Morning Hello

638 Kata
“Morning, Wife.” Sapaan itu kini menjadi radio rusak yang Jessi dengan terus-menerus setiap pagi, ketika ia baru menginjakkan kaki di lobi Brian’s Hospital. “Masih mengabaikan aku?” Brian bertanya sambil menyamakan langkahnya dengan langkah Jessi. Jessi tetap tidak merespons Brian. Dengan bibir yang cemberut parah, ia tetap berjalan menuju ruangannya sendiri. “Besok kamu liburkan?” Brian bertanya, “Mau ke mana? Nge-date sama aku, mau? Aku tahu tempat yang bagus. Kamu pasti su….” Ocehan Brian langsung terhenti ketika Jessi menutup pintu di depan wajahnya. “Wife.” Brian beteriak, “Kau meninggalkan aku di luar.” Brian mengetuk pintu ruang kerja Jessi. “Wife, suamimu masih di luar, kalau di culik orang, bukan aku yang rugi. Kamu tahu, kan, lagi musim pelakor di mana-mana.”  Brian terkejut ketika suara sesuatu menabrak pintu terdengar dari dalam. Kemudian dia tertawa ketika menyimpulkan bahwa Jessi baru saja melemparkan sesuatu ke pintu ruangannya guna mengusir Brian. Kelakuan perempuan itu benar-benar telah menjadi warna dalam hidup Brian. Sejak melihatnya pertama kali, Brian tidak bisa berpaling lagi. “Kenapa kau tertawa sendiri seperti orang gila di depan ruangan dokter bedah?” Pertanyaan itu membuat Brian berbalik badan dan menemukan Mike, sahabatnya tengah menatap ke arahnya dengan alis terangkat sebelah. “Hai, Mike.” Brian menyapa Mike terlalu riang. “Ada apa, kau ke sini?” “Ada apa dengan ekspresimu itu?” Mike bertanya sambil melihat ke pintu yang masih dipandangi Brian dengan senyum bodohnya. “Ruangan siapa ini?” “Isteriku.” Brian menjawab sumringah. “Dia sangat cantik, lain kali kukenalkan.”  “Tidak perlu.” Penolakan itu membuat Brian menatap Mike dengan ekpresi tersinggung. “Kenapa kau tidak mau?” “Aku malas berurusan dengan wanita bar-bar.” “Bar-bar?” “Dia baru saja melemparkan sesuatu ke pintu ini, Brian.” Brian tergelak, “Jangan bilang kau takut perempuan, Mike.” Satu detik kemudian, Brian meringis karena merasakan pukulan dari Mike. * “Bagaimana persiapannya?” Brian bertanya setelah meletakkan segelas air putih di hadapan Mike.  Kepalanya masih berdenyut nyeri, tetapi Brian tetap tidak bisa mengabaikan tamu yang adalah sahabatnya sendiri. “Aku tidak yakin sesuai dengan seleramu.” Mike menjawab sambil melotot kepada air putih yang disuguhkan oleh Brian. “Ngomong-ngomong, aku sudah cukup umur untuk meminum segelar bir.” “Kulkasku tidak tertutup untuk minuman sampah seperti itu.” Mike mendengus, sejak menjadi seorang dokter Brian memang tidak pernah lagi menyentuh minuman seperti bir dan teman-temannya.  “Kau datang bersama Khareena, kan?” Mike mengangkat bahunya acuh, “Kuusahakan, tapi dia lagi ada pemotretan di luar kota.” “Kapan kalian akan menikah?” Brian bertanya, “Kalian sudah bertunangan selama empat tahun, bukan?” Mike mengangkat bahunya, “Aku belum memikirkannya.” “Baiklah, menikah memang bukan sesuatu yang harus dilakukan buru-buru.” “Aku akan kembali ke kantorku, ada rapat penting yang harus kuhadiri. Aku akan terlambat datang ke acaramu.” “Tidak masalah.” “Jangan membuat masalah, Brian.” “Apa maksudmu?” “Siapa tahu kau tiba-tiba mengumumkan tentang calon isterimu.” “Bagaimana kau bisa tahu.” “Sudah kuduga.” Brian tertawa. “Kau akan menjadi headline di mana-mana kalau sampai perempuan itu mempermalukanmu. Meskipun aku tidak keberatan kalau ada seseorang yang bisa mempermalukanmu.” “Sialan.” * Jessi sedang mempelajari laporan kesehatan pasien yang baru saja dialihkan kepadanya. Dokter sebelumnya yang menangani pasien tersebut sudah mulai mengambil cuti melahirkan. “Pasien yang belum ada walinya itu, kan?” Abel bertanya sambil mengupas buah apelnya. Saat ini mereka sedang menikmati waktu di lounge, karena sama-sama memiliki waktu kosong. “Iya.” “Yang aborsi berkali-kali itu, ya?” Kali ini Kate yang bertanya. “Iya.” Jessi masih membaca laporan kesehatan Risa, pasien yang seharusnya sudah dioperasi sejak seminggu yang lalu, tetapi tidak bisa dilakukan karena walinya tidak ada dan pasien menolak untuk melakukan operasi. “Masih belum bisa dibujuk juga?” Anna kali ini. Sahabat Jessi yang paling dingin. Beruntungnya dia bekerja di Brian’s Hospital adalah karena para sahabatnya juga bekerja di sini, meskipun Jessi sangat tidak mengharapkan Abel, si tukang makan itu juga bekerja di sini. “Dia lebih milih mati daripada rahimnya diangkat.” “Alay banget.”  “Rahim bagi perempuan itu hal yang sangat penting. Ibarat manusia, kamu harus punya nyawa baru bisa disebut manusia, kalau nggak, kamu hanya disebut mayat. Seperti itu juga arti rahim bagi seorang perempuan.” Kate memberi penjelasan setelah komentar tidak berperikemanusiaan yang diberikan oleh Abel. “Lo, kan, dari lahir nggak ada rahim. Hal beginian, mana mungkin lo ngerti.” Jessi menatap Abel dengan senyum meremehkan. “Transgender, sih,” hinanya. Lalu, detik selanjutnya lounge menjadi tempat perang dunia ketiga. *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN