anak tersenyum haru. “J-julian janji bakal jagain adiknya kan?” tanya si ibu. “Pasti bu.” “Dek, adiknya di adzani dulu ya.” Ujar si suster setelah membersihkan dan memotong tali pusar si bayi. “B-baik sus.” Harusnya si ayah yang melakukan nya namun sayangnya beliau sudah terinfeksi begitu tiba disini kemarin sore. Dengan air mata menetes haru, Julian mengadzani adik kecilnya. Setelah itu memberikan sang adik pada ibunya. “Apa ibu nya bisa berjalan jika tidak tim saya akan membopong, kita harus keluar dari sini. salah satu tim saya menunggu di bawah jadi kita bisa kerumah sakit. Bagaimana dengan bayinya?” tanya Bara, terlihat suster mengambil beberapa selimut bersih untuk si bayi agar tetap hangat. “Mudah-mudahan dengan ini bayi nya bisa bertahan. Sebentar bu,” Kata suster mengambil sang bayi dari dari ibunya. Julian meraih jagetnya dan memberikannya pada suster berharap bisa membungkus adiknya kemudian mencari selimut tipis guna menggendong adiknya, karena jika sang ibu yang harus melakukan itu tidak mungkin. “Berikan pada abangnya sus, biar dia yang membawa adiknya.” Ujar sang ibu, mbak pasien membantu Julian membuat gendongan dan suster pun tersenyum memberikan si bayi pada sang kakak. “Jendral, bisa dengar saya?” Suara Aidil memecahkan keheningan. Bara segera menjawab, “Ada apa?” tanyanya pelan. “Jendral dimana? Seorang bapak sudah disini, dia meminta untuk pergi.” “Tenangkan dia, sebentar lagi kami turun.” “Baik jendral.” “Yakin tuh bapak mulut ember deh.” Celetuk salah satu dari mereka terdengar kesal jika mengingat orang tua tadi keluar begitu saja, untungnya mereka berhasil menahan pintu dari dalam. “Bener banget mas, dia pasti maksa tim penyelamat meninggalkan kita disini.” Timpal si mbak pasien. “Anggota saya gak akan kemana-mana tanpa perintah dari saya, jadi ayo sebelum mereka kembali.” Ujar Bara mendekati si ibu lalu tersenyum melihat bayi dalam gendongan Julian. “Pelan-pelan bu.” Bara membantui si ibu turun dari kasur sebelum membopongnya. “Boleh saya bantu bawa senjata nya?” tanya Julian pada Bara, sayangnya Bara menggeleng pelan sambil tersenyum. “Dalam keadaan apapun kami tidak boleh menyerahkan senjata begitu saja.” Ujar Jaka mulai melangkah pelan. “Ayo, Damian pimpin di depan David di belakang.” “Yes jendral.” Dengan hati-hati mereka melangkah keluar, sementara Aidil di buat kesal sama si bapak karena terus-terusan meminta untuk pergi saja dengan mengatakan hal-hal menjengkelkan. “Bisa kita berangkat sekarang, keluarga saya menunggu di bandara. Ayolah masih banyak mobil disini, mereka bisa berangkat kesana sendiri.” “Maaf pak, jendral masih di dalam dan saya tidak bisa pergi tanpa perintah darinya.” “Cih sok patuh sekali, emangnya kamu mau mati disini? Coba lihat di luar sana, mutan sialan itu menunggu.” “Tetap tidak bisa pak.” “Ck.” Aidil masih berusaha untuk tidak melempar si bapak keluar dari mobil. Sayup-sayup ia mendengar suara orang-orang di dalam sana dari Ht, sepertinya sang jendral lupa menutupnya. Jelas sekali Bara hanya menahan tawa kala mendengar Aidil menghela nafas panjang menahan diri. Tak lama suara tembakan terdengar dari arah gedung rumah sakit, Aidil memasang senapannya untuk membantu rombongan yang mulai terlihat keluar. “Pak bisa keluar dulu, biarkan para wanita masuk.” Ujar Aidil pelan berharap mendapat reaksi baik. “Gak bisa dong, saya duluan kok jadi ngapain turun?!” Hadeh... sudah Aidil tebak jika bapak ini begitu egois hanya memikirkan diri sendiri. “Pak, saya dari tadi udah baik-baik ya jangan sampai setan saya muncul terus ngelempar situ keluar.” “Heh jangan kurang ajar ya, tugasmu melindungi warga bukan mencelekai mereka. Masih jadi pesuruh aja sok belagu, kalian di gaji juga dari hasil keringat kami.” Aidil geram mengarahkan senapannya pada si bapak, “Saya bisa loh nembak anda tanpa menunggu perintah dari jendral.” Katanya membuat si bapak ketakutan dengan segera keluar di ikuti Aidil. “Gak perlu sekeras itu Aidil.” Ujar David, ternyata mendengar ucapan teman nya itu. “Ngeselin gitu, gimana gak emosi coba.” Yang lain terkekeh kecil. Si bapak pindah ke belakang Aidil bersembunyi membiarkan pemuda itu menembaki para mutan yang berlari ke arah, beberapa menit kemudian Bara dan rombongan terlihat. Para mutan semakin berlari ke arah mereka. David dan Damian tak henti-hentinya meluncurkan peluruh mereka. begitu juga Aidil. Begitu rombongan tiba di dekat mobil, mereka melirik sinis si bapak tapi bukan merasa bersalah paruh baya itu malah melirik sinis balik. “Cepat masuk,” perintah Bara pelan-pelan menurunkan si ibu. Fokus ke depan sampai si bapak tanpa sadar tergigit mutan di bagian lengan. “Akkhhh...!” jeritan itu membuat mereka berbalik, Aidil dengan cepat memukul kepala mutan tersebut. Si bapak menatap mereka marah, Julian meraih tangan sang ibu agar segera masuk melihat Bara ikut menghalau mutan-mutan yang semakin banyak sampai akhirnya...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN